RUU APP: Ketegangan Modernisme dan Fundamentalisme

Oleh Abdul Mukti Ro’uf

Perang opini tentang RUU Antipornografi dan Antipornoaksi (APP) semakin meruncing dan membentuk polarisasi yang tidak pas. Kelompok pro RUU APP ‘dituduh’ sebagai kelompok anti-multikulturalisme yang hendak memaksakan standar moralitasnya terhadap kelompok lain sementara yang menolak RUU APP disangka sebagai kelompok yang abai terhadap moralitas bangsanya sendiri.

Perang opini tentang RUU Antipornografi dan Antipornoaksi (APP) semakin meruncing dan membentuk polarisasi yang tidak pas. Kelompok pro RUU APP ‘dituduh’ sebagai kelompok anti-multikulturalisme yang hendak memaksakan standar moralitasnya terhadap kelompok lain sementara yang menolak RUU APP disangka sebagai kelompok yang abai terhadap moralitas bangsanya sendiri. Lebih jauh, RUU APP bahkan diduga sebagai perpanjangan dari ‘kelompok agama’ yang selama ini bersemangat ‘menyucikan’ realitas sosial yang dianggap menyimpang dari syariat Allah seperti praktek perjudian dan prostitusi. Jika benar anggapan ini, maka gerakan ‘fundamentalisme’ (mohon jangan disalahpahami dengan pejoratif!) yang oleh Bassam Tibi (Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru: 2000) salah satunya bercirikan ingin melakukan purifikasi secara radikal dalam segala hal termasuk penyakit sosial, tengah bersitegang—dalam batasan isu tertentu—dengan arus pejuang demokrasi dan HAM yang tengah memasarkan kebebasan berekspresi. Demokrasi, dalam sejarah tertentu adalah produk modernisme Barat yang oleh kalangan fundamentalis dituduh sebagai agen yang tengah melakukan semacam—meminjam istilah Ziaudin Sardar—“imperialisme epistemologis” terhadap tradisi (turats) Islam.

Apakah anggapan semacam itu—untuk sekedar merespons pro-kontra RUU APP—terlalu mengada-ada dan berlebihan? Dalam aras intelektual, hemat saya tidak. Mengapa? Dalam konteks Indonesia yang tengah bergeliat membangun demokrasi pasca-rezim otoritarianisme, ketegangan antara penolakan dan penerimaan terhadap demokrasi selalu saja terjadi. Apalagi, Indonesia adalah sebuah ‘negara modern’—untuk tidak menyebut ‘negara sekuler’—yang memiliki goresan amat dalam terhadap agamanya. Perjalanan panjang negeri ini untuk mendirikan ‘negara syariah’ hingga kini belum berhenti. Gagasan ‘formalisasi syariah’ (‘penubuhan’ syariah pada negara) pasca-tumbangnya Orde Baru adalah bukti kontinuitas gerakan ‘Islam politik’ yang masih bergairah membangun ‘khilafah islamiyah’ dengan imajinasi sejarah masa lalu terutama bagi mereka yang sering digelari sebagai ‘Islam Fundamentalis’ yaitu salah satu kelompok Islam yang secara idiologis memiliki pemikiran keagaman tentang Hakimiyyat Allâh’. Yaitu, pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariat-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.

Meski demikian, fundamentalisme agama tidak selalu tampil tunggal. Acapkali ia pragmatis, revolusioner, dan asketis-isolatif. Secara umum, kaum fundamentalis hendak menawarkan resep untuk mengobati krisis sosial, politik, moral, dan budaya yang dialami masyarakat modern dengan kembali kepada Hukumiyat Allah. Pada taraf tertentu, RUU APP adalah sebentuk “gagasan lunak” bagi kaum fundamentalis melalui frame work demokrasi; politik. Jika itu benar, maka—hemat saya—jalur politik yang ditempuh kelompok ini tidak melanggar asas-asas demokrasi. Kritik berlebihan terhadap para penyokong RUU APP misalnya dengan “tuduhan” anti-multikulturlisme dan mematikan kebudayaan lokal akan kontraproduktif dengan: (1) kebebasan berekspresi melalui pintu-pintu politik; (2) fakta vulgaritas yang atas nama seni dan HAM baik di media (cetak dan elektronik) dan ruang publik, mempertontonkan aurat perempuan. Dua fakta ini sulit terbantahkan.

Soalnya kemudian adalah, siapa yang berhak mengatur moralitas warga masyarakat? Kita tentu tahu bagaimana kelompok keagamaan seperti Front Pembela Islam (FPI) mengerahkan massanya mendatangi (dan mengobrak-abrik) tempat-tempat perjudian dan prostitusi sebagai gerakan “nahi munkar” sebagai ciri dari aksi fundamentalisme. Dengan RUU APP, tugas “nahi munkar” dibebankan kepada negara. Pertanyaan penting dan kritis untuk itu adalah, apakah negara berhak mengatur moralitas yang batasannya absurd? Bagi fundamentalisme, ditangani negara atau tidak, ‘kemungkaran’ di atas muka bumi—atas dasar prinsip “Hukumiyat Allah” wajib dihapuskan. Di sini kaum findamentalisme—atas nama menegakkan otoritas Tuhan—sering terjebak pada penghakiman yang menafikan hak-hak orang lain dan karenanya sering ‘dituduh’ anti-demokrasi.

Berbeda dengan fundamentalisme yang menyandarkan pendiriannya pada teks agama yang literal untuk memahami dan mengurus masalah-masalah kemanusiaan, modernisme lahir sebagai reaksi pemikiran abad tengah yang teosentris (serba Tuhan) dan membawanya kepada antroposentris (serba manusia). Kebebasan adalah deklarasi kaum modernis. Parameter kebebasan manusia tidak lahir dari teks agama melainkan dari kemampuan nalar manusia dimana rasio menjadi “dewa” bagi abad ini. Descartes, pemikir paling awal abad ini berfatwa, “cogito ergo sum” (“saya berpikir, maka saya ada”). Atas dasar pilar-pilar penting modernisme seperti rasio dan kebebasan, Barat melahirkan demokrasi yang memberikan keleluasaan bagi warganya untuk berekspresi. Kita mungkin masih ingat ketika Daily Planet, sebuah rumah bordil di Australia mendaftarkan sahamnya di bursa saham Melbourne. Di Amerika perkawinan homoseksual menjadi legal. Di Belanda, pemerintah memberikan jaminan sosial terhadap pelacuran. Di Indonesia? Jangan coba-coba! Selalu ada ketegangan antara “musykilah al-shalah dan al-hadatsah” (keotentikan dan kemodernan).

Lantas, apa yang harus dilakukan? Kita tidak mungkin menghadirkan “kerajaan Tuhan” di atas bumi Indonesia yang multikultur sebagaimana tidak mungkin menghadirkan demokrasi dengan “epistemologi Barat”. Sejak awal Soekarno telah mewanti-wanti, “carilah demokrasimu yang sejati!” Mungkin demokrasi yang mengakrabi agama seperti Iran?

Abdul Mukti Ro’uf, dosen Jurusan Dakwah STAIN Pontianak


Komentar

peraturan dibuat agar hidup bisa teratur. ada peraturan aja hidup masih berantakan. apa lagi gak diatur.hanya pengecut yang takut pada peraturan. kalau memang merasa benar dengan apa yang dilakukan mengapa mesti takut akan adanya hukum. bukan salah pemerintah jika RUU APP itu ada. malah itu ada karena pelaku yang membenarkan pornografi dan pornoaksi itu sendiri. kalau mau melakukan tindak bodoh seperti itu jangan malah merusak generasi bangsa. dan satu lagi jangan pernah mengatasnamakan Seni untuk perbuatan sebejat itu. Seni bukan untuk memperlihatkan ketidak harusan. tapi seni adalah suatu karya dari kejeniusan seorang insan yang mampu menggetarkan jiwa insan lainnya. dengan menutup matapun seni mampu dirasakan. jadi untuk apa memperlihatkan yang tidak penting, jika hanya untuk disebut sebagai seni. tetap Susun RUU APP. didik generasi bangsa untuk menjadi insan yang berwibawa.

—–

#1. kilat agnes at 2008-03-13 02:03:39


Kita belum tau persis apa tujuan utama dari RUU APP yang sedang menjadi “momok” bagi kita semua, di dunia ini banyak negara yang mengilegalkan prostitusi seperti Jerman. tapi disana angka kriminalitas khususnya pemerkosaan,pencabulan dan sejenisnya tidak banyak seperti di Indonesia. Berarti kesalahan negara kita bukan karena eksploitas porno aksi dan porno grafi tapi cenderung kepada pemahaman hukum warga yang masih rendah dan ini harus diajarkan sejak sekolah dasar baik dari larangan maupun hukuman yang diterima bila kita melakukan hal tersebut. Koran, televisi dan media cetak lainnya yang menampilkan hal-hal yang berbau pornografi dan porno aksi muncul dengan leluasa dan tanpa batasan sejak kapan…???? semua muncul sejak Gus Dur jadi presiden dan reformasi berjalan. Mari kita ingat kembali saat Meteri Penerangan Harmoko di era Orde Baru..? Beliau melarang penayangan Baywatt. Inneke koesherawati sekarang bisa berkoar-koar menentang porno aksi dan porno grafi karena dia sudah sukses dan menikmati uangnya yang di perbuat dulu, tetapi bagaimana dia dulu..? dia lebih porno dari inul dan lebih tidak sopan. jadi jangan inul, anisa bahar, dewi persik dll jadi kambing hitam..!!! jadi tolong untuk kawan-kawan sadar, bahwa kita hanya di manfaatkan orang-orang yang ingin membuat negara Republik Indonesia menjadi negara Islam dan ini akan memecah belah persatuan dan kesatuan antar umat beragama. di era tahun 80-an ide menjadikan RI sebagai negara islam sudah ada, dan ini di prakarsai oleh H. Rhoma Irama tetapi bagaimana tingkah laku H. Rhoma Irama yang selalu melirik “Daun Muda” dan “Kawin Cerai”….??? mari kita pikirkan kembali…

#2. Tedy Laksamana at 2006-07-24 14:07:36


Siapa sih orang yang mau diatur2 pake baju? kalo bilang untuk melindungi wanita, itu salah besar. Justru malah merendahkan , nak!

#3. monica at 2006-05-05 13:05:35


Saya sangat senang dengan adanya rancangan undang-undang seperti ini tapi juga saya ingin tahu sejauh mana penyimpagan terhadap Pancadila. Mengapa masih juga ada yang berani menginjak-injak nilai leluhur bangsa yang sudah ada sejak dulu dan tak mungkin kita tidak mempertahankannya. Saya sebagai warga Indoesia akan siap mempertaankan harga diri bangsa.

#4. winarto at 2006-05-04 15:05:57


Indonesia ini benar-benar aneh… kalo nanti RUU itu disahkan, bisa-bisa ntar warga Indonesia hanya tinggal laki-laki saja. karena, yang wanitanya tidak tahan di kekang oleh bermacam-macam peraturan

#5. Riri at 2006-05-01 16:05:27


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *