Selayang Pandang Reformasi Birokrasi Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Oleh Ahmad Abdul Haq
Reformasi di setiap sendi kehidupan bernegara dimulai sejak tamatnya pemerintahan Orde Baru pada bulan Mei 1998. Momentum itu dimanfaatkan oleh para warga bangsa melalui wakil-wakilnya di MPR/DPR untuk bersama-sama mengubah tatanan negara menjadi lebih baik. Empat bidang pokok yang menjadi sasaran reformasi adalah bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi. Reformasi memang sudah dimulai sejak 1998, namun baru pada tahun 2004 dilakukan akselerasi atas reformasi birokrasi, saat mana pemerintah menegaskan pentingnya penerapan clean government dan good governance. Diawali dari percepatan pada tahun 2004 itu, pada tahun 2009 berhasil disusun sebuah Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 (GDRB 2010-2025).
Penerapan good governance tidak terlepas dari tuntutan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sisi internal, salah satu penyebab krisis multidimensi di Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat adalah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang terwujud dalam bentuk mewabahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sementara tuntutan dari eksternal berasal dari negara/lembaga donor internasional yang mendorong agar negara-negara anggotanya menghormati prinsip-prinsip ekonomi pasar dan demokrasi sebagai prasyarat dalam pergaulan internasional.
Dalam grand design yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 itu tercantum visi reformasi birokrasi Indonesia adalah mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu menghadapi tantangan pada abad ke-21 melalui tata pemerintahan yang baik pada tahun 2025. Pada tahun 2025, Indonesia diharapkan berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.
Peraturan perundang-undangan yang mendasari disusunnya GDRB 2010-2025 bukan hanya UU yang mengatur tentang kepegawaian dan penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN, namun juga ketiga UU dalam paket UU Keuangan Negara, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Karena itu, di dalam GDRB juga disebut-sebut mengenai akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah. Selain itu, GDRB juga didasari dengan UU tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam GDRB selanjutnya dinyatakan bahwa reformasi birokrasi menjadi sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21. Jika berhasil dilaksanakan dengan baik, reformasi birokrasi akan mencapai tujuan yang diharapkan, di antaranya mengurangi/menghilangkan penyalahgunaan kewenangan publik, meningkatkan mutu pelayanan, dan meningkatkan efisiensi. Akan tetapi, jika gagal dilaksanakan, reformasi birokrasi hanya akan menimbulkan ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial di abad ke-21, bahkan dapat menghambat keberhasilan pembangunan nasional.
Pada kondisi awal di tahun 2009, reformasi politik dan ekonomi sebenarnya Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui krisis dengan baik. Meski demikian, kondisi tersebut masih belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia. Hal itu ditandai dengan rendahnya capaian beberapa indikator, antara lain Indeks Persepsi Korupsi (IPK), akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, dan kualitas pelayanan publik.
Keberhasilan reformasi Indonesia di mata dunia sebenarnya dapat tercermin dari terus naiknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak 1998. Artinya, reformasi yang dijalankan sejak 1998 hingga 2009 cukup mampu mendapatkan kepercayaan dari para investor asing di pasar modal Indonesia. Namun, dalam hal kemudahan berusaha (doing business), ternyata Indonesia masih belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor. Data dari sebuah lembaga internasional mencatat bahwa pada 2009 Indonesia menempati peringkat ke-122 dari 181 negara di dunia dan peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal, Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global.
Dengan ditetapkannya GDRB 2010-2025, diharapkan setiap tahapan lima tahunan memberikan perubahan ke arah birokrasi yang lebih baik. Singkatnya, pada tahun 2025 nanti, diharapkan dapat terwujud tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi pemerintah yang profesional, berintegritas tinggi, dan menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara.
Di sisi aparatur, harus ada kesadaran bahwa reformasi birokrasi akan mengubah birokrasi pemerintah menjadi birokrasi yang kuat dan menjadi pemerintahan kelas dunia. Untuk itu, aparatur harus melaksanakan reformasi birokrasi secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai bidang. Kegiatan ekonomi akan semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Dukungan Legalitas untuk “Good Governance”
Dalam lingkup yang agak lebih luas, untuk tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah disiapkan satu paket aturan, yaitu UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Pemerintahan, UU Kementerian Negara, dan UU Etika Penyelenggara Negara. Demikian disampaikan Menpan Taufiq Effendi sebagaimana dikutip Kompas Online pada tanggal 24 November 2008.
Dari keempat UU tersebut, hanya satu UU yang telah terbit pada saat Menteri Taufiq berbicara, yaitu UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tanggal 6 November 2008, yang berarti masih hangat di kala itu. UU Kementerian Negara dimaksudkan untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara karena UU tersebut telah secara jelas mengatur kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara.
Kemudian disusul UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik tanggal 18 Juli 2009 dan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tanggal 17 Oktober 2014. UU Pelayanan Publik mengamanatkan diterapkannya sistem pelayanan publik yang berisi nilai, persepsi, dan acuan perilaku yang mampu mewujudkan hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sehingga masyarakat memperoleh pelayanan sesuai dengan harapan dan cita-cita tujuan nasional.
UU Administrasi Pemerintahan Tahun 2014 didasarkan atas prinsip bahwa warga masyarakat tidak dapat diperlakukan oleh penyelenggara kekuasaan secara sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan atau tindakan terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Melalui UU ini dalam pasal 10 diperkenalkan apa dinamakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu bahwa pemerintahan yang baik harus memiliki asas kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentingan umum, dan asas pelayanan yang baik.
Adapun aturan tentang Etika Penyelenggara Negara (EPN) saat ini masih dalam bentuk RUU dan belum disahkan menjadi UU. RUU EPN diajukan oleh Dewan perwakilan Daerah (DPD), namun belum semua wakil rakyat di DPR setuju soal diaturnya EPN dalam UU. Menurut Dr Lambang Trijono, dosen Fisipol UGM dalam artikel yang dimuat di koran Kedaulatan Rakyat 14 November 2017, salah satu alasan yang mengemuka adalah bahwa RUU EPN lebih mengatur tentang etika politik dan tidak semestinya soal etika politik diatur dalam UU.
Leave a Reply