Saniskara: Surat Terbuka buat Bang Haji Rhoma Irama
Penulis: naz “saniskara”
URL: http://saniskara.multiply.com/journal/item/37/Surat-Terbuka-buat-Bang-Haji-Rhoma-Irama
Senin malam (26/1/2009) lalu, di TPI saya menyaksikan pentas Soneta, “Dangdut Never Dies”. Acara itu nampaknya bukan hanya panggung di mana anda menyanyikan lagu-lagu sebagaimana biasa, tapi juga menjadi semacam mimbar untuk meneriaklantangkan revolusi dangdut yang kedua.
Revolusi, kata yang bisa sangat menggetarkan. Ia bermakna mengubah secara radikal sebuah tatanan yang dianggap tak sesuai lagi dengan kehendak banyak orang, yang berharap adanya kebaikan situasi yang sesuai impian. Revolusi biasanya jadi tindakan terakhir setelah proses perubahan lain dilakukan, dan tak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Dan karena ia timbul dalam kondisi yang mampat, nyaris tanpa harapan, maka yang turut menggerakkan revolusi bukan hanya semangat yang berkobar, tapi juga rasa prustrasi. Lalu apa yang dimaksud dengan revolusi dangdut yang kedua? Dan apa revolusi dangdut yang pertama? Kapan itu terjadi?
Di acara tersebut, tak ada jawaban yang pasti. Tak ada pengamat musik yang dihadirkan agar bisa kita dengar ulasan brilian dan juga “netral” perihal perjalanan musik dangdut, hingga malam itu harus ada pekik terjadinya revolusi yang kedua. Yang ada adalah nama Rhoma Irama yang disanjung tak hanya oleh penyanyi lain yang diwawancara oleh host acara, tapi juga oleh anda sendiri.
Begitu terang, bahwa yang anda maksud revolusi dangdut yang pertama terjadi ketika anda, Rhoma Irama, menyuntikkan unsur rock ke dalam musik dangdut, sebagaimana anda katakan sendiri. Hal ini diperkuat oleh penyanyi dangdut lain hingga bertaburlah ungkapan klise, bahwa “Dulu dangdut dicap musik kampungan, setelah ada Bang Haji, dangdut jadi bla bla bla…”.
Untunglah ada satu nama lain disebut, yakni saat Mansyur S yang menyebut nama Zakaria yang berupaya mengubah penampilan panggung pemain orkes melayu, yang biasanya duduk kemudian diubah menjadi berdiri; sebuah perkara sepele yang pada saatnya dulu cukup “mengejutkan” banyak orang. Tapi ucapan Mansyur S itu pun dimentahkan oleh pembawa acara yang nampak bodoh dengan mengatakan, “Bang Haji memang luar biasa…”
Semua orang memang harus mengakui peran Rhoma Irama yang gemilang mengangkat “derajat” musik dangdut. Tapi dalam proses yang terentang begitu panjang, banyak nama lain yang seharusnya dikenang malam itu, kalau memang momennya dianggap pas untuk melantangkan adanya revolusi dangdut; meski malam itu kata revolusi jadi sekadar kata lain dari inovasi.
Seperti nama Zakaria, yang tak hanya berupaya mengubah tampilan pemain orkes melayu saat manggung, yang semula duduk kemudian dibikin berdiri; tapi juga berupaya mengangkat pamor orkes melayu dengan mengajak beberapa orang penyanyi pop kasohor sekitar tahun 1960-an, untuk menyanyikan lagu melayu (tentu saja belum ada istilah dangdut, apalagi dank duth, waktu itu). Salah satunya adalah mengajak Benyamin S menyanyikan lagu “Mat Jidol” dalam piringan album kompilasi.
Malam itu memang panggung milik anda. Sang raja dangdut yang tengah berupaya menjalin estafet kebintangan dengan memperkenalkan grup Sonet 2, grup dangdut dengan personel anak muda yang anda bentuk dengan frontman putra anda sendiri, Ridho Rhoma. Ridho dan Sonet 2 jualah yang nampaknya dijadikan lelancip tombak revolusi dangdut kedua ini. Sebagaimana yang ditampilkan Sonet 2, memang ada inovasi menarik yang dilakukan atas musik dangdut dengan bumbu pop, hingga terdengar fresh, plus penampilan panggung personel yang “anak muda banget” jauh dari kesan bergaya robot ala Soneta.
“Sonet 2 yang akan menyaingi Ungu yang terkenal itu, Peterpan yang tampan itu, dan inilah revolusi dangdut yang kedua!” demikian Bang Haji katakan. Sepertinya terkesan maksa ya, Sonet 2 harus bersaing dengan grup-grup pop tersebut. Bagaimana pun Sonet 2 adalah grup dangdut yang mungkin saja akan punya pangsa pasar berbeda, kelak.
Yang bikin sumir, pada saat yang sama RCTI tengah memanjakan pencinta musik pop dengan konser band-band dan penyanyi kawentar masa kini, seperti Nidji dan Afgan, dengan tata panggung cukup spektakuler, wah, dan tata cahaya yang memesona. Sangat jauh dengan apa yang bisa dilihat di panggung “Dangdut Never Die” yang tampak pucat dan seadanya. Harusnya, pesona panggung pun ditata lebih baik agar kesan revolusioner bisa benar-benar terasa. 🙂
Hal lain yang setidaknya dua kali anda katakan, adalah ungkapan bahwa musik pop ada benang merahnya dengan musik barat, kasidah ada benang merahnya dengan musik timur tengah, dan dangdut ada benang merahnya dengan musik India. Kalimat ini jadi semacam pengantar saat anda dan juga Sonet 2 akan menyanyikan lagu India. Terkesan bahwa India adalah induk dari dangdut. Hingga tak cukup dengan itu, anda pun mengatakan bahwa seorang penyanyi dangdut belumlah dianggap sempurna bila belum fasih bernyanyi lagu Hindustan.
Padahal dulu anda sendiri pernah mengatakan di sebuah media, bahwa dangdut adalah murni musik Indonesia, hasil kreatifitas musikus Indonesia, yang akarnya dari musik melayu dan dipengaruhi unsur musik India. Tapi sekarang dangdut Soneta sendiri terdengar semakin berwarna India, dan bahkan anda rekaman lagu berbahasa India. Apakah ini sebuah pencapaian tertinggi Rhoma Irama saat ini? Mudah-mudahan bukan karena ingin menegaskan bahwa dangdut hanya semacam versi dari musik India.
Lalu anda pun bernyanyi lagu “Tinak Tin Tana”, cipt. Sanjeev-Darshan-Sameer. Lagu ini, ternyata bukanlah murni lagu India, ia meniru lagu lain. Yakni lagu “Yang Sedang-Sedang Saja” ciptaan Akoer, urang Bandung, yang dinyanyikan Iwan, juga urang Bandung yang namanya besar sebagai penyanyi di Malaysia, yang meledak jauh sebelum film Mann di mana lagu Tinak Tin Tana tercantum, beredar. Hal ini pernah disesalkan penciptanya di harian Pikiran Rakyat beberapa tahun lalu.
Tanpa digarisbawahi pun, Dangdut memang akan selalu identik dengan lagu India, terutama karena banyak lagu dangdut sendiri yang mencaplok lagu India, sejak jaman keemasan Mansyur S, yang lagu-lagu hitsnya banyak menyadur lagu Hindustan, sampai yang populer belakangan, lagu “SMS” yang juga adalah jiplakan dari lagu India lawas.
Akan lebih baik kiranya bila dangdut sedikit demi sedikit dipoles warna berbeda kembali, seperti pernah dilakukan oleh anda saat memasukkan unsur rock ke dangdut, atau saat Tarantula hadir dengan aransemen dangdutnya yang menarik, agar terlepas dari bayang-bayang musik India, dan kelak benar-benar jadi musik Indonesia. Musik India sudah sangat populer, dan tak usah lagi dibantu dipopulerkan musikus kita. Sudah saatnya dangdut dijadikan musik kebanggaan dalam arti sesungguhnya. Kalau belum dipatenkan, harus juga didaftarkan hak patennya sebagai seni budaya bangsa ini, siapa tahu nanti dangdut juga diklaim negara lain.
O,ya, saya juga membaca suksesnya Bang Haji konser di Amerika. Nah, mumpung anda sedang semangat berteriak revolusi, mungkin lebih dahsyat bila anda banyak mencipta lagu dangdut berlirik bahasa Inggris. Biar lebih mantap saja saat dibawa go international. 🙂
Untuk perkara “go international”, saya salut kepada Sabah Habas Mustapha yang orang asing. Ia pernah merekam satu album lagu dangdut dengan lirik bahasa Inggris, dan hasilnya asyik didengar. Sabah berupaya membawa dangdut ke tataran lebih luas dengan lirik Inggrisnya itu.
Tentang lahirnya Sonet 2, saya ucapkan selamat. Semoga grup berjiwa muda ini mampu membawa kesegaran pada dunia dangdut yang dua tahun belakangan ini kembali muram, dengan karya yang inovatif, tentunya, agar revolusi yang dilantangkan malam itu bukan retorika kosong belaka.
Sonet 2…berilah kami sajian lagu dangdut yang benar-benar bisa menjadi pelipur lara, sebagai penghilang stress, apalagi setelah rokok –penolong stress kami- diharamkan MUI… Ter-la-lu…
Viva dangdut!
Salam baktos,
Naz
Leave a Reply