Koq, Aku… Belum Dipindah?
Sumber: Anggaran.go.id, 26-04-2004
Oleh Asrukhil Imro
Setelah capai dengan perjalanan seharian, aku terbaring lemas dikamar hotel tempat bermalam. Sungguh perjalanan panjang yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Meskipun dulu pernah aktif di STAPALA, organisasi kemahasiswaan pecinta alam, perjalanan ini merupakan perjalanan terjauh yang pernah aku lakukan. Perasaan takut, was-was, terasing, dan jauh dari keluarga langsung menyerang hari pertamaku tugas di daerah.
Sebelum berangkat, sebenarnya kami berempat sudah mencari informasi lengkap tentang daerah yang akan kami tempati. Kebetulan kami satu angkatan dan cukup akrab satu sama lain. Adat istiadat masyarakat, makanan setempat, tempat-tempat wisata yang mungkin dikunjungi dan tetek bengek lain berhubungan dengan kantor kami. Menurut cerita senior kami yang baru dimutasikan dari daerah sana, masyarakat disana cukup ramah. Adatnya hampir sama dengan di Jawa. Jarang terjadi konflik horisontal antar masyarakat setempat maupun dengan pendatang. Syukurlah. Informasi tersebut cukup menyenangkan hati kami. Meskipun tidak mampu membendung air mata bak banjir tahunan di Jakarta ketika aku pamitan dengan Ibu dan Bapak tercinta. Aduuuh sedihnya. Kami pun akhirnya berangkat dengan semangat 45.
Sebenarnya memang tidak ada yang beda dengan daerah kami, masalah pekerjaan di kantor tidak banyak. Penyesuaian dengan teman-teman yang lebih senior di kantor praktis lancar tanpa friksi yang berarti. Itu semua karena kami tetap kompak untuk saling mengingatkan satu sama lain kalau ada teman yang berlebihan dalam bersikap dan bertutur. Dan kita juga sebisa mungkin untuk menghindari konflik dengan mengalah atau meminta maaf. Sikap kami ini ternyata menarik simpati pegawai lain dan atasan kami.
Tak jarang kami diminta menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ”sisa” yang tidak menarik dan tidak menantang. Tetapi yang lebih menyenangkan adalah kalau disuruh membantu kegiatan diluar kantor. Baik acara kedinasan maupun acara keluarga. inilah waktunya untuk bersenang-senang dan bermasyarakat. Kenalan sama teman-teman di luar kantor, siapa tahu ada gadis manis menarik hati.
Ada cerita menarik dari Tori, setelah tidak jadi sama Rida, dia jalan-jalan keliling desa dengan sepeda motor kesayangannya. Dasar anak suka ngebut-ngebutan, dia menjalankan motornya dengan kecepatan kelewat tinggi. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, tabrakan! Syukurlah hanya memar di sekujur badan meski harus mondok di rumah sakit daerah selama tujuh hari. Repotnya bukan main kami dibuatnya. Karena jauh dari keluarga, kami jadi kompak gantian jagain Tori yang terbaring tak berdaya dengan infus.
Tori Bukan hanya ganteng tapi bersemangat. Meskipun sakit, masih juga mencari peruntungan. Dan peruntungan itu jatuh sama Siska, perawat yang sabar merawat Tori selama sakit. Sebenarnya kami sudah curiga. Eh, ternyata benar saja begitu dia sembuh dia minta kami melamar Siska untuknya. Aduh Tori… tori.
Aku sendiri kawin setelah anak pertama Syam dan Julia lahir. Istriku, anak bendaharawan rutin Pengadilan Negeri. Kebetulan aku yang pegang kantor tersebut. Bukan memanfaatkan kesempatan. Betul-betul karena kebetulan. Yah, seperti sinetron di TV swasta banyak kebetulannya jadi tidak seru.
Hampir semua pernikahan kami tidak dihadiri oleh orang tua kami. Alasannya sih sibuk di Jawa. Sesungguhnya tidak ada biaya. Bukan kami pelit untuk mengirim uang transport. Tapi kami juga harus keluar biaya banyak untuk mengurus pernikahan kami. Terpaksa yang jadi wali kami biasanya kepala kantor. Atau teman-teman senior pegawai setempat yang tahu tata cara pernikahan daerahnya. Acara pesta pernikahan kami bukan bertabur bunga dengan segala kemewahan tapi lebih banyak tangis haru karena semua yang ngurus orang lain yaitu teman-teman kantor, teman paguyuban dan teman genk warung makan tempat kami biasa kumpul sehabis magrib.
Waktu terus berjalan, tahun demi tahun kami lalui dengan banyak kesibukan. Anak-anak kami tumbuh di daerah. Semua itu kami syukuri dan terus bersyukur. Hingga bertambah kenikmatan setiap saat. Syam dan Julia bingung apakah mau beli rumah atau tidak. Syam sebenarnya tidak ingin punya rumah di daerah. Tapi Julia ngotot pengen punya rumah sendiri pisah dengan orang tuanya. Syam punya rencana membangun rumah di daerah asalnya dan berharap bisa pindah kesana. Meskipun dengan berat hati, akhirnya Syam menuruti kemauan istri mengambil KPR BTN.
Tori yang aktif dan dinamis sudah mampu melebarkan sayap bisnis. Kami tidak menyangka Tori yang super cuek ternyata punya bakat bisnis luar biasa. Selua peluang bisnis disikat habis. Bahkan dai mampu mencari peluang kecil yang tidak pernah dipikirkan orang lain sebelumnya. Sekarang modalnya besar dan omzetnya berlipat-lipat. Kami menyebutnya juragan. Bahkan, dialah yang menjadi sponsor buat teman-teman. Ketika kami menanyakan sukses bisnisnya, dengan rendah hati Tori mengatakan, ”Jujur dan berbagi dengan sesama.” Terima kasih Tori atas kebaikannya.
Triyo lebih kalem dalam bertutur dan bertindak, mungkin bawaan orang solo begitu. Dia memang dari sana. Lahir dan besar dalam lingkungan budaya jawa yang kental. Dia sering menjadi penengah kami karena sikapnya tidak meledak-ledak. Sabar sekali, hal ini dia buktikan ketika anaknya lahir tidak normal. Rida, istrinya sangat terpukul ketika tahu anak pertamanya tidak normal. Lain dengan anak-anak normal. Triyo dengan sabar menguatkan mental istrinya, mengasuh dan mendidik Surya Timur, begitu pasangan Triyo dan Rida memberi nama buah hatinya.
“Surya artinya matahari dan Timur adalah timur, untuk mengingatkan tentang daerah tugas pertama,” katanya saat kami tanya akan arti nama anaknya.
Kami semua prihatin dan terus mencoba membantu apa saja yang bisa kami berikan. Kami tidak pernah mendengar Triyo berkeluh kesah atau meminta bantuan kami meskipun kami terus mencoba menawarkannya. Menurutnya, semua keluh kesah sudah disampaikan kepada Allah dalam munajat malam dan doa sehabis Sholat ta ha jud. Kami sering malu kalau berkaca pada Triyo tentang kesabarannya, ketaatannya dan kejujurannya. Ajari kami, Triyo.
Aku sendiri setelah kelahiran Jihan Putri, anak pertama kami, lebih konsentrasi mengurus klub olah raga dan mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta. Olah raga merupakan hobi dan mengurus organisasinya sudah menjadi kebiasaanku berorganisasi sejak mahasiswa. Meskipun tidak jago main bola, aku selalu ikutan dalam setiap pertandingan. Wong, pemainnya kurang. Sedangkan mengajar, lebih karena tuntutan ekonomi dan berbagi ilmu. Kesibukanku di luar sering diprotes sama istri.
Tidak terasa penugasan kami sudah memasuki tahun kelima. Inilah tahun terberat bagi kami. Semua kegiatan yang kami lakukan sudah tidak mampu lagi mengusir rasa kangen kampung halaman. Home sick, yah kami semua sudah terserang virus pulang kampung. Rindu berat seperti pertama kami jatuh cinta. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, kerja pun tak beres. Ngga mood. Ketika kami mencoba telepon ke Jakarta untuk menanyakan ”nasib” kami, jawabnya sabar dulu belum gilirannya. Kami mencoba untuk bersabar.
SK Mutasi keluar, tetapi belum ada nama kami. Kami bersabar. Kemudian disusul dengan SK mutasi lagi, nama kami pun belum tercantum. Kami bersabar. Ketika kami mencoba menghubungi jakarta lagi jawabannya sama,”Sabar dulu belum gilirannya.” Kami pasrah, barangkali ini yang terbaik untuk saat ini. Mutasi lagi mutasi lagi, tidak ada lagi tidak ada lagi. Bosan akh. Itu kalimat yang sering kami kirim dan kami terima lewat e-mail dan sms. Koq, aku belum dipindah ?
(Ditulis berdasarkan cerita pengalaman teman-teman yang pernah tugas di daerah. Nama tokoh bukan sebenarnya)
Asr.I
Leave a Reply