Hukuman Cambuk dan Imajinasi Islam Kâffah
Halaman Muka
Up

 

Kolom
10/07/2005

Hukuman Cambuk dan Imajinasi Islam Kâffah

Oleh Rumadi

Pada penerapan hukum cambuk sebenarnya terkandung imajinasi tentang “Islam kâffah” (Islam menyeluruh, sempurna). Sebuah sistem dinilai kurang Islam kalau tidak menerapkan jenis hukum yang dianggap bagian dari Islam, seperti cambuk, rajam, potong tangan, dan seterusnya. Imajinasi “Islam kâffah” mengharuskan orang tunduk pada jenis hukum tersebut.

Di tengah upaya rekontstruksi akibat tsunami, masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan dramatis hukuman cambuk atas 15 orang yang terbukti berjudi. Akhir Juni lalu, para penjudi tersebut dicambuk 6-10 kali oleh Mahkamah Syariah di halaman Masjid Agung Berieun, Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka tertangkap basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang maisir (perjudian). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan maisir, dan yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali. Kini, ada tiga qanun khusus syariat Islam di Aceh, yakni tentang perjudian, minuman keras, dan zina.

Para elite Aceh menganggap pelaksanaan cambuk tersebut sebagai prestasi hukum luar biasa dalam penerapan syariat Islam. Sambutan Pelaksana Tugas Gubernur NAD, Azwar Abu Bakar, sebelum eksekusi cambuk menunjukkan hal itu. “Hari ini kami mengukir sejarah baru di bidang hukum dengan melaksanakan hukum cambuk yang pertama di NAD dan Indonesia. Kami berharap daerah lain di NAD bisa mengikuti prosesi yang monumental ini agar kemaksiatan bisa hilang dari Serambi Mekah,” katanya.

Dengan cambuk, hukum Islam dianggap telah berlaku di Aceh, karena cambuk dianggap jenis hukum “produk Tuhan” yang bernilai sakral ketika diterapkan. Cambuk dipandang sebagai hukum Islam yang otentik, dan diyakini akan efektif menyelesaikan berbagai problem sosial. Jenis hukuman lain seperti penjara, bukan saja dianggap kreasi manusia, tapi juga dipandang sebagai produk “sistem hukum sekuler” yang mengandung ideologi Barat.

Karena itu, pada penerapan hukum cambuk sebenarnya terkandung imajinasi tentang “Islam kâffah” (Islam menyeluruh, sempurna). Sebuah sistem dinilai kurang Islam kalau tidak menerapkan jenis hukum yang dianggap bagian dari Islam, seperti cambuk, rajam, potong tangan, dan seterusnya. Imajinasi “Islam kâffah” mengharuskan orang tunduk pada jenis hukum tersebut. Tanpa itu, pola keberislaman masyarakat dinilai “minimalis”. Karena itu, penerapan hukum jinayat menjadi bagian dari cita-cita Islamisme.

***

Keyakinan bahwa cambuk merupakan bagian dari sanksi hukum Islam didasarkan pada QS. al-Nur: 4 untuk tindak pidana zina, dan al-Nur: 2 untuk qadzaf (menuduh orang berzina). Dalam ayat tersebut dijelaskan, jumlah cambukan untuk perzina 100 kali, sedangkan qadzaf 80 kali. Sanksi pemabuk dalam beberapa hadis disebutkan 40 kali. Pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab, hukuman itu dilipatkan menjadi 80 kali atas persetujuan Ali ibn Abi Thalib, karena 40 kali dipandang terlalu ringan.

Pada masa awal Islam, cambuk menjadi bentuk hukum pidana ta’zîr (ketentuan hukum yang ditetapkan penguasa), namun para ulama berbeda pendapat soal jumlah cambukan. Menurut Abu Hanifah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, hukum cambuk untuk pidana ta’zir tidak boleh melebihi sanksi paling rendah dalam hudûd (tindak pidana yang batasan hukumannya sudah ditentukan Alquran atau hadis), yaitu 40 kali bagi peminum khamr. Menurut Abu Yusuf, sanksi cambuk pidana ta’zir tidak boleh melewati 75 kali. Menurut Malikiyah, tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir dan sepenuhnya terserah imam (pemerintah/pembuat qanun/pengadilan), sehingga imam bisa menetapkan ta’zir di bawah, setara, atau melebihi sanksi hudûd (Wahbah al-Zuhaili, 1989, juz VI, h. 206).

Meski cambuk sering diidentifikasi sebagai “hukum primitif” karena menyakiti secara fisik, namun sanksi ini masih saja dipraktikkan di beberapa negara seperti Malaysia, Pakistan, dan Iran. Di Malaysia, ketentuan cambuk setidaknya terdapat dalam empat undang-undang jinayat, yaitu Undang-undang Pidana (F.M.S. Cap. 45), Undang-undang Persenjataan 1960 (Akta 206), Senjata Api (hukuman tambahan Akta 1971), dan Ordonansi Obat-obat Berbahaya 1952. Dalam hukum pidana, soal cambuk terdapat dalam 35 seksi, yang sebagian besar merupakan hukuman tambahan untuk penahanan dan alternatif untuk sebuah denda.

Di Pakistan, sanksi cambuk tertuang dalam Ordonansi Nomor IX Tahun 1979 Republik Islam Pakistan. Iran juga mengenal sanksi cambuk dan berbagai jenis hukum lain. Pada 19 November 2002, di Iran pernah diberitakan pelaksanaan hukuman bagi lima anak muda yang berkelahi dan terbukti mencuri. Hukumannya adalah naik keledai dengan kepala menghadap belakang. Selain itu, pengadilan masih menambah sanksi cambuk dan penjara (Rusjdi Ali Muhammad, 2003). Hal ini membuktikan, meski sanksi cambuk berasal dari tradisi pra-Islam yang dilanjutkan di masa Islam, namun ia masih tetap punya pesona di masa modern (terutama di tengah anggapan gagalnya hukum sekuler menyelesaikan berbagai persoalan).

***

Namun jaminan tegaknya keadilan yang menjadi inti hukum tidak ditentukan oleh jenis sanksi yang diterapkan, tapi lebih pada bagaimana hukum itu ditegakkan. Hukum yang berasal dari tradisi manapun, bisa menimbulkan ketidakadilan baru jika aparat penegaknya tidak konsisten bahkan bisa “dibeli”. Karena itu, sekeras apapun jenis sanksi, dan seberapapun ia mampu mempermalukan pelaku kejahatan, ia tidak serta merta akan mengabarkan keadilan bila aparat penegaknya berlaku tidak adil. Menegakkan keadilan tidak bisa dilakukan dengan ketidakadilan. 

Dalam kerangka itulah beberapa kritik mencuat setelah pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. Pertama, para korban merasa tidak mendapat keadilan karena sudah ditahan hampir dua bulan lebih sebelum dicambuk. Artinya, mereka mendapat dua hukuman sekaligus: ditahan dan dicambuk. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi penegakan hukum di Aceh karena menjadi sumber ketidakadilan. Aparat penegak hukum Aceh perlu memberi perhatian serius mengenai hal ini.

Kedua, penerapan sanksi cambuk pada rakyat kecil dinilai hanya sekadar cara mencari sensasi karena problem Aceh bukan terletak pada masyarakat, tapi pada aparat pemerintah. Masyarakat kecil yang dicambuk merasa dirinya sekadar kelinci percobaan para elite yang ingin mendapat keuntungan tertentu dari sanksi itu. Elite pemerintah NAD tentu ingin menanam investasi politik agar tercatat sebagai pejuang hukum Islam. Para penjudi dengan barang bukti lima puluh ribu rupiah dihukum cambuk, sementara para koruptor bebas berkeliaran tanpa hukuman. Demi keadilan, para koruptor inilah yang lebih patut dicambuk pertama kali.

Ketiga, pengakuan terpidana cambuk yang telah memberi sejumlah uang pada Jaksa Penuntut Umum, Erwin Nasution, juga menyiratkan masalah yang lebih serius dari sekadar cambuk itu sendiri. Pemberian sejumlah uang, baik sebelum maupun sesudah putusan pengadilan, menunjukkan penegak hukum kita masih bermental buruk meski hukum materiilnya sudah berubah. Artinya, problem sebenarnya bukan pada jenis hukuman, tapi lebih pada aparat penegak hukum itu sendiri. 

Karena itu, sanksi cambuk Aceh mungkin tak akan membawa keadilan selama problem yang terkait langsung dengan hajat hidup masyarakat, seperti pemberantasan korupsi, pelayanan publik yang lebih berkualitas, pemberantasan kemiskinan, pendidikan bermutu dan sebagainya, belum mendapat perhatian serius. Yang lebih mengerikan adalah ketika imajinasi Islam kâffah melalui penerapan cambuk justru digunakan untuk menutupi problem masyarakat Aceh yang lebih penting.***

Rumadi, Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti The Wahid Institute Jakarta.

10/07/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (6)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Kasihan bgt ibu yg dicambuk itu pendekatan kenapa bukan dgn hati tetapi dgn tangan besi....sayang sekali disana tdk ada zorro, robinhood and cowboy yg menyelamatkan mereka...tetapi saya yakin Tuhan mengasihi semua ciptaannya dan akan memberikan teguran kpd sitegar tengkuk melalui “Tsunami Part II”

Posted by Faith with love and attention  on  10/02  at  12:31 AM

Ini hukuman sangat dan terkejam di dunia dan sama sekali tidak memperhatikan hal hal kemanusiaan, seharusnya hukuman cambuk ini di cabuk total dan tidak boleh diikatkan dengan hukum islam,karena zaman dulu mereka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah maka hukuman ini berlaku sekarang? zaman sudah maju dan orang sudah tahu mana yang baik dan mana salah,otomoatis hukuman ini perlu di tiadakan.Kalau hukuman cambuk ini masih diberlakukan di Aceh maka saya bersumpah bala bencana lebih dahsyat akan datang lagi di negeri serambi Mekkah.Insya Allah itu akan terbukti,ini bukan ancaman tapi peringatan kepada semua kalangan yg membuat hukuman cambuk ini disyahkan,mari kita berfikir jernih dan jangan sama sekali berani menghakimi manusia dengan nama Tuhan,Dia akan marah kepada kita.

Posted by La Cukka ulu  on  09/26  at  03:13 PM

Assaamu’alaikum . . . .

Pertama, para korban merasa tidak mendapat keadilan karena sudah ditahan hampir dua bulan lebih sebelum dicambuk. Artinya, mereka mendapat dua hukuman sekaligus: ditahan dan dicambuk. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi penegakan hukum di Aceh karena menjadi sumber ketidakadilan. Aparat penegak hukum Aceh perlu memberi perhatian serius mengenai hal ini.

--> komentar : tanpa ditahan pun sanksi cambuk tetap bisa dilakukan. Itu hanya masalah teknis perundang-undangan di lapangan. Tidak mengurangi esensi dari hukuman cambuk.

Kedua, penerapan sanksi cambuk pada rakyat kecil dinilai hanya sekadar cara mencari sensasi karena problem Aceh bukan terletak pada masyarakat, tapi pada aparat pemerintah. Masyarakat kecil yang dicambuk merasa dirinya sekadar kelinci percobaan para elite yang ingin mendapat keuntungan tertentu dari sanksi itu. Elite pemerintah NAD tentu ingin menanam investasi politik agar tercatat sebagai pejuang hukum Islam. Para penjudi dengan barang bukti lima puluh ribu rupiah dihukum cambuk, sementara para koruptor bebas berkeliaran tanpa hukuman. Demi keadilan, para koruptor inilah yang lebih patut dicambuk pertama kali.

--> anda membenturkan satu masalah dengan masalah baru. Koruptor itu masalah sendiri. Dan hukuman cambuk juga masalah sendiri. Penanganan kepada koruptor bukan lantas menjadi dalil penolakan hukuman cambuk. Itu tidak ada kaitanyya. Solusinya adalah koruptor dicambuk dan rakyat kecil yang melanggar Qanun pun dicambuk. Dan jumlah cambukannya pun berbeda sesuai dengan kapasitas pelanggarannya. Beres kan . . . . ?

Ketiga, pengakuan terpidana cambuk yang telah memberi sejumlah uang pada Jaksa Penuntut Umum, Erwin Nasution, juga menyiratkan masalah yang lebih serius dari sekadar cambuk itu sendiri. Pemberian sejumlah uang, baik sebelum maupun sesudah putusan pengadilan, menunjukkan penegak hukum kita masih bermental buruk meski hukum materiilnya sudah berubah. Artinya, problem sebenarnya bukan pada jenis hukuman, tapi lebih pada aparat penegak hukum itu sendiri.

--> sekali lagi anda membenturkan masalah hukuman cambuk dengan masalah lainnya. Mungkin sebaiknya saya beri gambaran seperti ini, pisau ditangan koki akan menghasilkan masakan yang nikmat dan pisau di tangan pembunuh akan menghilangkan nyawa seseorang. Apa lantas terus kita tolak keberadaan pisau itu ????. Hukuman cambuk hanya sebuah perangkat. Tentu berhasil tidaknya tergantung siapa yang menggunakan perangkat itu. Jadi yang diselesaikan ya permasalahan suap menyuapnya, bukan menghilangkan hukuman cambuknya. Apa anda menjamin jika hukuman cambuk dihilangkan, praktek suap menyuap juga ikut hilang ?? Ayo saya berani taruhan kepala !!!

Karena itu, sanksi cambuk Aceh mungkin tak akan membawa keadilan ......

--> anda pun masih berpendapat “mungkin tak membawa keadilan ...”. berapa persen kemungkinan itu ??? apa sudah anda analisa dengan survey, data statistik dll ?? anda berbicara tanpa bukti . . . .

piss maaannnnn . . . . 
no offense . . .

Posted by hanifah  on  05/26  at  04:47 PM

Saya pikir dengan di berlakukannya hukum islam, maka itu akan berdampak positiv bagi suatu bangsa.
Karena dengan begitu para kriminalis maupun koruptoris akan berpikir 10x untuk melakukan niatnya.
Jadi menurut saya, sangatlah keliru bila di katakan kembali ke zaman jahiliyyah hanya karena kemunculannya di zaman itu jahiliyyah.
Di terapkannya hukum islam itu ! bukan berarti kita kembali ke zaman jahiliyyah akan tetapi mengingatkan kita yang hidup di zaman modern ini yang tingkah lakunya seperti orang orang jahiliyyah.
Jadi kehadiran hukum islam adalah peringatan keras terhadap manusia yang berwatak jahiliyyah.
Janganlah berpikir berdasarkan pikiran semata karena pikiran itu tidak selalu benar

Posted by Almaliki  on  04/28  at  02:34 AM

Semoga dengan di laksanakan hukuman cambuk di NAD dapat mendorong kita untuk menuju ke khalifah islamiyah. Sesungguhnya orang2 yang menggunakan hukum penjara hanyalah orang2 yang mengumbar hawa nafsunya saja. Menurut saya kekurangan pada hukum cambuk yang dilakukan kemarin bisa diperbaiki untuk ke depannya, karena wajar saja bagi kita jika masih banyak kekurangan karena baru pertama kali dilakukan.

Semoga Allah memberikan hidayah pada umat muslim yang tertutup mata hatinya.

Allahu Akbar…
-----

Posted by Barkah Wahyu P  on  07/26  at  10:07 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq