Sebuah Proyek Bernama Peradilan Koneksitas
Sumber: Satunet.com (http://www.satunet.com/artikel/isi/00/05/08/13801.html)
Oleh: Munir, S.H.
Pekan lalu Pengadilan Negeri Banda Aceh membuka peradilan koneksitas atas kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah dan 56 orang santrinya. Kendati telah dikritik bahwa peradilan koneksitas itu tidak memenuhi rasa keadilan serta cacat hukum, pemerintah melalui Menneg HAM Hasballah M Saad terus maju untuk mensukseskannya. Alhasil, tampaknya peradilan ini sebuah proyek percontohan yang harus diselesaikan dengan manis. Sekali lagi, sebuah proyek percontohan.
Hasballah M Saad berkali-kali menjelaskan bahwa persoalan pelanggaran HAM di Aceh itu akan diselesaikan melalui peradilan HAM, yaitu peradilan koneksitas. Pertama, penulis merasa menteri negara yang satu ini tidak mengerti bahwa peradilan koneksitas bukan peradilan HAM, tetapi peradilan pidana biasa yang masih mengakui adanya perbedaan perlakuan hukum antar warga negara, sipil dan militer. Tetapi, setelah berulang kali disampaikan kritik dan koreksi, menteri ini tetap menyelonong dengan statementnya itu. Kesimpulan yang kemudian diperoleh adalah statement Hasbalah M Saad itu memang disengaja untuk memenuhi sebuah target politik.
Tanpa memperdebatkan alasan yuridis legalistik dari pilihan membentuk peradilan koneksitas itu, tampaknya ada suatu proses di mana peradilan adalah suatu panggung baru bagi kemampuan kekuasaan untuk menyelesaikan suatu tuntutan masyarakat. Penempatan proses peradilan sebagai panggung ini bukan watak baru dalam sistem hukum dan politik Indonesia. Hal yang berbeda di antara keduanya adalah sasaran dari penggunaan hukum itu.
Orde Baru menggunakan peradilan sebagai alat justifikasi pengendalian lawan politik, Orde kini menggunakan peradilan untuk memperoleh pengakuan atas kemampuan mengakomodir tuntutan masyarakat. Keduanya memiliki kesamaan yang kuat, peradilan itu sebagai media konsolidasi politik. Sehingga memang peradilan itu lebih memenuhi kebutuhan politik para elit ketimbang persoalan yang sedang disidangkan sendiri.
Hal ini semakin mudah dipahami dari apa yang terjadi di luar ruang peradilan. Situasi Aceh sedang berkembang ke arah yang tidak kalah seru dengan kota Belfast di Irlandia Utara. Protes masyarakat menolak peradilan koneksitas, serangan bersenjata silih berganti aparat negara dan elemen GAM, serta macam-macam kelompok yang tidak dikenali membuat keadaan semakin tidak menentu. Sebagian besar penduduk Aceh terjebak dalam ketidakpastian dan teror serta ancaman kehidupan yang tidak dapat dengan mudah diperkirakan kapan berakhirnya.
Catat saja, dalam waktu dua bulan sejak Operasi Sadar Rencong III digelar, tidak kurang 230 orang tewas serta 74 orang penduduk dilaporkan lenyap. Angka-angka ini belum termasuk korban di kalangan GAM dan aparat TNI dan Polri. Tentu angka ini sulit kiranya menggambarkan secara persis kegagapan situasi yang berkembang di wilayah itu.
Kalau kondisi ini dicoba dipahami lebih luas, apa yang sedang terjadi di Aceh sebenarnya bukanlah barang baru dalam sepuluh tahun terakhir. Tentu kita tidak perlu mengulang cerita tragis rakyat Aceh di bawah Operasi Jaring Merah dan Operasi Wibawa plus ancaman operasi intelejen untuk memahami betapa belum ada perubahan nasib rakyat Aceh.
Kalaupun dalam rentang waktu dua tahun terakhir desakan pertanggungjawaban berbagai bentuk pelanggaran HAM yang berlangsung di Aceh begitu kuat, diikuti dengan tuntutan perubahan pola pendekatan oleh alat-alat negara, berapa besar pula desakan ini memberi kontribusi bagi perbaikan keadaan. Mungkin kita akan sepakat menyatakan dengan kata yang singkat, perubahan itu, “Tidak ada”.
Tidak ada dalam artian bahwa memang wacana publik tentang Aceh di luar wilayah Aceh sedikit berbeda, akan tetapi yang tidak berbeda adalah apa yang ada dan berkembang di Aceh. Apa yang berkembang itu menunjuk sama sekali belum adanya langkah konkret untuk merubah keadaan dengan serius sehingga dapat dirasakan dengan jelas oleh rakyatnya.
Kalau soal perhatian Jakarta soal Aceh tidak diragukan lagi. Catat saja pidato dan tangisan Megawati beberapa saat sebelum menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden, pernyataan Presiden Gus Dur dalam kunjungannya di Kamboja yang akan memberikan referendum untuk rakyat Aceh, pernyataan Amien Rais pada masa pemilu yang akan menyelesaikan problem HAM dan memberikan referendum dan seterusnya.
Hampir semua pejabat dan elite politik telah membanjiri Aceh dengan janji politik. Meskipun berbagai janji politik itu menunjukan sikap asal-asalan, tetapi selalu melahirkan harapan dan sekaligus semangat akan perubahan keadaan. Ibarat memberikan percikan air di kala para musafir merangah kehausan di Sahara. Membuat rakyat Aceh meyakini, “Besok kita merdeka, besok kita akan aman, besok kita bisa sekolah, besok kita mengaji, besok pesantren beroperasi lagi”, dan seterusnya. Lautan semangat itu begitu mendorong rakyat Aceh pada satu pilihan, menuntut janji perubahan. Muncullah berbagai organisasi yang merasa bahwa janji politik itu memang ada dan riil dapat dirasakan. Semua pihak sibuk mempersiapkan referendum. Situasi itu justru telah mendorong keadaan berlangsung sebaliknya.
Reaksi semangat perubahan itu telah mengembalikan sikap dan padangan Jakarta terhadap tuntutan rakyat sebagai bahaya disintegrasi, semangat rakyat yang memegang janji-janji politik itu dilihat sebagai anarkisme, makar dan separatis. Tuntutan pertanggungjawaban HAM dilihat dengan ketakutan mengganggu perkoncoan politik Jakarta. Tentu justru represi dan berbagai kekerasan dipertegas untuk menghadapi rakyat yang telah lapar perubahan itu.
Di tengah riuhnya persilangan itu, dirasa cukup adil mempertanyakan bagaimana mungkin selama rentang waktu tersebut telah berganti tiga orang presiden, telah lahir sebuah orde yang disebut reformasi, serta telah berubah (minimal di tingkat formal) watak dan posisi serta peran TNI-Polri, kondisi Aceh sama sekali tidak membaik. Jawabannya sederhana, mereka semua masih memiliki kesadaran diri dan kebutuhan akan Aceh yang sama sekali tidak berbeda, sehingga responnya sama saja. Kalau secara kasar dapat dilihat perubahan pendekatan, itu tidak lebih persoalan gaya pendekatan, tetapi bukan perbedaan konsepsi substansial atas Aceh.
Tentu kalau ada yang meyakini telah berubah, perubahan itu ada dalam pikiran dan bayangan elit politik Jakarta tentang Aceh. Kalau persidangan atas kasus pelanggaran HAM dilakukan maka itu adalah bayangan yang diinginkan Jakarta untuk menunjukkan adanya progres kemajuan kebijakan atas Aceh, dan itulah perubahan. Dalam bahasa lain, Menneg HAM dan peradilan itu sedang menikmati panggung keadilannya sendiri, dalam ruang romantismenya sendiri untuk membayar superioritas kekuasaan yang baik hati.
Padahal kebutuhan akan kondisi yang lebih baik, harusnya diukur dari apa yang secara nyata dirasa oleh anggota masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah proses peradilan. Peradilan harusnya memberi jawaban atas problem riil yang dihadapi setiap hari. Tentu peradilan bukanlah menentukan segala-galanya, tetapi dia amat penting untuk menunjukkan ada perubahan riil yang dilakukan untuk memperlakukan lebih adil kepada rakyat Aceh. Peradilan itu sebagai simbol dari perubahan keadaan riil, pertobatan akan tindakan sewenang-wenang dan seterusnya. Kalau hal itu diabaikan, lalu apa hubungan antara pemaksaan kehendak menyeret 21 anggota tentara ke ruang pengadilan itu, dengan pilu yang tersisa di keluarga dan santri Tengku Bantaqiah dan rakyat Aceh yang rindu perubahan.
Walhasil rakyat Aceh memang layak untuk kecewa. Mereka yang memiliki hati nurani layak untuk kecewa. Aceh tetap merupakan proyek bagi konsolidasi politik dan kebutuhan politik elit Jakarta. Semoga kita tidak sedang terjebak ke dalam apa yang sering kita lihat, rasakan dan dengar, “Janji politik adalah janji, dan akan dipertahankan tetap sebagai sebuah janji.” ***
Leave a Reply