Lius Pongoh, Api Semangat Si Bola Karet
Bicara soal motivasi dan semangat juang, memang nama Lius layak dikedepankan. Dia bisa disejajarkan dengan apa yang dimiliki King, Ardy B. Wiranata, atau ratu bulutangkis Susy Susanty. Sebagai pebulutangkis, Lius sadar kalau hanya mengandalkan kualitas pukulan, fisik yang prima, dan kematangan pengalaman, akan gampang digulung pemain-pemain kelas dunia lainnya. Apalagi, postur tubuhnya juga tidak jangkung.
Karenanya, pebulutangkis kelahiran Jakarta, 3 Desember 1960 itu harus mencoba menutupinya dengan motivasi tinggi. Dia dikenal pantang menyerah. Setiap kali turun bertanding, dia akan menghabiskan seluruh semangatnya, meskipun kondisinya tengah kritis bak telur di ujung tanduk.
Asal berlaga ke lapangan, Lius selalu memiliki semangat untuk tidak mudah menyerah. Gampang kalah atau kehilangan api semangat, selalu dibuangnya jauh-jauh. Justru sebaliknya, dia akan bersemangat tinggi dan tidak memikirkan bagaimana hasil akhirnya. Menurutnya, proses perjuangan di tengah lapangan itu yang lebih utama dibanding dengan hasil akhirnya.
“Saya tidak pedulikan bagaimana hasilnya. Kalah atau menang tidak masalah. Yang lebih penting adalah bagaimana perjuangan untuk tidak gampang menyerah di tengah lapangan. Saya akan puas setelah berjuang habis-habisan, kendati hasilnya saya kalah,” ucapnya.
Semangat dan tak gampang menyerah itu diwujudkan Lius lewat permainan yang lincah bergerak. Meskipun termasuk tidak jangkung, namun Lius memiliki footwork yang di atas rata-rata. Gerak kaki-kaki Lius demikian lincah. Tak heran, berkat kelebihan itu, sepertinya seluruh lapangan tidak pernah terlihat kosong.
Setiap Lius bertanding, seluruh pelosok lapangan dijelajahinya. Dia akan terus bergerak lincah. Kaki-kakinya demikian ringan untuk menjangkau bola pengembalian lawan. Entah itu penempatan bola yang ditaruh di tempat sulit atau empuk, sepertinya bisa dikembalikan. Lius terus bergerak dan memantul layaknya bola. Tak heran, karena keterampilan itu, Lius dijuluki Si Bola Karet.
Jatuh-Bangun
Epos dramatis itu paling kentara ditunjukkan Lius saat melawan Liem Swie King pada turnamen bergengsi, Indonesia Terbuka di Jakarta tahun 1984. Di babak perempat final, Lius ketemu King. Partai ini bisa disebut ulangan semifinal Indonesia Terbuka 1983. Kala itu Lius unggul 15-13, 18-13 atas King.
Lius yang sebenarnya tidak diunggulkan, justru menang 18-15 di set pertama. Namun, di set berikutnya, dia ditekuk King secara telak, 5-15. Itu artinya, siapa yang bakal menjadi pemenang untuk lolos ke semifinal harus ditentukan di set ketiga.
Di set penentuan itu, King langsung menggebrak. Pemain asal Kudus itu langsung unggul 14-1 atas Lius. King bisa meninggalkan Lius lewat permainan ofensif dengan smash-smash kerasnya. Pendeknya, King begitu garang dan tinggal membutuhkan satu angka lagi untuk meraih tiket ke semifinal.
Di sinilah kelebihan Lius berbicara. Dia tidak mempedulikan King yang tinggal membutuhkan satu angka, tetapi terus berusaha mengejar pengembalian bola King. Lius bergerak dan bergerak penuh semangat. Tidak mau menyerah, itu prinsipnya. Lius bermain ngotot dan layaknya bola karet, dia melenting ke sana kemari. Usaha keras Lius itu bak mimpi buruk bagi King yang ternyata meraih satu angka itu sangat sulit.
Mungkin karena dilandasi semangat tidak mau menyerah dan berprinsip proses lebih penting dibanding hasil, Lius menambah poin satu demi satu. Akhirnya semangat juang itu berbuah manis, Lius berhasil menyusul King, 14-14 dan kemudian menggapai tiket ke semifinal setelah menutup set ketiga dengan 15-14.
Di semifinal, Lius jumpa jagoan Denmark, Morten Frost Hansen. Dia pun unggul 5-15, 15-9, 15-9 dan melaju ke final bertemu Hastomo Arbi. Di final, dia menang 15-5, 10-15, 15-13 dan menjadi juara.
Wajar kalau kemudian banyak pihak memuji penampilan Lius. Salah satunya adalah Ciro Ciniglio, manajer tim Inggris. Ciniglio tidak berkomentar panjang lebar. Dia berkata pendek, “Magnificent come back,” ujarnya kala itu.
Berkat kaki-kaki yang bergerak lincah itulah, Lius tak hanya memuncaki turnamen Indonesia Terbuka. Dia juga sukses memenangi kejuaraan di Taipei, Jerman, Skotlandia, dll. Puncaknya, dia memperkuat skuad tim Piala Thomas tahun 1982, 1986, dan 1988. Sebuah tim yang hanya berisi jajaran pemain-pemain terbaik Indonesia pada jamannya.
Filosofi Anak Jerman
Putra sulung pasangan Darius Pongoh dan Khaterina itu memang sejak kecil memiliki kelebihan dalam hal motivasi. Itu karena berkat didikan orangtua yang melatihnya sejak kanak-kanak. Sang ayah selalu berpesan khusus kepada istrinya agar jangan sekali-kali memanjakan Lius.
Tak hanya itu. Metode latihan yang diterapkan Darius didapat dari sebuah artikel di majalah berbahasa Jerman. Di situ dikisahkan karena kemiskinan keluarga, seorang anak yang beranjak remaja berlatih setiap hari dengan mengangkat seekor anak sapi berumur 10 bulan. Caranya, kedua tangan anak tersebut ditempatkan di bawah perut anak sapi itu, kemudian mengangkatnya perlahan-lahan, layaknya olahraga angkat besi.
Bertahun-tahun, anak miskin itu mengangkat anak sapi secara rutin setiap hari. Anak sapi itu bertambah besar, begitu pula si anak. Akhirnya secara alamiah, si anak itu menjadi seorang atlet angkat besi andalan Jerman. Intinya, tanpa harus mengeluarkan uang banyak, sebenarnya bisa dicetak atlet berprestasi jika latihan dimulai sejak dini dengan disiplin tinggi pula.
Filosofi mencetak atlet kelas dunia tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi itu rupanya yang diterapkan Darius terhadap putranya. Rupanya, filosofi itu pun telah dibuktikan Lius yang kemudian hari termasuk salah satu pebulutangkis andalan Indonesia di kancah internasional.
Intinya, dengan segala kekurangan kalau berlatih penuh semangat juang dan dibarengi disiplin tinggi, bukan mustahil akan lahir seorang pemain hebat. Itu bisa dilihat pada kiprah Lius Pongoh, Si Bola Karet yang memberikan pelajaran berarti: jangan cepat menyerah dalam mewujudkan cita-cita!
Leave a Reply