Habib Rizieq Shihab: Pejuang yang Terbelenggu
Sumber: Majalah Sabili No. 9 Tahun XI (2003), edisi Sejarah Muslim Indonesia
Ada kenangan yang tersimpan rapi ketika berjumpa dengan Habib Rizieq Shihab setahun silam. Dari rumahnya yang sederhana di bilangan Petamburan, jakarta Pusat, ia menjawab pertanyaan sejumlah wartawan tentang Front Pembela Islam (FPI). Kala itu, lembaga amar ma’ruf dan nahi munkar ini kembali disorot aparat akibat aksinya memberantas maksiat.
Sosoknya cerdas, tangkas, dan berapi-api. Walau demikian, pria berusia 34 tahun ini tetaplah sosok yang tampil berpikir strategis ke depan. Menurutnya, FPI menghancurkan tempat maksiat setelah melalui sejumlah tahap yang amat panjang. Ketika dituding bahwa penghancuran itu menimbulkan madharat yang lebih besar, ia menegaskan, kehancuran akibat perjudian, narkoba, dan minuman keras jauh lebih besar daripada kaca yang hancur atau bangunan yang rusak.
Pendiri sekaligus Ketua Front Pembela Islam (FPI) ini adalah sarjana alumnus Universitas King Abdul Aziz di Jeddah, Arab Saudi, jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Gelar S1 digondolnya dengan predikat mumtaz (cum laude), sehingga ia diberi kesempatan mengajar di sebuah SMU di Saudi Arabia. Sebuah kesempatan yang terbilang jarang untuk warga pendatang.
Sepulang dari Saudi, ia mengajar di Lembaga Pendidikan Said Naum. ia juga memimpin Lembaga Pendidikan dan Dakwah Islam Darul Fiqh, selain menjadi anggota Dewan Syariah Bank Perkreditan Rakyat Syariah At-Taqwa, Tangerang.
Habib Rizieq, demikian ia biasa dipanggil, menghadirkan FPI pada 17 Agustus 1998, dengan tujuan perbaikan di lapangan akhlak dan moral. Baginya, reformasi di segala bidang hampa belaka tanpa reformasi di bidang akhlak. Ia mengklaim, FPI telah berdiri di 17 provinsi dengan 5 juta anggota dan 15 juta simpatisan.
Sebelum ke Arab Saudi ia sudah dikenal sebagai mubaligh. Baginya, tugas ini lebih sebagai kewajiban dan tuntutan hati nurani, daripada perasaannya sebagai keturunan Nabi SAW. Gelar “Habib”, yang ditujukan untuk keturunan Nabi, tak lebih merupakan ketakaburan jika pemiliknya merasa ingin dihormati.
Nuansa sederhana amat kental dari pribadi ayah tiga putri ini. Ketika FPI dituding menerima dana dari sejumlah tokoh, ia menampik dengan setumpuk bukti. Jika benar, katanya, mengapa dirinya tinggal di rumah kontrakan yang sekaligus digunakan sebagai markas FPI? Mobil pun masih nyicil. Sehari-harinya, ia cuma mencari rezeki dengan berjualan minyak wangi.
Kini ia ditahan. tapi, meminjam ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, penjara tak lebih dari sekadar menyepi. Pengasingan tak lebih dari sekadar rekreasi. Seandainya pun terbunuh, itu tak lebih dari syahid. Dan perjuangan tak boleh berhenti sampai di sini.■
M Nurkholis Ridwan
Leave a Reply