Pengalaman Naik Taksi dari Stasiun Gambir

Pindahan dari Multiply

URL: http://multiplyjakarta.multiply.com/journal/item/7/Pengalaman_Naik_Taksi_dari_Stasiun_Gambir

Suatu pagi setelah lebaran tahun lalu, saya turun dari kereta api di Stasiun Gambir. Karena masih dalam suasana lebaran, kereta terlambat dua jam dari jadwal yang direncanakan. Begitu keluar dari gedung stasiun, saya menuju ke pangkalan bus DAMRI[1] jurusan bandara karena harus melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh. Beberapa jurus kemudian, seorang sopir taksi dari perusahaan yang tidak jelas menghampiri saya dan mengatakan, “Busnya masih lama jalannya. Sejam lagi. Taksi aja.”

Saya bukan percaya kepada sopir taksi tak jelas itu, tetapi melihat bus masih kosong, paling tidak setengah jam lagi bus baru berjalan. Tapi saya tidak kemudian menerima tawaran si sopir, melainkan mencari taksi yang bisa saya percaya tarifnya. Kebetulan tak jauh dari situ mangkal satu unit taksi Blue Bird. Ok, Blue Bird jadi. Sebenarnya kalau ada taksi Express, Mega Kosti, Primajasa, atau beberapa taksi lain yang saya yakini, saya akan tinggalkan Blue Bird. Tapi saya lebih memilih Blue Bird daripada taksi Sepakat, KTI [2], Family, dan sekelasnya yang tarifnya tidak bisa saya percaya.

Begitu melihat saya mendekati Blue Bird, wow, para sopir taksi nggak jelas itu ramai-ramai meneriaki saya dengan ucapan yang tidak pantas diungkap di sini. Si Mas sopir Blue Bird juga kelihatan ragu-ragu untuk mengangkut saya. Sampai saya harus nanya ke dia, “Mas takut ya?! Ayo antar saya ke bandara!”. Setelah bengong beberapa jenak, si Mas Sopir akhirnya menyuruh saya masuk. Teriakan para sopir nggak jelas tetap terdengar sampai Blue Bird berjalan.

Terhadap kebijakan otoritas stasiun KA Gambir yang membatasi taksi yang boleh beroperasi di dalam stasiun, saya sungguh mendukung. Walaupun tidak sampai nyaris diludahi seperti pengalaman Imam Prasodjo[3], saya pernah merasakan nuansa premanisme oleh para sopir taksi liar di stasiun Gambir.

Saya berharap, penertiban tidak berhenti di Gambir. Di Senen, saya juga pernah kesulitan mencari “taksi bener.” Bayangin, di pagi yang buta saya baru dapat taksi bonafid setelah berjalan kaki sampai depan Plasa Atrium. Di Jatinegara kurang lebih juga sama. Di depan stasiun sulit sekali ditemukan taksi yang jelas fair.

Catatan dan Referensi

  1. [1]Menulis DAMRI harus huruf besar semua, karena DAMRI singkatan dari Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia.
  2. [2]KTI adalah taksi yang bergabung dalam Koperasi Taksi Indonesia
  3. [3]Imam Prasodjo Nyaris Diludahi Sopir Taksi Nakal di Stasiun Gambir (detikcom, 12-03-2010)