Romantika Sihir Rhoma


TEMPO/ Arie Basuki
Rhoma tak sesakti di zaman dulu. Dulu, fans-nya berbondong-bondong memberikan dukungan politik. Kini tak semua yang memenuhi panggung mau sembarangan memberikan dukungan politik.

Reporter: Hans Henricus, Isfari Hikmat
dan Aryo Bhawono


Setiap kampanye yang dihadiri Bang Haji (Rhoma), kami tidak kesulitan mengundang hadirnya massa, selalu melimpah!”
‘Sihir’. Itulah yang dirasakan Muhammad Arwani Thomafi. Partainya, PPP, menggandeng Rhoma Irama sebagai vote getter pada Pemilu 2009. Penampilan Rhoma di atas panggung memang mampu menyedot ribuan massa. Kedigdayaan ini dirasakan Arwani ketika mengikuti kampanye di beberapa daerah seperti Indramayu, Cirebon, Tasikmalaya, Sukabumi, hingga ujung Pantura di Jawa Timur. Mereka adalah penggemar Rhoma. Tidak heran berkat sihir Rhoma, dalam Pemilu 2009, PPP mampu meraup 5,5 juta suara (5,32%) dari total suara 104 juta pemilih.

Sejak zaman Orde Baru, Rhoma memang digdaya. Raja Dangdut ini memberikan kontribusinya dalam bidang politik kepada PPP. Pemilu 1982 pada masa Orde Baru mendudukkan PPP di peringkat kedua (10,8 juta suara) dengan perolehan suara di bawah Golkar (48,3 juta suara), dari suara total (75 juta suara).

PPP memahami kedigdayaan ini. Kesaktian Rhoma memang terletak di atas panggung. Rhoma merupakan penyanyi dangdut paling sukses mengumpulkan massa.

Meninggalkan Rhoma berarti kerugian politik. PPP pun merasakan getir ini. Tahun 1987 Rhoma meninggalkan PPP, mundur dari kancah politik. PPP pun harus merasakan kemerosotan suara.

PPP hanya meraih suara 13,7 juta suara (15,97%) dari total suara 85,8 juta pemilih. Sedangkan Partai Golkar menduduki peringkat pertama dengan 62,7 juta suara atau (73,16%). Rhoma sendiri absen dari dunia politik saat itu.

“Saya kira perjalanan beliau di era politik Orde Baru adalah sebuah dinamika yang harus bisa dipahami sesuai dengan konteks waktunya pada saat itu,” lanjut Arwani.

Kesaktiannya, tak hanya di Indonesia saja, bahkan di Kuala Lumpur, Singapura, dan Brunei Darussalam, panggung Rhoma selalu seramai di Indonesia. Perkumpulan penggemar Rhoma, Soneta Fans Club (SFC), mengklaim penampilan tunggal Rhoma pada 18 Agustus 1985 di Parkir Timur Senayan, Jakarta, mampu menyedot 100 ribu penonton.

Angka ini merupakan jumlah terbanyak untuk penampilan tunggal. Mereka mencatat jumlah yang sama dalam konser Kantata Takwa pada tahun 1989 di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Namun penampilan ini turut membawa artis lain seperti Anggun C. Sasmi, Nicky Astria, dan Fariz RM.

Tak ayal jika kesaktian Rhoma mendapatkan pengakuan sosiolog Universitas Ohio, Amerika Serikat, William H. Frederic. Medio 1985, ia melakukan penelitian untuk tesisnya atas popularitas Rhoma. Alhasil, dalam bukunya ‘Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture’, ia mengakui popularitas Rhoma.

“Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama penghibur paling jempol. Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma,” tulisnya.

Memang, kesaktian ini tak lepas dari kreativitas musik yang diciptakan oleh Rhoma. Dangdut, jenis musik yang didalaminya berkembang dengan pesat.

Rhoma Irama mulai berkarier pada 1963. Ia membawa warna musik campuran melayu dengan timur tengah, gaya ini populer pada masa itu. Campuran gaya musik inilah yang ia bawa bersama band Gayhand.

Perubahan musik baru terjadi pada 1970-an. Rhoma membentuk band-nya sendiri, Soneta. Ia menambahkan warna rock dalam musiknya. Kreasi ini bukan tanpa sebab. Rhoma Irama merupakan penggemar grup musik rock asal Inggris, Deep Purple dan Led Zeppellin. Kreasi barunya inilah yang kemudian melejitkan nama Rhoma Irama.

Tahun 1973, ia mencanangkan semboyan Voice of Moslem untuk warna lagunya. Semboyan ini untuk memadukan unsur rock ke dalam musik sekaligus improvisasi aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan panggung.

Alhasil 11 Golden Record berhasil ia sabet karena popularitasnya. Memang riset pada tahun 1984 mencatat penjualan kaset mencapai angka 15 juta. Riset ini sudah termasuk beberapa film yang dibintanginya, nama Rhoma memang menjual.

Kejeniusan Rhoma mendapat pengakuan. Pengamat musik, Bens Leo mengakui Rhoma berhasil mengembangkan kreativitas menghadapi tren musik yang terus mengalami perkembangan. Musik yang dibawanya tak lekang dimakan usia.

“Contohnya saja dalam lagu ‘Azza’ (tahun 2010) ada warna India dan orkestra. Saya sudah mendengarkannya dan ini bukti kreasi untuk menghadapi tren. Lagu ini tidak terdengar kuno,” ungkapnya.

Tak hanya dari warna musik. Rhoma cukup cerdas menangkap keinginan penggemarnya yang terdiri dari kalangan menengah ke bawah pada masa Orde Baru. Lirik lagunya tak lepas dari kritik sosial, cinta, dan keagamaan.

“Di tangan Rhoma, musik dangdut bisa menjadi gagah,” ungkap pengamat musik Denny Syakrie.

Namun memasuki reformasi, sihir Rhoma tak sesakti di masa lalu. Perilaku masyarakat berubah. Memang Rhoma berhasil membantu PPP dalam Pemilu 2009, namun kesaktiannya hanya mendudukkan partai berlambang Kakbah tersebut di urutan ke-6 perolehan suara.

Denny mengingatkan kondisi sosial masyarakat saat ini mengalami perkembangan. Rhoma masih memiliki fans fanatik yang selalu mendukung keputusannya dalam politik. Namun tak semua pengagum karyanya mau mengalihkan kekaguman ini pada dukungan politik.

Terbukti, pengalaman dalam dunia politik Rhoma Irama pasca-mundur dari PPP tak semegah aksi panggungnya. Tahun 1997, pada sisa-sisa masa Orde Baru, Rhoma memutuskan kepindahannya ke Partai Golkar. Keputusannya disambut dengan pembakaran poster oleh pendukungnya yang berada di PPP.

Pada masa reformasi, tahun 2004, Rhoma tampil di panggung kampanye bersama Partai Bintang Reformasi. Namun PBR hanya mampu meraup suara sebanyak 2,7 juta suara (2,44%). Partai ini hanya menduduki peringkat 9 dari 24 peserta pemilu.

Perubahan kondisi masyarakat bakal menyurutkan kesaktian Rhoma. Budayawan Radhar Panca Dahana mengingatkan perubahan perilaku sosial masyarakat. Warga negara yang memiliki hak pilih, kini memiliki kecerdasan lebih untuk menilai calon presiden. Popularitas bukan lagi menjadi jaminan.

Apalagi prahara pemberitaan kerap menghinggapi pria berjuluk Satria Bergitar ini. Isu mengenai SARA dan poligami justru membawa dampak buruk pada kesaktian sihir si Raja Dangdut. Salah seorang pasangan main filmnya, Yati Octavia, tak memberikan dukungan pada dirinya ketika mencalonkan diri sebagai presiden pada 8 November 2012.

“Enggak salah tuh? Kasihan nanti ibu-ibu kalau poligami disahkan. Apalagi dia kan tidak mengetahui ilmu politik,” cetusnya.

(ary/yog)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *