In Memoriam Bakorstanas

Sumber: Satunet.com (http://satunet.com/artikel/isi/00/03/09/9023.html)

munirOleh Munir, S.H.


Presiden Abdurrahman Wahid kembali mengambil keputusan strategis bagi proses pembenahan kehidupan bernegara, yaitu membubarkan Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas dan Keamanan Nasional).

Keputusan yang demikian penting itu tampaknya bergerak dari kesadaran bahwa salah satu hambatan yang cukup besar bagi berjalannya fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik serta ruang partisipasi masyarakat adalah adanya lembaga Bakorstanas. Lembaga itu sendiri merupakan model dominasi militer atas semua fungsi pemerintahan, melalui pola lembaga koordinasi.

Boleh dikata sejak kelembagaan itu dibentuk melalui sebuah keppres 12 tahun lalu, tidak ada satu persoalan strategispun yang tidak dapat diambil alih oleh lembaga ini, terutama yang menyangkut langsung kepentingan kekuasaan Orde Baru.

Dalam pengalaman selama rentang waktu sejak berdirinya, hampir semua kasus menjadi kewenangannya, seperti kasus-kasus pertanahan, perburuhan, administrasi penelitian khusus terhadap mereka yang akan bekerja di berbagai sektor, termasuk sebagai wakil rakyat. Bahkan kasus-kasus atau sengketa yang bersifat privat pun menjadi bagian dari operasinya. Catatan buruk dari kelembagaan ini telah demikian panjang, seperti pada kasus pembebasan tanah Kedung Ombo, kasus rekayasa peradilan Marsinah dan seterusnya.

Bakorstanas yang tersusun dari pusat sampai daerah telah menempatkan semua unsur pemerintahan daerah, kepolisian, bahkan perangkat penegakan hukum lain di bawah struktur komandonya. Sehingga, pengambilan keputusan strategis pada lembaga-lembaga pemerintahan malah ditentukan oleh otoritas koordinatif dibawah Mabes ABRI dan kodam sebagai induk dari kelembagaan itu. Boleh dikata, kelembagaan Bakorstranas merupakan pola menempatkan otoritas organisasi militer di atas semua unsur politik dan birokrasi.

Di luar kelembagaan Bakorstanas, selama era Orde Baru, unsur militer sebenarnya telah merumuskan kebijakan-kebijakan apa yang hendak ditetapkan dalam mekanisme pemerintahan. Akan tetapi mekanisme pengambilan keputusan dikesankan demokratis dengan melancarkan pembentukan wadah-wadah kontrol lewat apa yang diistilahkan dengan Forum Komunikasi Sosial dan Koordinasi Antar Departemen.

Untuk level pemerintahan di propinsi dilakukan Musyawarah Pimpinan Daerah dan Muspika Kecamatan di tingkat pemerintahan kecamatan. Maka problemnya kemudian tidak terletak hanya pada kelembagaan Bakorstanas itu, tetapi terjadi pula pada berbagai kelembagaan ekstra hukum di atas.

Hubungan langsung dengan operasi teritorial

Sebenarnya keberadaan lembaga Bakorstanas dan berbagai perluasan peran militer sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan doktrin operasi teritorial dari TNI. Sebab kelembagaan Bakorstanas adalah kekuatan yang diabsahkan untuk memberikan kewenangan dari operasi teritorial untuk memasuki bidang-bidang non militer, bahkan ke dalam semua problem sosial, hukum, dan politik. Di sinilah adanya pertautan erat dan tidak terpisahkan antara kelembagaan Bakorstranas dengan operasi teritorial TNI.

Jelas konteks sejarah operasi teritorial perlu dilihat kembali untuk memahami mengapa koreksi itu begitu penting dan menentukan. Terdapat hubungan yang saling kait antara operasi teritorial yang dibangun di tingkat propinsi (kodam) hingga di level pemerintahan desa (bintara pembina desa) dengan bagaimana berkembangnya dominasi atas kehidupan secara luas.

Kontrol pengendalian birokrasi sipil diserahkan kepada panglima atau komandan wilayah yang sederajat. Panglima daerah militer (pangdam) terhadap gubernur, komandan distrik militer (dandim) terhadap bupati, komandan rayon militer (danramil) terhadap camat, dan babinsa terhadap kepala desa.

Terbentuknya operasi teritorial ini dilatarbelakangi oleh doktrin teritorial. Pada tahun 1948, pimpinan TNI melalui Perintah Operasional No 1/November membentuk apa yang disebut dengan Tujuh Tentara dan Teritorial (7T&T).

Kemudian pada 15 September 1961, Markas Besar Angkatan Darat mengeluarkan SK No D/MP/355/51 yang isinya menyatakan bahwa konsep teritorial dimaksudkan untuk melakukan perang gerilya di waktu perang, tanpa menggantungkan diri kepada perintah dan perbekalan dari Markas Besar TNI. Atas dasar SK tersebut dimulailah era kepetualangan (avonturisme) para operasi teritorial. Melalui keputusan tersebut institusi operasi itu dapat mengupayakan usaha untuk kesejahteraan mereka sendiri, sebagai contoh usaha perdagangan yang dilakukan Soeharto dengan Liem Sioe Liong di Semarang.

Perkembangan selanjutnya, era 1957–1959, 7T&T diperbesar menjadi 16 komando daerah militer (kodam). Awalnya pembentukan ini sebagai upaya pengasingan T&T yang memberontak kepada pemerintah pusat di era PRRI/Permesta. Selain pembentukan kodam, Markas Besar Angkatan Darat juga membentuk organisasi staf di tingkat karesidenan, yang kini dikenal dengan korem.

Pada tanggal 8 Agustus 1960 keluar SK No KPTS 731/8/1960 tentang jabatan perwira distrik militer (PDM). Lewat SK ini pula, apa yang dinamakan bintara order distrik militer (BODM) diganti dengan kodim untuk tingkatan kabupaten. Pembesaran teritorial berlanjut sampai ke tingkat kecamatan ketika akhir tahun 1962 perwakilan tentara pada tingkat order distrik dikembangkan menjadi koramil.

Dan pada perkembangan akhir, seorang bintara ditugaskan di daerah-daerah pedesaan. Dalam konteks inilah kelembagaan Bakorstanas memiliki fungsi yang demikian kuat memperkokoh berbagai peran operasi teritorial.

Lalu ke depan?

Upaya membangun sistem bernegara yang lebih baik, serta membangun kembali peran TNI yang proporsional dan profesional, sulit dilakukan tanpa mengembalikan fungsi masing masing kelembagaan. Tentu proses perubahan itu sendiri merupakan pertautan yang kuat antara kesadaran memperbaiki peran dan fungsi dalam tubuh TNI dengan kesadaran dan tuntutan demokrasi yang telah berkembang. Tentunya keputusan ini akan memberikan dampak positif bagi berkembangnya semangat baru gairah berdemokrasi di berbagai tingkatan sosial.

Kalau dilihat dari aspek kemajuan bagi bagaimana membangun posisi TNI di masa depan, yang sesuai dengan upaya memajukan sistem yang demokratis, maka keputusan ini perlu pula dilihat sebagai langkah strategis bagi upaya militer Indonesia memperbaiki diri, termasuk koreksi atas doktrin dan berbagai operasi yang bertentangan dengan peran dan fungsi seharusnya dari organisasi militer.

Salah satu koreksi itu adalah koreksi atas operasi teritorial. Dan di sinilah arti penting dari keputusan Presiden itu, yaitu upaya mempercepat koreksi atas keberadaan operasi teritorial yang berhubungan langsung dengan kinerja pemerintahan, dengan membubarkan Bakorstanas. Problem yang cukup panjang justru dihadapi oleh TNI dalam upaya memperbaiki diri adalah, koreksi secara sadar akan doktrin operasi teritorial. ***


Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *