Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan) dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1][2]

Desentralisasi Fiskal adalah penyerahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.[3]

Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi.[4]

Pada sistem pemerintahan yang desentralisasi diwujudkan dengan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat diputuskan di tingkat pemerintahan daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.[4]

Daftar Isi

Definisi Desentralisasi dan Desentralisasi Fiskal

  • Fiscal Decentralization represents setting limits for decision making at sub-central level by strengthening power and responsibility of lower-tiers of public administration in providing and financing public goods, it is a process of purposeful distribution of tasks among individual subjects of administration having financial impacts.[5]
  • Decentralization is the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subordinate or quasi-independent government organizations and/or the private sector.[6]
  • Fiscal Decentralisation is the empowerment of people by the fiscal empowerment of their local governments.[7]

Konsep Desentralisasi

Machfud Siddik (2002) menulis, desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi, akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.[8]

Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas:[8]

  • Desentralisasi Politik (Political Decentralization);
  • Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization);
  • Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan
  • Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).

Manfaat dan Kelemahan Desentralisasi Fiskal

Menurut Bahl (2008), terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal.[7]

Manfaat desentralisasi fiskal adalah:

  • Efisiensi ekonomis.
    Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan preferensi masyarakat setempat dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.
  • Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah.
    Pemerintah daerah bisa menarik pajak dengan basis konsumsi dan aset yang tidak bisa ditarik oleh pemerintah Pusat.

Sedangkan kelemahannya adalah:

  • Lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi makro.
  • Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
  • Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
  • Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.

Manfaat Penerapan Desentralisasi Fiskal di Indonesia

  • Desentralisasi akan lebih mampu menyukseskan tujuan-tujuan pembangunan lewat pemberian hak kontrol kepada masyarakat yang memiliki informasi dan insentif untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
  • Pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih kepada daerah dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi dari layanan publik.[9]

Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Sampai Tahun 1999

  • 1948: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Tentang Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
  • 1957: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  • 1965: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
    Pembagian tingkatan daerah menjadi Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan.
  • 1971: MPR hasil Pemilu 1971 menetapkan konsep otonomi yang berbeda, yaitu “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”.
  • 1974: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
    Pemerintah daerah dibagi dalam 2 tingkatan, yaitu Provinsi (Daerah Tingkat I) dan Kabupaten/Kotamadya (Daerah Tingkat II). Fokus otonomi pada Daerah Tingkat II.
    Otonomi daerah tingkat II ini tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena tidak ada peraturan pelaksanaannya.
  • 1992: Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II.
  • 1995: Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan kepada 26 (Dua Puluh Enam) Daerah Tingkat II Percontohan.[9]

Praktik penyelenggaraan publik menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974:[9]

  • Dekonsentrasi: Penyediaan pelayanan dilaksanakan dan dibiayai langsung oleh instansi departemen di tingkat Daerah Tingkat II.
  • Desentralisasi: Penyediaan pelayanan sepenuhnya dilaksanakan dengan wewenang otonomi pemerintah daerah.
  • Tugas Pembantuan: Penyediaan pelayanan dilaksanakan oleh pemerintah daerah berdasarkan bimbingan teknis dari departemen di pusat.

Kenyataannya:[9]

  • Penyediaan pelayanan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah daerah menganut pendekatan pembantuan.
  • Penyediaan pelayanan/program yang bersifat padat modal sebagian besar diselenggarakan oleh instansi departemen di Daerah Tingkat II melalui pendekatan dekonsentrasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, yang diterbitkan tanggal 29 April 1995, diharapkan menjadi tahapan awal untuk menuju otonomi daerah yang lebih luas dan menjadi terobosan dari belenggu proses desentralisasi yang sedang terjadi pada waktu itu. Tanggal 29 April dicanangkan menjadi Hari Otonomi Daerah oleh Presiden Soeharto.[9]

Ke-26 daerah yang menjadi Daerah Tingkat II Percontohan adalah:

  1. Kabupaten Aceh Utara (Daerah Istimewa Aceh)
  2. Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara)
  3. Kabupaten Tanah Datar (Sumatera Barat)
  4. Kabupaten Kampar (Riau)
  5. Kabupaten Batanghari (Jambi)
  6. Kabupaten Muara Enim (Sumatera Selatan)
  7. Kabupaten Lampung Tengah (Lampung)
  8. Kabupaten Bengkulu Selatan (Bengkulu)
  9. Kabupaten Bandung (Jawa Barat)
  10. Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah)
  11. Kabupaten Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta)
  12. Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur)
  13. Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat)
  14. Kabupaten Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah)
  15. Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan)
  16. Kabupaten Kutai (Kalimantan Timur)
  17. Kabupaten Minahasa (Sulawesi Utara)
  18. Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah)
  19. Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan)
  20. Kabupaten Kendari (Sulawesi Tenggara)
  21. Kabupaten Badung (Bali)
  22. Kabupaten Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat)
  23. Kabupaten Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur)
  24. Kabupaten Aileu (Timor Timur)
  25. Kabupaten Maluku Tengah (Maluku)
  26. Kabupaten Sorong (Irian Jaya)

Transfer Pemerintah Pusat ke Daerah Sebelum Tahun 2001

Subsidi Daerah Otonom

  • Bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna membantu menciptakan perimbangan keuangan antartingkat pemerintahan.
  • Sekitar 95% digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah.
  • Sebagian kecil lainnya digunakan untuk keperluan lain, yaitu subsidi bagi pengeluaran rutin di bidang pendidikan dasar, ganjaran bagi pegawai peedesaan, subsidi untuk penyelenggaraan rumah sakit di daerah, dan subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah.
  • Dikategorikan dalam transfer pusat yang bersifat khusus (specific grant), karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan Subsidi Daerah Otonom (SDO). Kegunan dari transfer ini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Sejak Tahun ANggaran 1999/2000, dalam rangka memperjelas anggaran yang dikelola pusatdan daerah, digunakan istilah Dana Rutin Daerah (DRD) sebagai nama pengganti dari SDO. Seluruh komponen dan mekanisme yang ada dalam SDO sama dengan yang ada dalam DRD.[9]

Bantuan Inpres

  • Memberikan bantuan pembangunan daerah baik yang bersifat umum maupun khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden.
  • Tujuan dari Bantuan Inpres adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, berusaha, dan berpartisipasi dalam pembangunan.
  • Dasar pemberian bantuan adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan kemuangan Pemerintah Daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut.
  • Tahun anggaran 1999/2000, anggaran yang dikelola oleh daerah dikenal dengan Dana Pembangunan Daerah (DPD) sebagai nama pengganti Bantuan Inpres.[9]

Daftar Isian Proyek

Daftar Isian Proyek (DIP) diklasifikasi menjadi in-kind allocation, karena walaupun dananya mengalir ke daerah, tidak masuk dalam anggaran pemerintah daerah. Sementara subsidi dan bantuan dapat dikategorikan sebagai bantuan antartingkat pemerintahan (intergovernmental grant) karena menjadi bagian anggaran dari pemerintah daerah.[9]

Era Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya (2001-Sekarang)

Tahun 1998 kekuasaan orde baru berakhir. Tuntutan demokrasi dan pemberdayaan daerah menjadi sangat kuat. Pada masa Presiden Habibie (1999) dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah sehingga kewenangan daerah menjadi sangat besar. Sebagai konsekuensi, maka kantor pemerintah pusat yang ada di daerah (Kantor Wilayah dan Kantor Departemen) sebagian besar diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan asetnya.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur tentang penyerahan sumber keuangan kepada daerah, terutama melalui mekanisme transfer yang cukup besar kepada daerah dan juga dibarengi dengan kekuasaan pengelolaannya. Undang-Undang ini lebih menitikberatkan pada pola perimbangan yang didasarkan pembagian kekayaan sumber daya alam dan masih sangat sedikit yang berbasis pada perpajakan.

Dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 terdapat beberapa perubahan yang cukup fundamental, yaitu:

  • Konsep desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan dekonsentrasi.
  • Pertanggungjawaban lebih bersifat horizontal daripada vertikal.
  • Pengaturan yang lebih jelas mengenai alokasi dana dari pusat ke daerah.
  • Kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara utuh kepada daerah.

Dengan didasarkan pada kedua Undang-Undang tersebut, dimulailah pelaksanaan desentralisasi secara nyata di Indonesia pada Januari 2001.

Pada tahun 2004,dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi darerah, dikeluarkan Undang-Undang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Petubahan peraturan tentang desentralisasi fiskal juga tak lepas dari adanya perubahan keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.[9]

Perbandingan Kondisi Sebelum dan Sesudah Penerapan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Tahun 2001

Jenis Desentralisasi Sebelum Desentralisasi Fiskal Setelah Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Politik Pemilihan pemimpin nasional dan daerah dilakukan secara semilangsung. Pemilihan pemimpin nasional dan daerah dilakukan secara langsung oleh masyarakat.
Desentralisasi Administrasi Kewenangan Pemerintah Pusat sangat luas, kewenangan Daerah Tingkat II terbatas. Kewenangan Pemerintah Pusat terbatas, kewenangan Kabupaten/Kota bertambah.
Jumlah wilayah relatif konstan dari tahun ke tahun, yaitu 27 Daerah Tingkat I dan 292 Daerah Tingkat II. Pemekaran wilayah berkembang dengan pesat. Tahun 2010 tercatat ada 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota.
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) masih relatif kecil, sekitar 700 ribu orang pada tahun 1999. Jumlah PNSD mencapai 3.052.865 orang pada tahun 2009.
Desentralisasi Fiskal Transfer ke Daerah sangat terbatas (18% dari belanja APBN 2000). Alokasi Transfer ke Daerah yang masuk ke APBD cukup besar (33% dari belanja APBN 2010).
Kewenangan memungut pajak bagi daerah masih terbatas. Peningkatan kewenangan daerah dalam memungut pajak.

Tabel bersumber dari Modul Tinjauan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal bagi Kemampuan Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Perkembangan Aliran Dana APBN ke Daerah

  • Alokasi Transfer ke Daerah selalu meningkat dari tahun ke tahun, dari Rp 253,3 triliun pada realisasi tahun 2007 menjadi Rp 518,9 triliun pada APBN 2013.
  • Transfer ke daerah telah mencapai kisaran 1/3 dari belanja negara. Pada APBN Perubahan Tahun 2012, total transfer ke daerah mencapai 30,9% dari belanja negara dan direncanakan menjadi 31,3% pada APBN 2013.
  • Selain dana transfer ke daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan sebagian besar belanja untuk mendanai urusan pusat di daerah dan pelayan kepada masyarakat, antara lain melalui subsidi, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, bantuan masyarakat melalui PNPM dan Jamkesmas, dan lain-lain.
  • Apabila dihitung secara keseluruhan, maka dana yang mengalir ke daerah mencapai kisaran 60% dari belanja negara.[9]

Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah

Beberapa Fakta Keberhasilan

  • Secara nasional (agregat), transfer per kapita yang meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun selaras dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran.
  • Pada beberapa daerah yang tingkat transfer per kapitanya sangat tinggi, ternyata mengalami menurunan kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
  • Desetralisasi fiskal telah secara nyata memberikan dampak catching-up bagi daerah-daerah yang sebelumnya sangat tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya.
  • Telah terjadi peningkatan output layanan publik di daerah:
    • Output pendidikan (Angka Partisipasi Murni/APM Sekolah Dasar)yang meningkat di seluruh provinsi.
    • Output kesehatan (Angka Kematian Bayi/IMR) yang menurun signifikan di seluruh provinsi.[9]

Keberhasilan Desentralisasi Fiskal dari Sudut Pandang “International Expert/Scholars”

  • Sistem transfer yang berbasis equalization di Indonesia terbukti bekerja secara lebih efektif dibanding beberapa negara lain seperti Cina dan Filipina.
  • Desain sistem Dana Alokasi Umum (DAU) di Indonesia banyak mengurangi ketimpangan antardaerah sehingga mampu mendukung peningkatan identitas lokal dan sekaligus mengurangi gejolak perpecahan antardaerah.
  • Desentralisasi fiskal telah mendorong pemerintah daerah membelanjakan secara lebih banyak pada sektor layanan publik yang mendasar, utamanya pendidikan dan kesehatan, guna mengejar ketertinggalan kualitas laynan di kedua sektor tersebut.[9]

Kendala dan Tantangan

Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pajak Daerah

  • Baru 18 dari 492 daerah yang telah memungut PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)sebagai pajak daerah pada tahun 2012, meskipun batas waktu pengalihan sampai dengan Januari 2014.
  • Sampai akhir 2012 50,2% Pemda siap untuk memungut PBB-P2, yang dari sisi potensi telah mencakup 91,3%.
  • Beberapa daerah terkendala oleh kecilnya potensi PBB-P2, kesiapan SDM, sarana dan prasarana, dan perangkat pendukung lainnya.[9]

Kendala dan Tantangan Transfer ke Daerah

Dana Bagi Hasil (DBH)

  • Identifikasi daerah penghasil (prinsip by origin) seringkali terlambat karena keterlambatan penyediaan data perhitungan.
  • Penyaluran DBH didasarkan pada realisasi yang baru diketahui pada tahun berikutnya, sehingga menimbulkan permasalahan kurang bayar.
  • Banyaknya usulan daerah untuk mendapatkan bagi hasil yang belum diatur dalam UU, misalnya pajak ekspor, perkebunan, daerah pengolah migas.[9]

Dana Alokasi Umum (DAU)

  • Alokasi dasar yang dihitung berdasarkan gaji PNSD, menyebabkan inefisiensi dalam belanja pegawai daerah.
  • Formulasi dan kebijakan DAU yang dialokasikan secara otomatis untuk daerah otonom baru mendorong pemekaran daerah.
  • Alokasi DAU hasilnya baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]

Dana Alokasi Khusus (DAK)

  • Kerancuan fokus DAK, equalisasi, national priority, atau support untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah.
  • Petunjuk teknis DAK yang rigid dan seringkali terlambat sehingga menyulitkan daerah dalam melaksanakan kegiatan DAK.
  • Penyediaan Dana Pendamping dianggap memberatkan bagi beberapa daerah.
  • Penetapan daerah penerima dan besarannya tidak dapat diprediksi dan baru dapat diinformasikan ke daerah pada bulan November (setelah penetapan APBN akhir Oktober) menyulitkan daerah dalam penyusunan APBD.[9]

Kendala dan Tantangan Pengelolaan Pengelolaan APBD

  • APBD seharusnya ditetapkan paling lambat 31 Desember sebelum tahun anggaran berjalan. Namun, pada tahun 2012, 524 daerah, yang menetapkan APBD tepat waktu hanya sebanyak 274 daerah (52% daerah). Pada 2011 hanya 211 daerah (40%) dan 2010 sebanyak 214 daerah (41%).
  • Proporsi terbesar belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40% (untuk provinsi di kisaran 25% dan untuk kabupaten/kota di kisaran 51%) dan terus meningkat hingga tahun 2011. Baru tahun 2012 belanja pegawai mengalami penurunan secara proporsi terhadap belanja total.
  • Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, dimana belanja modal mempunyai proporsi diatas 20%.[9]

Referensi

  1. [1]Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  2. [2]Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  3. [3]Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), diakses 17-01-2013
  4. [4]Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi di situs organisasi.org
  5. [5]Viktor Nižňanský dkk. – New system of financing public administration in Slovakia (1998), diakses 17-01-2013
  6. [6]Meenakshi Sundaram Decentralisation in Developing Countries. P11 Concept,1994, sebagaimana dikutip di Wikipedia bahasa Inggris, ensiklopdeia bebas
  7. [7]Roy Bahl (2008) sebagaimana dikutip dalam Modul Tinjauan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal bagi Kemampuan Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah
  8. [8]Machfud Siddik – Kebijakan, Implementasi, dan Pandangan ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diakses 17-01-2012
  9. [9]Modul Tinjauan Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal bagi Kemampuan Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah

4 Responses to Desentralisasi Fiskal

  1. found here says:

    …Recent Blogroll Additions

    […]Wow, marvelous weblog format! How lengthy have you ever been running a blog for?[…]

  2. …[Trackback]

    […]The entire glance of your site is wonderful, let smartly as the content![…]

  3. homepage says:

    …Check this out

    […] What web host are you the usage of? Can I get affiliate hyperlink in your host? I wish web site loaded up as quickly as yours lol[…]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *