Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme (2)
Sumber: Satunet.com (http://satunet.com/artikel/isi/00/03/23/10295.html)
Oleh: Munir, S.H.
Tulisan sebelumnya: Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme (1)
Dalam merumuskan kembali kekuatan sebagai bangsa, tantangan utamanya adalah merumuskan nilai, apakah nilai demokrasi atau lainnya. Kalau kemudian direfleksikan bahwa bahaya militerisme adalah bahaya terhadap bangun bangsa, maka berapa besar nilai itu dikoreksi, dengan menumbuhkan nilai lain sebagai anti tesis.
Memang amat ironis, tanpa kesadaran menolak nilai-nilai dasar militerisme, upaya memangkas peran militer menjadi semangat tersendiri dalam perubahan politik nasional. Karena bagaimanapun juga, susah ditemukan diberbagai pengalaman sejarah bangsa lain, upaya mengurangi peran militer –sebagai konsekuensi dari demokratisasi– tidak didasari oleh penolakan atas prinsip-prinsip dominasi dalam nilai yang dibawa oleh prinsip-prinsip kerja militer. Dalam hal ini jelas merujuk pada apa yang dimaksud dalam esensi nilai militerisme.
Militerisme sendiri merupakan suatu paham yang berbasis kepada ciri-ciri organisasi militer, yaitu bersifat monolitik, terpusat, dan penyanjung utama tindakan kekerasan. Penolakan atas sifat-sifat itulah yang kemudian menjiwai upaya membangun demokrasi.
Monolitik
Sifat monolitik dari organisasi militer adalah kesatuan sikap tindak dan watak, serta respon atas realitas eksternal maupun internal. Tidak dikenal dalam dirinya sifat oposan bahkan sistem kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis.
Monolitik dalam paham militerisme ini di masa Orde Baru muncul dalam bentuk dominasi ideologi negara, atau kemudian yang dikenal Pancasila sebagai asas tunggal. Suasana ini telah menjebak semua kekuatan ke dalam kecurigaan ideologi, dan menyerahkannya kembali kepada negara (state) sebagai pemilik ideologi tunggal. Negara sebagai representasi dari ideologi, dan sekaligus pemilik tafsir tunggal atas idelogi itu. Rakyat sebagai bagian dari kesatuan bangsa, haruslah menjadi bagian dari pendukung kekuasaan yang terbalut ideologi tunggal.
Kalau masa Orba kita kenyang akan istilah ‘Manugaling Kawulo lan Gusti’ atau paham integralistik, adalah bentuk pembenaran terhadap diadopsinya secara mutlak nilai monolitik ini. Manugaling kawula lan Gusti, yang berarti penguasa dan rakyat adalah suatu yang tidak terpisah, yang satu adalah bagian dari yang lain, kehendak yang satu adalah kehendak yang lainnya. Semua watak dan gagasan penguasa adalah suatu yang tidak boleh berbeda dengan semua elemen rakyat, maka rakyat adalah bagian dari sistem kekuasaan yang harus disesuaikan dan dikendalikan oleh Penguasa. Penguasa tunggal adalah representasi dari rakyat yang bersifat tunggal pula. Maka negara akan mengontrol kuat semua kemungkinan lahirnya sikap yang berbeda dengan Penguasa. Penguasa penjaga tunggal ideologi bangsa, yaitu nilai yang dimiliki oleh si penguasa sendiri yang harus diterimakan secara paksa ataupun hegemonis kepada rakyat.
Tentu perilaku ini dibangun dalam basis-basis sistem politik yang dilegitimasi sebagaimana prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Secara rutin syarat-syarat bernegara dipenuhi, seperti adanya pemilu reguler, adanya peradilan yang bekerja untuk memutuskan berbagai sengketa hukum dan politik, adanya parlemen dst. Tentu pengaturan ini juga melibatkan sistem hukum yang berorientasi kepada penguatan sisi Penguasa.
Sebagai alat kontrol yang efektif untuk menjaga itu, Penguasa membaluti dirinya dengan ideologi tunggal. Semua kekuatan yang muncul di luar restu negara, dinilai sebagai upaya menentang ideologi tunggal. Maka dikenalkanlah istilah ekstrim kiri, ekstrim kanan, ultra nasionalis, ekstrim kanan kiri oke (Karaoke), untuk menjelaskan protes penguasa atas lahirnya upaya perlawanan rakyat. Tentu hal ini dibentengi oleh berbagai instrumen untuk menjaganya, seperti dibentuknya Lembaga Penelitian Khusus (Litsus), Penataran Pancasila, bahkan disediakan pula berbagai pasal-pasal kriminal bagi mereka yang melanggarnya. Kebijakan pembredelan media massa adalah bagian dari instrumen ideologi tunggal ini.
Kalau beberapa waktu yang lalu Presiden Abdurrahman Wahid menghapus Lembaga Penelitian Khusus (litsus) tentu hal ini bergerak dari kesadaran akan penolakan hak-hak mutlak penguasa atas ideologi ini. Akan tetapi kenyataan politik justru menunjukkan adanya gejala aneh, yaitu sebagian masyarakat mengkhawatirkan penghapusan itu. Gejala ini tidak saja lahir dari adanya kekhawatiran akan hidupnya kembali perang ideologi antar kekuatan politik, akan tetapi justru kuatnya perilaku Orde Baru telah menjadi alat ukur kebenaran ideologi dan kehidupan.
Penolakan yang aneh ini sebenarnya hanyalah berbasis pada kuatnya kekhawatiran kembali trauma sejarah pergulatan politik pada tahun enam puluhan, yang kemudian melahirkan Orde Baru. Persoalan ini lebih karena adanya tuntutan menguatkan kembali kewenangan-kewenangan negara kembali, seperti yang terjadi sebelumnya, yakni didukungnya gagasan bahwa negara masih memiliki hak untuk bertindak menjadi penjaga ideologi serta mengontol kehidupan masyarakat secara penuh.
Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang sedang berlaku, bagaimana mungkin membangun demokrasi dengan mengembalikan kekuasaan negara yang bersifat mutlak. Padahal di balik kekhawatiran dan tuntutan itu, telah memberi peluang bagi kontrol tidak saja pada ideologi komunis dan kiri lainnya, akan tetapi terhadap semua ideologi dan gagasan yang berbeda, termasuk gagasan Islam dan Nasionalis kanan ataupun kiri.
Pada titik ini kita menemukan bukti, bahwa perilaku dan nilai monolitik negara Orde Baru telah diinternalisasi dan didukung oleh sebagian anggota masyarakat untuk merumuskan masa depan dan melihat permasalahan kekinian. Bahaya terbesar dari nilai monolitik adalah internalisasi keyakinan dan nilai ini dalam kehidupan masyarakat. Sebab dalam kenyataan hidup 32 tahun Orde baru telah menciptakan lingkungan yang serba monolitik. Segala bentuk realitas heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras, etnis adalah suatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan yang kehilangan rasionalitas. Berbagai konflik dan faktor disintegrasi yang demikian luas adalah cermin dari perang identitas kelompok yang mengingkari bahwa perbedaan itu ada dan sah adanya.
Catatlah hari ini apa yang terjadi dengan konflik Maluku, konflik Sambas dst, yang benar-benar sulit dipahami dapat terjadi demikian meluas dan memperoleh dukungan masyarakat. Masyarakat yang terbelah adalah hambatan besar bagi upaya membangun bangsa. Bagaimana menemukan nilai baru yang menimbulkan semangat untuk mempersatukan diri dan merumuskan cita-cita bersama. Di sinilah sifat kekuasaan monolitik harus dikoreksi, tidak saja pada sistem politik negara, akan tetapi pada bangun kesadaran rakyat. ***
Bersambung ke: Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme (3)
Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.
Leave a Reply