Agama Jadi Tameng Pelanggaran Hak Asasi Manusia - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kliping
28/03/2004

Shirin Ebadi: Agama Jadi Tameng Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Oleh Redaksi

Shirin Ebadi, 57 tahun, seperti telaga. Ia tenang, penuh percaya diri. Bahasa Prancis atau Inggrisnya lemah. Satu-satunya bahasa yang dikuasai hanya Parsi, bahasa ibu. Tapi itu ternyata tidak penting. Kita tahu, perempuan Iran yang meraih Nobel Perdamaian 2003 ini pekan lalu menjadi pembicara kunci dalam seminar internasional soal nilai-nilai Islam di Jakarta.

Diambil dari Tempo edisi No. 04/XXXIII/22 - 28 Maret 2004

Shirin Ebadi, 57 tahun, seperti telaga. Ia tenang, penuh percaya diri. Bahasa Prancis atau Inggrisnya lemah. Satu-satunya bahasa yang dikuasai hanya Parsi, bahasa ibu. Tapi itu ternyata tidak penting. Kita tahu, perempuan Iran yang meraih Nobel Perdamaian 2003 ini pekan lalu menjadi pembicara kunci dalam seminar internasional soal nilai-nilai Islam di Jakarta.

“Islam bukanlah agama yang patriarkis. Orang-orang membuatnya seolah Islam berpihak pada laki-laki,” ujar Shirin Ebadi. Peserta seminar—antara lain Ketua Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, Duta Besar Swiss George Martin, dan tokoh Islam Liberal Ulil Abshar Abdala—bertepuk tangan.

Shirin memang pantas menjadi magnet. Ibu dua anak ini dikenal sebagai Srikandi demokrasi di Iran, sebuah arena pertarungan panas antara kaum garis keras yang mencoba menerapkan “syariat Islam” dan kaum moderat. Setelah Revolusi Iran 1979 yang dipimpin Ayatullah Rohullah Khomeini, Shirin dipaksa mundur dari jabatannya sebagai hakim. Khomeini menganggap hakim bukanlah jabatan kaum hawa. Sejak itu, Shirin mundur dan menjadi pengacara yang membela nasib kaum tertindas di Iran.

Puncaknya tahun 1998. Kala itu politik Iran memanas. Kaum reformis mencoba mengganti sistem pemerintahan yang bertumpu pada kaum mullah (pemimpin spiritual). Buntutnya: pembunuhan berantai kaum intelektual dan penulis. Diduga, itu dilakukan kaki tangan penguasa. Dan Shirin, yang kemudian menjadi pengacara keluarga korban, ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara 15 bulan. Selain itu, dosen hukum di Universitas Teheran ini tak boleh berpraktek hukum selama lima tahun. Ia dianggap menyebarkan opini publik yang menyesatkan.

Tapi dunia berpihak pada Shirin. Selama dalam penjara Evin, di Teheran—tempat Shirin sering mencorat-coret tembok dengan garpunya—dukungan mengalir dengan deras. Setelah bebas, Oktober 2003, Shirin meraih Nobel Perdamaian. Ia perempuan muslim pertama yang meraih hadiah bergengsi itu.

Untuk mengetahui sepak terjang dan pemikiran Shirin, wartawan TEMPO Setiyardi pekan lalu mewawancarainya. Berikut kutipannya.

Apa arti penting Nobel Perdamaian bagi Anda dan Iran?

Nobel Perdamaian itu sebenarnya bukanlah kemenangan bagi saya pribadi. Penghargaan tersebut sejatinya juga diperuntukkan bagi pejuang-pejuang demokrasi dan hak asasi manusia di Iran. Memang, penghargaan Nobel Perdamaian tersebut sangat penting. Penghargaan itu menyiratkan pesan bahwa Islam bukanlah agama yang identik dengan teror dan kekerasan. Penghargaan ini juga menyanggah soal “clash of civilizations” Samuel P. Huntington.

Bukankah dalam batas-batas tertentu tesis Huntington benar?

Itu tidak benar. Bagi saya, antar-pelbagai agama dan peradaban bisa saling menjalin hubungan yang harmonis. Kita bisa berdialog dan mencari persamaan pandangan. Bukan justru memperbesar perbedaan yang pada akhirnya akan memicu terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama dan peradaban.

Tapi, kenyataannya, dunia dilanda aksi kekerasan, pembunuhan, dan terorisme mengusung agama dan ideologi tertentu.

Itu persoalannya. Orang kerap melakukan simplifikasi antara tindakan sekelompok orang dengan mengatasnamakan agama. Jelaslah, agama hanya dijadikan tameng bagi pelanggaran hak asasi manusia. Itu yang terjadi selama ini.

Mengapa penganut agama justru melakukan terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia?

Mereka telah salah menginterpretasikan ajaran agama. Tak ada ajaran agama yang menganjurkan kekerasan terhadap kelompok dan agama lain. Itu prinsip yang sangat jelas. Jadi, bila ada terorisme terhadap Barat oleh kelompok teroris Islam, itu bukanlah mewakili Islam. Nabi Muhammad tak pernah menyuruh umat Islam melakukan teror. Begitu juga aksi pembantaian etnis Bosnia di Semenanjung Balkan. Pembunuhan tersebut tak bisa disebut sebagai aksi penganut Kristen. Nabi Isa adalah orang suci yang tak pernah menganjurkan kekerasan. Isa adalah seorang yang memiliki cinta kasih yang mendalam. Bahkan pembantaian bangsa Palestina oleh Israel bukanlah sifat sejati umat Yahudi. Nabi Musa selalu menyuruh ke arah perdamaian.

Jadi, bagaimana cara kita menyelesaikan terorisme?

Kita kembalikan ajaran agama sesuai dengan aslinya. Jangan ada distorsi untuk kepentingan politik tertentu. Semua agama berisi ajaran tentang kebenaran dan cinta. Tak ada yang menganjurkan pembunuhan dan teror.

Tapi Amerika dan Inggris, dua negara “beradab”, justru melakukan peperangan di Afganistan dan Irak dengan alasan melawan terorisme.

Langkah penyerbuan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Afganistan dan Irak merupakan kesalahan besar. Mereka tak bisa menyerang negara lain yang berdaulat dengan seenaknya. Kalaupun harus melakukan aksi militer, semua harus di bawah persetujuan PBB. Jadi, harus ada kontrol dari otoritas internasional secara ketat.

Apa pandangan Anda tentang rezim Taliban di Afganistan dan rezim Saddam Hussein di Irak?

Sangat jelas, kedua rezim tersebut telah melanggar hak-hak asasi manusia yang paling dasar. Mereka memberangus kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi. Saat Taliban berkuasa di Afganistan, demokrasi benar-benar mati. Begitu juga yang terjadi di Irak. Selama Saddam menjadi Presiden Irak, ia betul-betul menjadi diktator yang menakutkan. Hampir semua lawan politiknya dibunuh atau menghabiskan sisa umurnya di penjara-penjara di seluruh negeri.

Bukankah Amerika, yang menggulingkan Taliban dan Saddam Hussein, justru berjasa?

Saya tetap tidak setuju dengan langkah barbar yang dilakukan Amerika. Saya setuju dilakukan penggantian kekuasaan di Afganistan dan Irak. Tapi seharusnya yang melakukannya adalah rakyat negeri itu sendiri. Saya sangat percaya, sistem demokrasi, yang berarti sebuah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, akan dapat menyelesaikan persoalan semua bangsa. Jadi, langkah Amerika menggulingkan Taliban dan Saddam Hussein tak bisa saya terima. Itu melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang paling dasar. Apalagi sekarang Amerika menciptakan pemerintahan boneka di Afganistan dan Irak. Seharusnya kedaulatan segera dikembalikan kepada rakyat.

Anda percaya Al-Qaidah, seperti yang dituduhkan Amerika, berada di belakang aksi terorisme di Amerika dan Spanyol?

Harus ada pembuktian secara hukum. Hal itu hanya dapat dilakukan oleh sebuah pengadilan internasional yang jujur dan terbuka. Bukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Meski belum terbukti bersalah, 600 pendukung Taliban ditahan di Guantanamo. Apa sikap Anda?

Amerika harus segera membebaskan semua tahanan Guantanamo. Kalaupun mereka harus diadili, lakukanlah secara transparan. Jangan diadili oleh peradilan militer Amerika, yang jelas-jelas tidak independen.

Anda terpilih sebagai pemenang Nobel Perdamaian karena memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia di Iran. Bagaimana Iran kini?

Demokrasi dan hak asasi manusia di Iran masih sangat menyedihkan. Perempuan Iran menjadi korban ketidakadilan yang mengatasnamakan agama. Sebelum Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada 1979, saya adalah seorang hakim. Tapi kemudian pemerintah melarang saya menjadi hakim karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Padahal, setahu saya, Islam tak melarang seorang perempuan menjadi hakim.

Jadi, Anda menentang penerapan syariat Islam sebagai ideologi negara?

Saya tidak mengatakan hal itu. Penelitian saya selama sekitar 20 tahun menunjukkan bahwa tak ada pertentangan antara Islam dan prinsip-prinsip demokrasi. Islam tak membedakan gender. Islam juga menghargai dan menjunjung hak asasi manusia. Masalahnya, orang-orang itu menafsirkan syariat dan ajaran Islam secara serampangan. Mereka hanya berlindung di balik ayat-ayat yang ditafsirkan secara keliru.

Anda bisa memberi contoh?

Di Arab Saudi, misalnya, perempuan tak mempunyai kartu identitas sendiri. Semua di bawah otoritas suami. Di Iran, pemimpin spiritual bisa memveto keputusan parlemen. Padahal parlemen merupakan representasi dari suara rakyat. Di Iran, siapa pun yang memilih jadi pejuang hak asasi dan demokrasi harus hidup dalam rasa ketakutan. Syukurlah, saya berhasil mengatasi rasa takut tersebut.

Benarkah penguasa Iran menjalankan pemerintahan Islam secara murni?

Iran negeri kaum Syiah yang berafiliasi terhadap kekhalifahan Sayidina Ali. Sayidina Ali sebenarnya telah memberikan contoh yang sangat baik. Saat Muawiyah kalah perang dan menginginkan gencatan senjata, Ali menyetujuinya. Tapi mayoritas pendukung Ali menolak berdamai dengan Muawiyah. Karena demokratis, Ali akhirnya mengikuti kemauan rakyatnya, sampai mereka sadar keputusan mereka salah. Nah, kisah kepemimpinan Ali ini sekarang tak diterapkan oleh penguasa di Iran.

Anda juga membela hak-hak perempuan Iran. Apakah semua perempuan Iran mendukung Anda?

Tentu saja tak mudah menyamakan persepsi kaum perempuan Iran. Pada awal Revolusi 1979, saya diserang sekelompok perempuan yang tak suka dengan artikel saya. Seorang doktor perempuan juga menyuruh saya tak meneruskan perjuangan. Mereka bilang, soal persamaan gender bertentangan dengan syariat Islam.

Apakah kekerasan domestik terhadap perempuan Iran masih terjadi?

Ya, itu merupakan kisah sehari-hari di Iran. Seorang laki-laki Iran dapat menikahi empat perempuan. Mereka juga dapat seenaknya menjatuhkan talak kepada istri yang tak disukainya, tanpa alasan yang jelas dan kuat. Sedangkan bila seorang istri menggugat cerai suaminya, prosesnya sangat sulit dan berlarut-larut.

Soal syariat Islam, mengapa Anda tak mengenakan jilbab?

Saya punya interpretasi sendiri soal jilbab. Saya percaya jilbab dulu bertujuan untuk melindungi wanita. Sekarang, yang dibutuhkan untuk melindungi Islam adalah ilmu pengetahuan. Meskipun berjilbab, bila seorang perempuan bodoh, ia tetap akan menjadi korban kekerasan laki-laki.

Ayatullah Rohullah Khomeini menjadi legenda di Iran. Anda menganggap Khomeini sebagai seorang demokrat atau diktator?

(Shirin terlihat terdiam—Red.) Bagi saya, Khomeini adalah seorang pemimpin revolusi yang sangat baik. Hanya itu komentar saya tentang dia. Saya tak ingin memberi komentar berlebihan untuk orang yang sudah meninggal dunia.

Anda terlihat sangat percaya diri. Dari mana Anda mendapat kekuatan itu?

Kalau Anda lahir di Iran dan kebetulan seorang perempuan, Anda akan terpaksa menjadi orang yang kuat. Terlalu banyak hak-hak perempuan Iran yang dikebiri oleh hukum. Untuk bepergian ke luar rumah, misalnya, seorang istri harus mendapat izin tertulis dari suami. Belum lagi bila akan menjadi saksi, seorang perempuan harus berjumlah dua. Sebaliknya, hanya dibutuhkan seorang laki-laki hanya untuk menjadi saksi di pengadilan.

Siapa tokoh yang Anda idolakan?

(Shirin diam dan terlihat berpikir—Red.) Sampai sekarang saya tak pernah menemukan tokoh idola saya. Entahlah, barangkali memang tak ada seorang tokoh yang jadi idola dalam hidup saya. Sebaliknya, saya juga tak ingin dan tidak berharap ada orang yang mengidolakan saya. Itu sesuatu hal yang tak perlu dilakukan. Saya orang yang biasa-biasa saja.


Shirin Ebadi

Lahir: Teheran, 1947
Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Teheran (lulus 1969)

Karier:

  • Menjadi hakim perempuan pertama di Iran (1975-1979).
  • Setelah Revolusi Iran 1979, Shirin diminta mundur dari jabatan hakim. Ia mulai berpraktek sebagai pengacara.
  • Mendirikan LSM yang melindungi hak-hak anak di Iran (1994).
  • Mendapat penghargaan dari Human Rights Watch (1996).
  • Menjadi pengacara keluarga para intelektual korban “pembunuhan berantai” saat krisis politik 1998-1999.
  • Dipenjara karena membuat “opini publik yang salah” soal pembunuhan berantai (2000-2003).
  • Meraih Penghargaan Rafto dari Human Rights Watch, Norwegia (2001).
  • Meraih Nobel Perdamaian 2003.
Buku:
  • Sejarah dan Dokumentasi Hak Asasi Manusia di Iran
  • Perempuan dan Islam
28/03/2004 | Kliping | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

taatilah peraturan HAM
-----

Posted by rayza rifqi  on  02/14  at  07:02 AM

Perempuan ini pantas mendapat Nobel. Mungkin Kartini jika lahir di jaman ini juga akan mendapat Nobel. Membedah kultur dominasi laki laki, memang menyebalkan, pembatasan dan diskriminasi kesetaraan yang dogmatis dipakai alat untuk menutup peluang, menghambat ekspresi dan mengingkari hak azasi. Lantas apa yang dilakukan perempuan? Diam seribu bahasa? Tidak!

Perempuan harus berani mengatakan Ya dan Tidak. Agama bukan menjadi teror bagi perempuan, namun ketika politik dan agama dikompilasi, akan berorientasi terhadap hegemoni kekuasaan, pemaksaan kehendak. Agama tidak lagi bertujuan kemaslahatan semua umat. Itu fatal!

Posted by srikandi  on  04/20  at  08:04 PM

Baik agama samawi (katanya) mauppun agama dari dunia, memang tidak ada yang memihak apalagi mengedepankan seorang perempuan selain Bissu pada sulawesi (yang itupun ditututpi dan dicap penyimpangan). Pernahkah perempuan menjadi imam/paus? Pernahkah perempuan menjadi imam sholat bagi jamaah umum tanpa menjadi kontoversi? Kebenaran yang diujian lewat hadis-hadis selalu ditutupi, apa pasal? Keego-an bagi laki-laki terlalu mendarah daging. Superioritas dalam hal fisik mulai berabad-abad lalu yang diwujudkan dalam peperangan maupun peradaban, manafikkan bahkan menyembunyikan peran aum perempuan.

Posted by niken  on  04/08  at  10:04 AM

Sebagaimana saya khawatir agama jadi tameng pelanggaran HAM, saya juga khawatir HAM jadi tameng pelanggaran atas hak agama terhadap manusia. Saya khawatir manusia telah sungguh-sungguh menuhankan dirinya seperti yang terlihat dalam proses kemunculan humanisme, dan karena itu manusia kemudian menurunkan firman-firmannya, termasuk HAM. Dengan begitu, muncullah agama baru. Dengan agama baru ini, manusia-manusia tertentu datang menyaksikan komunitas lain. Saat mereka menyaksikan ada mayoritas komunitas yang menyepakati penerapan sebuah tatanan yang ternyata mereka nilai mengandung pelanggaran HAM, komunitas itu diperkarakan dan kalau perlu ditumpas, dan terjadilah pelanggaran oleh agama baru itu terhadap hak komunitas itu dalam menjalankan apa yang mereka anggap sebagai hak agama atas manusia.

Posted by musi nanda  on  07/16  at  07:07 PM

“Islam bukanlah agama yang patriarkis. Orang-orang membuatnya seolah Islam berpihak pada laki-laki,” ujar Shirin Ebadi. Baru minggu kemarin saya “menemukan” situs islamlib, dan secara kebetulan artikel tentang Shirin Ebadi inilah yang pertama kali saya buka. Barangkali bukan karena ansich kehendak orang-orang itu yang membuat Islam seolah berpihak kepada laki-laki, tetapi karena penafsiran dari “ajaran” Islam yang “memaksa” orang-orang itu lalu berpihak kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apakah penafsiran itu tepat atau tidak, juga terlepas dari sebab pada umumnya penafsir “ajaran” Islam alah kaum lelaki, beberapa fatwa dalam Islam secara eksplisit menunjukkan keberpihakan pada kaum Adam ini. Beberapa contoh konkret yang dapat dimajukan dalam hal ini antara lain; Pertama, soal pembagian harta waris yang “sepikul” untuk anak laki-laki, dan “segendongan” untuk anak perempuan (dua berbanding satu). Kedua, tentang kehidupan di surga yang hanya disediakan bidadari tanpa disediakan bidadara (bidadari berkelamin laki-laki). Ketiga, lelaki muslim diijinkan menikahi siapa pun, sementara wanita muslimat diijinkan menikah hanya dengan lelaki muslim. Barangkali seperti juga Shirin, saya pun seringkali bertanya-tanya apa arti lelaki dan perempuan di “mata” Tuhan?. Apakah fatwa yang Pertama itu bukan semata-mata karena adanya hubungan bahwa laki-laki muslim dijinkan menikahi empat perempuan, sementara wanita muslimat diijinkan menikah hanya dengan seorang laki-laki, sehingga lelaki “harus” diberi jatah dua kali lebih besar dibanding waris untuk perempuan?. Lalu fatwa yang Kedua, di surga ternyata hanya disediakan “bidadari” yang logikanya tentu untuk memuaskan nafsu syahwat laki-laki, khususnya laki-laki yang ketika di dunia hanya berkesempatan memiliki satu isteri. Bukankah setiap muslim ketika di dunia pun boleh memperistri empat perempuan, apalagi bila berada di surga?. Nah! bidadari-bidadari itu tentunya disediakan untuk mereka, atau sekurang-kurangnya untuk laki-laki yang meninggal saat masih bujangan. Adapun bagi para wanita akan “ketemu lagi” dengan mantan suami-suami mereka semasa hidup di dunia (!?). Lalu bagaimana nasib perempuan-perempuan yang meninggal dunia saat masih gadis/perawan?, adakah mereka akan ketemu “jodoh”nya disana?. Fatwa yang Ketiga, kita umat Islam pada umumnya meyakini bahwa “jodoh” itu telah ditakdirkan. Pertanyaan yang senantiasa menggelitik logika saya tentang larangan itu adalah; kalau jodoh itu sudah ditakdirkan, lantas apa perlunya Tuhan membuat “larangan” seorang muslimat menikah dengan laki-laki yang bukan muslim?. Bukankah Dia sendiri yang telah “menentukan” “jodoh” si muslimat itu, dan juga “jodoh” atas setiap manusia?. Lalu siapa sebenarnya yang membuat “larangan” itu, Tuhankah, atau manusia?. Saya paham bahwa tidak semua hal bisa dipecahkan dengan akal pikiran semata, tetapi barangkali hal-hal seperti itu pula yang membuat saya --sebagaimana Shirin dan mungkin juga orang-orang lain--, berkesimpulan sementara: Islam memang “memihak” laki-laki.

Posted by Sutrisno Herca  on  05/31  at  07:05 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq