Karier dan Cinta si Raja Dangdut (1): Semula Menolak Lagu Melayu

Sumber: Harian Suara Medeka, 05-08-2005
URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/05/nas06.htm

Rhoma Irama dalam sebuah pentas

MESKI kini mendapat julukan sang Raja Dangdut, ternyata Rhoma Irama pernah merasa enggan menyanyikan lagu-lagu berirama Melayu. Musik pop dan rock adalah langkah pertama Rhoma Irama sebagai pemusik dan penyanyi. Di awal kariernya sebagai penyanyi rekaman, lelaki bernama asli Raden Oma Irama ini sempat enggan merekam lagu Melayu yang ditawarkan Dick Tamimi dari perusahaan rekaman “Dimita Moulding Company” pada 1967.

Pria kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1946 ini sudah ketahuan punya bakat seni sejak kecil. Anak kedua dari 14 bersaudara ini akan menghentikan tangisannya setiap kali ibunya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol, ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD, ia sudah bisa membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya, dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan Ummi Kaltsum.

Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya, seorang komandan gerilyawan Garuda Putih, memberinya nama ‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara Irama Baru asal Jakarta yang pernah diundangnya untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya.

Sang ayahlah yang menurunkan bakat musiknya. Burdah Anggawirya yang keturunan ningrat ini fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya yang bernama Arifin Ganda suka mengajarinya lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.

Ketika bersekolah di SD Kibono, Manggarai, Jakarta, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Sampai kemudian penyanyi Bing Slamet terkesan melihatnya menyanyi lagu Barat saat acara pesta di sekolahnya. Bing membawanya tampil dalam sebuah pentas di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai ketika Rhoma duduk di kelas 4 SD.

Sejak itu Rhoma tak lagi terpisahkan dari musik. Ia lalu belajar bermain gitar hingga mahir. Meski kemudian kegilaannya pada gitar sempat membuat ibunya marah besar.

Walaupun orang tuanya gemar musik, mereka sama sekali tidak menganggap musik adalah bidang yang pantas dijadikan profesi. Tapi itu justru membuatnya makin terasah bermain musik di luar rumah.

Ketika ayahnya meninggal 1958, sang ibu menikah lagi. Sang ayah tiri mengubah suasana yang semula sangat feodal menjadi sedikit cair. Dari ayah tirinyalah ia mendapat dukungan bermain musik. Sejumlah alat musik dibelikan, seperti gitar, bongo dan sebagainya.

Di masa kecil Rhoma ternyata juga bandel. Akibatnya, ia beberapa kali tinggal kelas dan sempat dikirim ke Medan ketika kelas 3 SMP. Semasa di SMA ia juga pindah ke sejumlah SMA lain karena musik dan kebandelannya. Sekali waktu bahkan bersekolah di SMA St Joseph Solo dan membiayai hidup dari mengamen. Sebelumnya ia duduk di SMAN 8, SMA PSKD dan akhirnya lulus dari SMA 17 Agustus Tebet. Kemudian kuliah di Fakultas Sosial dan Politik Universitas 17 Agustus Jakarta. Namun hanya bertahan satu tahun karena lebih tertarik pada musik.

Main Band

Sejak SMA Rhoma mulai bermain musik dalam sebuah kelompok band, bersama teman-temannya ia mendirikan Gayhand. Ia juga menjadi penyanyi Orkes Melayu Chandraleka dan Indraprasta. Rhoma juga melantunkan suaranya bersama Band Tornado dan Varia Irama Melody.

Bersama band-band itu dia membawakan lagu-lagu pop Barat dan menyanyi sambil meniru persis suara Paul Anka melalui lagu Diana atau Put Your Head on My Shoulder, Andy Williams (Butterfly, Moon River), serta Tom Jones (Green Green Grass of Home, Delilah).

Musik rock’n roll yang melanda Indonesia waktu itu membuat Rhoma terpesona dan dalam hati bertekad, “Elvis bisa menjadi raja dengan gitarnya, saya juga bisa.”

Namun, begitu berada di dalam industri musik, Rhoma ikut terbawa arusnya. Dengan meniru cara menyanyi Ida Royani-Benyamin atau Titiek Shandora dan Muchsin yang sedang populer, Rhoma tidak keberatan diduetkan dengan Inneke Kusumawati oleh Amin Widjaja dari perusahaan rekaman Metropolitan dan Canary Records.

Diiringi Band Zaenal Combo pimpinan Zaenal Arifin, Oma-Inneke direkam dalam sejumlah lagu. Seperti Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu Kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat Dekat, Anaknja Lima, Si Oteh, Lontjeng Berbunji, Melati di Musim Kemarau, dan Tjinta Buta.

Menurut Zakaria, pimpinan Orkes Pancaran Muda yang salah satu lagunya, Anaknja Lima, dibawakan duet ini, munculnya Oma-Inneke menggoyahkan popularitas Titiek Shandora dan Muchsin. Kebiasaan Rhoma meniru suara sejumlah penyanyi Barat membuatnya dengan mudah meniru gaya menyanyi Muchsin dan Benyamin.

Melihat keberhasilannya berduet dengan Inneke, Zakaria kemudian menyarankan Oma juga berduet dengan Wiwiek Abidin untuk mengikuti lomba menyanyi di Singapura 1971. Oma-Wiwiek berhasil menjadi juara.

Duet Oma-Inneke juga diiringi Band Galaxy pimpinan Jopie Item dalam rekaman. Dengan pakem musik rock, Jopie mengiringi Oma menyanyi sendirian dengan pekik dan teriakan. Kemudian diteruskan Oma setelah mendirikan Soneta, misalnya, dalam lagu Mari Gembira meniru seruan yang biasa dilakukan penyanyi rock di luar syair lagu.

Sampai kemudian Rhoma memilih mendirikan grup musik Melayu, Soneta. Ia menyuntikkan musik rock dalam album dangdutnya yang pertama berjudul Begadang, yang berisi lagu-lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Akibatnya, Rhoma menyulutkan pro dan kontra. Komunitas dangdut banyak yang keberatan, sementara itu kalangan pemusik rock menerima dengan sinis.

Album rekamannya menjadi arus yang memutar roda industri musik semakin kencang, setelah Begadang menjadi sangat populer, menyusul Penasaran (1976), Rupiah (1976), Darah Muda (1977), Musik (1977), 135 Juta (1978), Santai (1979), Hak Azazi (1980), Begadang II (1981), Sahabat (1982), hingga Indonesia (1983), yang semuanya diproduksi Yukawi Corporation. Perusahaan rekaman ini kemudian menjadi Soneta Records, milik Rhoma.

Langkah Rhoma semakin tegap. Film-filmnya Oma Irama Penasaran (1976), Gitar Tua Oma Irama (1977), Darah Muda (1977), Rhoma Irama Berkelana I (1978), Rhoma Irama Berkelana II (1978), Begadang (1978), Raja Dangdut (1978), Cinta Segitiga (1979), Camelia (1979), serta Tabir Biru (1984) diteruskannya dengan penerbitan soundtrack yang laris manis.

Dalam Darah Muda, Rhoma bahkan menggandeng Ucok Harahap, yang bersama grup AKA-nya pernah bertarung dengan Soneta di atas panggung. Pertarungan musik rock dan dangdut juga adalah inti cerita film ini. Film-filmnya Rhoma tidak salah jika dikatakan sebagai film musik rock bernapas Islam yang pertama di dunia. Terutama Perjuangan dan Doa, yang mengisahkan perjalanan Rhoma dan Orkes Melayu Sonetanya ke berbagai daerah sambil berdakwah. Tujuh lagu yang dalam film ini semakin meyakinkan Rhoma bahwa dengan dangdut-rocknya, dia juga bisa menjalankan misi agama.

Meskipun, lagi-lagi, Rhoma diterpa berbagai komentar yang tidak setuju dengan langkahnya. Sebuah pendapat muncul, misi dakwah melalui musik dan film seperti yang telah ditampilkan Rhoma sebagai tindakan yang tidak terpuji. Sebab, masyarakat menilai Rhoma lebih condong pada komersialisasi di samping penampilan Rhoma tidak ubahnya seperti Elvis Presley.(Tresnawati-14v)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *