Hukum Lagu dari Perspektif Syariat
Sumber: Majalah Islam Furqon, edisi 85 tahun IX, Desember 2011
Bagaimana hukumnya seorang muslim mendengarkan atau menyanyikan lagu atau musik menurut syariat, dan bagaimana pula seseorang beribadah yang disertai dengan atau tanpa lagu? Berikut fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin:
Di dalam Al-Qur’an pada surat Lukman ayat 6 Allah Ta’ala telah menerangkan
“dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Di sini jelas bagaimana syariat nyanyian maupun musik termasuk perkara yang tidak berguna yang kadang dapat menyesatkan umat. Banyak sekali orang berpaling karena terpengaruh lagu-lagu atau nyanyian. Di samping itu lagu juga termasuk suatu perkataan yang tak berguna. Oleh karena itu di dalam ayat ke-6 pada surat Lukman dikatakan bahwa lagu itu termasuk bahan olok-olok, pelakunva akan diancam azab yang hina.
Para sahabat dan salafus shalih banvak meriwayatkan tentang haramnya lagu, karena dengan lagu dapat menimbulkan sifat kemunafikan di dalam hati. Ibnu Mas’ud sendiri menafsirkan ayat ini yang dimaksud adalah lagu. Padahal penafsiran para sahabat mempunyai hukum rafa’, yaitu penisbatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Atau meskipun kadang penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa’, akan tetapi pendapatnya paling dekat dengan kebenaran. Jadi ini adalah hujjah dan penafsirannya yang memiliki dasar penafsiran Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadits dan Al-Qur’an dengan penjelasan sahabat.
Kembali pada perkara musik, dari beberapa landasan (Al-Qur’an dan Sunnah) sudah jelas bahwa mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan seseorang. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari:
“Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. Maksud dari hadits ini akan datang suatu kaum yang akan menghalalkan khamr, zina, lelaki memakai sutera dan alat-alat musik.” **
Tasyabuh
Ustadz Umar Abu Ubaidah, Lc., Kajian Ma’hadul Ulum
Terlepas dari keharamannya, berdakwah dengan musik juga merupakan tasyabuh orang-orang Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Antum lihat bagaimana mereka dalam beribadah, selalu disertai dengan bunyi-bunyian, nyanyian bahkan ada yang menggoyangkan tubuhnya sambil mendayu bahkan meratap-ratap. Ada nggak bedanya? Sama kan? Iya memang pernah Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam membolehkan musik, tapi ketika itu kan pas ada walimah, tujuannya untuk mengumumkan orang-orang bahwa si fylan telah menikah. Jenis musiknya pun terbatas hanya rebana, hadrah dan tambur. Bukan jenis-jenis yang dapat mempengaruhi jiwa seseorang, yang mendayu-dayu hingga orang yang mendengar terpengaruh dan menjiwai.
Sekarang coba bandingkan, Antum sholat dengan suasana hening, sepi, tanpa ada suara-suara, dengan Antum sholat atau berdo’a tapi masih mendengar suara-suara riuh dang-ding-dung, atau nyanyian yang mampu memberi pengaruh dalam hati. Khusyu’ yang mana? Jadi kesimpulannya tanpa musik atau nyanyian, kaum muslim bisa semakin khusyu’ dalam beribadah. Dengan iringan lagu dan musik ya kapasitasnya seperti hiburan saja. Padahal Islam diturunkan bukan untuk hiburan, tapi sebagai petunjuk.**
Leave a Reply