Mempertanyakan Bangkitnya “Civil Society”

Sumber: Satunet.com

  • http://satunet.com/artikel/isi/00/06/12/17379.html
  • http://satunet.com/artikel/isi/00/06/17/17383.html

munirOleh: Munir, S.H.


–o povo, el pueblo, il popolo, le peuple, ho laos–

Bagian I

Sebagaimana diuraikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya (Meniti jembatan transisi I-IV), faktor-faktor penting bagi transisi menuju demokrasi justru menjadi faktor minor dalam warna perubahan politik Indonesia hari ini. Akan tetapi bagaimana seharusnya memberikan jawaban yang tepat bagi masa depan transisi ini, tentu kita akan melihat bagaimana tumbuhnya Civil Society, atau beberapa kalangan menyebutnya Masyarakat Madani, dalam proses ke depan.

Di awal tahun 70-an, sebagaimana terjadi di berbagai tempat di Eropa dan Amerika, pemikiran sosial-politik diramaikan dengan karya-karya para teoritisi/pemikir tentang kapitalisme dan pembentukan negara di negara-negara post kolonial. Pada dasarnya pemikiran mengenai kapitalisme dan negara memulai dirinya dengan beberapa posisi.

Pertama, deskripsi umum mengenai perdebatan tentang teori negara kontemporer.

Kedua, pemetaan teoritis terhadap paradigma-paradigma dominan tentang negara yang berkembang hingga tahun 70-an dengan fokus utama pada konstruksi teori-teori modernisasi dan/versus teori-teori keterbelakangan atau teori ketergantungan (dependensia).

Biasanya bagian ini disertai pula dengan mengungkap kelemahan-kelemahan teori modernisasi yang menganggap keterbelakangan negara-negara pasca kolonial bersumber dari gagalnya proses modernisasi dalam artian menjadikan sejarah Eropa dan Amerika (yang modern) sebagai replika dan jalan utama yang harus diikuti negara pasca kolonial (tradisonal). Di sini sejarah negara dunia ketiga sebagai sejarah negara bekas jajahan diabaikan.

Sementara teori dependensia yang mengganggap negara semata-mata alat (instrumentalis) kapitalis internasional, dianggap mengabaikan dinamika-dinamika yang dilakukan oleh negara pada momen-momen tertentu yang seringkali justru mengesankan anti posisi di atas modal tertentu .

Mengatasi kelemahan-kelemahan teori pembangunan konservatif sebelumnya, kaum dependensia mengajukan Teori Negara Pasca Kolonial, yang salah satunya dikemukakan oleh Hamza Alavi berdasarkan studinya atas Bangladesh dan Pakistan.

Teori Alavi sendiri di kalangan kelompok diskusi pada zaman itu sebenarnya lebih dikenal dengan teori Negara Kapitalis Pinggiran. Yang menonjol dari pemikiran Alavi ini –yang nampaknya juga menjadi sorotan utama penulis– adalah gagasannya mengenai otonomi relatif negara. Awal tulisan ini hendak mendasarkan diri pada paparan Alavi mengenai negara pinggiran dan otonomi relatif negara.

Otonomi relatif negara berarti dua hal, yakni bahwa negara pasca kolonial tidak dapat dilihat semata-mata sebagai alat tunggangan dari kelas pemodal. Menurut Alavi, dalam keadaan dan untuk keperluan faksi modal tertentu, negara melalui aparat-aparatnya justru memainkan peran yang cukup signifikan dalam penundukan suatu faksi modal tertentu pula.

Dalam kejadian ini, di satu momen, negara tampil sebagai institusi yang nampaknya terlampau kuat dan tidak bisa dikalahkan, bahkan oleh si kapitalis sekalipun (interfensionis), sebagaimana banyak terjadi pada negara-negara otoriter di Amerika Latin dan di Asia.

Salah contoh terbaik negara pasca kolonial dalam sorotan teori otonomi relatif negara adalah pengalaman Indonesia di bawah Suharto, di mana sebagai akibat lemahnya kelas-kelas bisnis domestik akibat penghancuran pada masa kolonial, maka ketika bermaksud melakukan pembangunan ekonomi untuk memenuhi keperluan legitimasinya, negara beserta aparat-aparatnya –dalam hal ini militer dan birokrasi– justru memainkan fungsi secara agresif sebagai fasilitator dan selektor dalam menumbuhkan kelas-kelas bisnis domestik. Di dalam pola relasi semacam inilah pembangunan ekonomi disemai.

Dalam pola ini pula kapitalis kroni mulai diberi tempat secara lebih leluasa.

Namun demikian, seiring dengan kebutuhan-kebutuhan baru dalam pasar, serta tantangan-tantangan yang dihadapinya sehubungan dengan problem populasi dunia yang makin meningkat, terdapat kekurangan sumber daya di sejumlah belahan dunia, serta hubungan-hubungan politik baru di beberapa tempat seperti Eropa dan Asia.

Sementara pada kenyataan lain, pemusatan modal yang makin mengerucut di tangan-tangan rezim-rezim politik beserta kroni-kroninya memunculkan problem-problem baru dalam kepentingan kapitalisme global, seperti tersendatnya akumulasi akibat inefisiensi dalam birokrasi, korupsi, kronisme dan konservativisme politik yang mengarah kepada bentuk-bentuk fasisme dan totaliterianisme.

Akhir dari semua pemusatan ini adalah munculnya gelombang baru pasca gelombang politik di Eropa Timur, yang mengugurkan politik otoriterian di negara-negara dunia ketiga bersamaan dengan krisis ekonomi.

Sayangnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alavi, kerontokan rezim politik itu tidak serta merta merontokkan karakter dan struktur kapitalisme pinggirannya. Salah satu hal yang bisa dijadikan petunjuk adalah, masih berkuasanya borjuasi kroni dan sulitnya menghancurkan struktur korupsi di negara-negara yang dimaksud.

Di sini sebagai kelanjutannya, problem faksionalisasi modal menghadirkan persoalan baru. Salah satunya adalah problem ideologi sebagai akibat lemahnya kekuatan-kekuatan ekonomi nasional yang mandiri dan independen.

Untuk mengambil alih ekonomi borjuasi yang ada, di mana kemunculan aktor baru dalam struktur ekonomi tidak dimungkinkan, maka sebagai akibatnya struktur ekonomi pasca krisis tidak dapat tidak harus kembali lagi menjadi barang rebutan antara faksi-faksi yang kuat dalam ekonomi yakni faksi modal internasional dan modal domestik lama (kroni). Persaingan ini menghasilkan isu baru dalam ekonomi dengan menguatnya ideologi-ideologi nasionalisme ekonomi.

Tersangkut soal ini, banyak negara merespon dengan cara yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, rezim baru post politik otoritarian masa Gus Dur melakukannya dengan mengajak masuk kembali ke panggung berbagai faksi-faksi modal utama, baik yang lama maupun yang baru, yang kroni maupun yang belum kroni. Dengan sedikit aroma anti Barat serta pembentukan poros Jakarta-Beijing- New Delhi dan bertahannya pola relasi lama aparat-aparat negara.

***

Bagian II

–o povo, el pueblo, il popolo, le peuple, ho laos–

Dalam pengalaman lain, meskipun tidak berhasil menelurkan jalan baru untuk sirkulasi elit dan politik yang lebih terbuka, Mahathir Mohamad memasang ideologi ‘nasional’ yang relatif kuat untuk menahan arus baru dalam ekonomi global. Dibandingkan dengan tetanggganya di Indonesia, secara ekonomis kebijakan Mahatir terlihat lebih kokoh.

Artinya di satu sisi, kita menemukan harapan baru untuk tatanan demokratis yang lebih kuat dalam masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid, namun kita tetap mesti mengkhawatirkan kelangsungnya, mengingat bahaya besar akibat penataan struktur ekonomi yang tersendat-sendat bisa menyeret keseluruhan tatanan yang dibangunnya ke dalam krisis yang parah, sehingga menggoda kelompok-kelompok oportunis dan konservatif untuk tampil dalam politik lagi.

Di lain sisi, kita melihat suatu ketangguhan ekonomi yang dipamerkan oleh kepemimpinan politik Malaysia, namun keberlanjutan konservativisme menghasilkan semacam frustasi politik yang panjang akan kemungkinan hadirnya tatanan politik yang lebih sehat dan demokratis.

Namun demikian pada intinya kita mungkin melihat suatu penataan baru, baik dalam struktur ekonomi maupun dalam negara yang agaknya sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghasilkan paradigma dan struktur baru dalam politik dan ekonomi. Di negara-negara semacam Indonesia dan Malaysia, ini menunjukkan keterlambatannya dibandingkan dengan proses-proses yang telah terjadi di Filipina, Korea dan Thailand, Taiwan.

Implikasi-implikasi sosiologis untuk peradaban “Civil Society” di Indonesia

Melalui paparan di atas kita mendapatkan beberapa kesimpulan sederhana yakni:

Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa kita tengah menyaksikan suatu babak baru dalam pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Pertumbuhan itu tidak hanya mengarah ke dalam dirinya sendiri dalam rupa berbagai perubahan dalam formasi negara, melainkan juga kepada impaknya yang lebih luas dan menyeluruh, seperti misalnya dalam hal perubahan di Timor Timur.

Namun demikian, melihat asal-usul politik-ekonominya, kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa perubahan-perubahan itu senyatanya tidak sepenuhnya berada dalam pengendalian politik publik yang luas dan demokratis. Sebagaimana halnya juga terjadi di Timor Timur, di mana perubahan-perubahan politik yang signifikan terjadi di bawah pengendalian politik yang kuat dari elemen-elemen di luar politik publik yang orsinil.

Gejala ini memperkuat argumen di atas yakni bahwa dalam kenyataan multi partai saat ini, kita masih kesulian untuk menemukan suatu politik massa, atau politik kelas yang organik, kuat atau paling tidak hadir sebuah politik populis yang nyata dan terpadu. Di sini kita juga melihat, bahwa dalam pengalaman Indonesia, kekuatan-kekuatan politik yang ada tidak lebih dari sekadar replika dari format politik yang lama. Sebuah anggur lama dalam botol baru.

Selain itu -–sebagai akibat dari semua gejala ini– perubahan-perubahan yang signifikan dalam politik publik yang lebih riil nyaris tidak terjadi. Yang terjadi lebih merupakan semacam pengembangan dan perluasan diskursus mengenai demokrasi ketimbang kenyataan kuatnya suatu civil society.

Kenyataan ini diperkuat dengan fakta gugurnya politik partisipatif partai-partai sebagai akibat membeloknya elit-elit partai politik lokal dari isu dan janji-janji, serta inisiatif massanya di sejumlah daerah. Selain itu, masih diteruskannya konflik elit politik dengan beragam isu-isu politik yang sama sekali tidak berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan konkret publik.

Selain itu, fakta juga memperlihatkan bahwa struktur birokrasi lokal masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan lama, di mana pejabat-pejabat daerah masih berkuasa dalam cara dan paradigma kekuasaan Orde Baru.

Dengan demikian bisa dipastikan bahwa apa yang disebut sebagai kebangkitan civil society di Indonesia lebih terletak pada gejala menguatnya gagasan-gagasan mengenai demokrasi serta beberapa ‘penguatan pergumulan’ politik di lapisan elit masayarakat.

Kedua, dalam konteks Indonesia kita menyaksikan masih berlangsungnya konflik antara unsur-unsur baru dalam politik demokratis dengan unsur-unsur lama dalam politik otoritarian. Yang menjadi soal di sini adalah bahwa dalam proses pertarungan ini, politik demokratis yang simbolnya saat ini masih diemban oleh presiden tengah mengalami hambatan politik yang cukup ketat, baik yang bersumber dari lawan-lawan politik Gus Dur maupun dari kekuatan-kekuatan politik lama. Selain itu menurunnya kekuatan dan sumber moral demokrasi yang selama ini menjadi basis legitimasi untuk melakukan konflik terbuka, seperti kekuatan mahasiswa dan partai-partai lainnya, terhadap politik otoriter juga semakin mengalami kemunduran.

Dengan demikian untuk keperluan Indonesia kita masih melihat perlunya semacam ‘pembasisan’ politik untuk mengajak partisipasi yang lebih luas dari politik massa dan politik yang lebih rasional untuk menggantikan politik ‘aliran’ yang selama Orde Baru telah digunakan sebagai alat memecah belah civil society.

Dalam contoh kasus Malaysia, munculnya kekuatan oposisi Malaysia di bawah kepemimpinan Anwar Ibrahim dan Wan Azizah menyebabkan partisipasi politik dan pergerakan rakyat tumbuh tetap di bawah kendali kekuatan elit politik lama yang telah merubah posisi diri. Hal serupa pernah terjadi dalam kasus Megawati pasca peristiwa 27 Juli 1996, yang menimbulkan kebutuhan simbol perlawanan dengan memberikan dukungan terhadap PDI yang merupakan partai ciptaan rezim Orde Baru.

Kalaupun apa yang bangkit di arus bawah itu dilihat sebagai sebuah hasil tumbuhnya dasar-dasar Civil Society yang kuat, maka itu tampaknya lahir dari pengalaman riil elemen ini di hadapan rezim otoritarian Orde Baru dan pengalaman perlawanannya. O’Donnell mengatakan, “Berbagai lapisan dari suatu masyarakat sipil yang secara cepat bangkit dan mengalami politisasi, saling berinteraksi untuk saling mendukung dan menggerakkan tuntutan perluasan lebih jauh dari suatu yang disebut o Processo”. (O’Donnell M Golermo, Transitions from Otoritarian Rule, 1986, LP3ES, Jakarta.)

Dalam keperluan itu, tidak dapat tidak pembangunan struktur baru dalam ekonomi dan politik harus lebih mempertimbangkan kenyataan bahwa pada dasarnya ekonomi dan politik senantiasa berhubungan. Karenanya, pembangunan struktur baru dalam ekonomi yakni dengan menghadirkan kelompok–kelompok pinggiran dan tertindas sebagai aktor aktif, secara jelas akan berimplikasi terhadap politik demokratis di masa depan. 


*) Tulisan ini merupakan gagasan yang diinspirasi dari makalah tentang bangkitnya Civil Society yang dipersentasi dalam14th Asia-Pacific Rountable, Kuala Lumpur, 3 Juni 2000, yang ditulis Munir atas dukungan Robertus Robert dari Litbang YLBHI.

Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.

One Response to Mempertanyakan Bangkitnya “Civil Society”

  1. I liked your blog so much.

    I would like to thank you for the contribution.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *