Hati-hatilah, Gus! (2 – Habis)
Sumber: Tabloid Adil, 11-05-2000
URL: http://www.detik.com/peristiwa/adil/amienrais/2000/05/11/2000511-092744.shtml
Kolom Amien Rais
Sambungan dari Hati-hatilah, Gus! (1)
Pada kolom pekan lalu saya sudah kemukakan lima agenda besar yang menjadi tugas pokok Gus Dur selaku presiden. Saya juga sudah sampaikan semacam catatan terhadap kinerja Gus Dur untuk agenda pertama, yaitu menjaga integritas teritorial RI supaya wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke tetap utuh dan padu. Dalam hal ini Gus Dur belum menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.
Agenda kedua, mengembalikan rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia dengan jalan memberikan proteksi dan garansi penuh pada pelaksanaan HAM, tampaknya juga masih agak jauh dari kenyataan. Pelanggaran HAM terus saja terjadi di berbagai wilayah kita. Malahan ada semacam kesan, karena begitu seringnya masyarakat kita dihadapkan pada pelanggaran HAM, maka kita sudah tidak bisa terkejut lagi tatkala terjadi pelanggaran HAM dalam bentuk besar maupun kecil, di Jawa atau luar Jawa.
Namun, dalam hal ini, kita juga harus fair kepada Gus Dur bahwa dia sudah mulai menunjukkan hasil yang lumayan. Paling tidak, sementara ini tampaknya kerusuhan di kepulauan Maluku sudah mulai mereda. Di Aceh kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity) seperti yang terdahulu, mudah-mudahan juga sudah tidak terlihat lagi.
Agenda penting Gus Dur yang ketiga, adalah menjadi nakhoda yang bijak dan arif supaya bahtera republik bisa berjalan dengan aman. Tidak terseok-seok, apalagi menabrak karang-karang yang tajam. Untuk itu, diperlukan betul-betul keadilan dan kearifan. Sayangnya, kearifan itu belakangan justru semakin menghilang. Komentar-komentar yang dibuat Gus Dur sering membuat sakit hati umat Islam. Dan, pada gilirannya menimbulkan kekurang percayaan pada Gus Dur sendiri.
Lihatlah bagaimana dengan enteng dia mengatakan bahwa di Maluku Utara korban yang jatuh hanya lima orang. Padahal kenyataannya, sudah ribuan orang terbunuh di kawasan Indonesia bagian timur itu. Saya diberitahu mengapa massa di Lombok mengamuk sejadi-jadinya sehingga menimbulkan peristiwa SARA yang dahsyat, oleh karena mereka sekadar mereaksi ucapan Gus Dur yang jauh dari kearifan itu.
Demikian juga ketika dia mengatakan krisis Maluku disebabkan orang Islam di sana terlalu dimanjakan selama Orde Baru. Tentu pernyataan tersebut menimbulkan luka yang mendalam di kalangan umat Islam sendiri. Karena itu, tanpa mengambil contoh yang lebih banyak lagi, yang diperlukan buat Gus Dur adalah sebuah kehati-hatian di dalam menjadi nakhoda pluralisme, agar dia sendiri tidak melakukan diskriminasi yang mencolok dan pada gilirannya menimbulkan gejolak sosial yang lebih luas.
Tugas pokok lain yang harus dipecahkan Gus Dur adalah melakukan pemulihan ekonomi. Di sinilah saya yakin kepiawaian Gus Dur betul-betul akan diuji, untuk melakukan seluruh fokus perhatiannya pada masalah ekonomi. Oleh karena, memang masalah inilah yang menyangkut langsung hajat hidup orang banyak –yang bisa menenangkan tetapi juga bisa memicu keresahan yang luas.
Dengan pandangan yang objektif, saya yakin bahwa dalam pemulihan ekonomi rapor Gus Dur masih merah. Dan, tampaknya belum akan menjadi nilai biru dalam tempo dekat ini, karena seluruh usaha perbaikan ekonomi selalu ditorpedo oleh langkah-langkah politik Gus Dur yang cukup destruktif.
Sesungguhnya di berbagai daerah sudah tampak kegiatan ekonomi menggeliat. Bahkan secara makro, tampak ada harapan yang bagus buat perbaikan ekonomi Indonesia, seperti halnya negara-negara Asia lainnya yang terkena krismon. Tetapi inilah masalah yang membuat kita prihatin dan ngeri. Karena setiap ada langkah perbaikan ekonomi yang diupayakan secara sungguh-sungguh oleh rakyat Indonesia, maka secara langsung atau tidak, dikocar-kacirkan oleh move-move politik Gus Dur sendiri. Move-move politik yang sangat tidak bijak, yang selalu menimbulkan centang perenang, saling curiga, serta konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
Gus Dur harus ingat, sebuah pemerintahan jatuh bukan karena ideologi atau karena hal-hal yang sifatnya nonekonomi. Tetapi selalu saja pemerintahan itu bisa melorot dan akhirnya ambruk, karena tidak berdaya memecahkan masalah ekonomi yang menyangkut kepentingan perut rakyat banyak.
Saya ingin mengimbau lewat kolom pendek ini, agar Gus Dur tidak amatiran di dalam meng-handle ekonomi nasional. Dia harus mengacu kepada cita-cita semula untuk menberantas KKN, dan bukan justru mengembangkan fenomena KKN gaya baru yang dalam jangka panjang tampaknya lebih berbahaya dan lebih mengerikan.
Kata-kata yang mulai menjadi ungkapan masyarakat banyak bahwa “rezim Soeharto perlu waktu 10-15 tahun untuk menanam dan mengembangkan KKN, sementara pemerintah Gus Dur perlu butuh waktu hanya 10-15 minggu”, tidak boleh ditangkap dengan emosi dan kemarahan. Tetapi harus dicerna dengan sesungguhnya, karena saya yakin sangat banyak kadar kebenaran dari ungkapan yang mulai memasyarakat seperti itu.
Masalah good governance dan clean government sebagai agenda reformasi, juga harus dipikul di pundak pemerintahan Gus Dur. Good governance berarti bahwa pemerintah selalu mempunyai komitmen kerakyatan dan tidak bergeser dari tujuan yang luhur itu. Sementara clean government berarti, seluruh sel-sel pemerintahan harus sebebas mungkin atau dijauhkan dari penyakit KKN.
Menilik perkembangan terakhir copot-mencopot para menteri, sekarang makin kelihatan bahwa clean government seperti yang diharapkan itu memang masih sangat jauh. Malahan saya mengimbau kepada media massa agar tidak menutup-nutupi permainan KKN yang sudah merambah jauh ke dalam tubuh pemerintahan Gus Dur.
Kita ingin supaya rumor atau kabar angin yang demikian deras bahwa ada suap-menyuap di antara pejabat tinggi dengan para kroni baru yang meliputi uang belasan sampai puluhan miliar rupiah, hendaknya diinvestigasi oleh media massa secara lugas dan apa adanya. Sebab, kalau kita biarkan tanaman KKN baru ini subur dan berkembang di era reformasi, maka perjuangan reformasi akan mentok dan mengalami kemunduran. Bahkan kemudian dapat kandas untuk selama-lamanya.
Laksamana Sukardi dalam sebuah wawancara mengatakan, sekarang banyak orang yang “maling berteriak maling”. Walaupun tidak jelas maksud Laksamana Sukardi, tetapi ketika di pembicaraan tertutup dengan DPR, kata maling itu muncul dalam perbincangan antara Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh DPR kita. Maka agenda yang kelima ini tidak bisa diremehkan oleh pemerintahan Gur Dur.
Akhirnya kita semua mendoakan mudah-mudahan Gus Dur segera banting setir dalam membuat kebijakan-kebijakan barunya, dan jangan lagi tersibukkan dan asyik masyuk di dalam politicking yang tiada habis-habisnya, yang hanya memecah konsentrasi bangsa Indonesia untuk mengatasi masalah ekonomi. Tetapi, tentu saja, semua itu terpulang kepada Gus Dur sendiri. Wallahu a’lam.
Leave a Reply