Ibn Rushd dan Proyek Pencerahan Islam - Komentar - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
03/03/2005

Ibn Rushd dan Proyek Pencerahan Islam

Oleh Redaksi

Ibnu Rushd dikenal sebagai peletak tonggak pemikiran Islam progresif. Ia selalu mendengungkan perihal pentingnya rasionalisme, tradisi kritik, semarak berijtihad, dan sebagainya. Dalam kerangka itu, Ibnu Rushd telah menyusun sebuah karya intelektual yang monumental, seperti Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal, Bidayah al-Mujtahid, dan sebagainya. Proyek pencerahan yang dilakukannya ternyata membuahkan hasil. Eropa dan dunia Islam yang lain membangkit kembali. Kalau gerakan averoisme terus terjadi bahkan cenderung menguat di Barat, maka aktivitas berijtihad mulai ramai di Timur termasuk Indonesia.

03/03/2005 21:25 #

« Kembali ke Artikel

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil semua komentar, ascending. 20 komentar per halaman)

Halaman 1 dari 1 halaman

Tulisan Luthfi sebelumnya (Renesans dan Reformasi Agama, dimuat 20/12/2004) menyatakan bahwa “gerakan renesans dan reformasi dalam Islam adalah gerakan mengembalikan nilai-nilai dan semangat rasionalisme dan liberalisme seperti pada masa-masa kegemilangan peradaban Islam”, saya pikir kurang pada tempatnya. Sebab, sebagaimana kata asalnya, renesans yang artinya terlahir kembali, maka kriteria/indikasi-nya, selayaknya disesuaikan dengan kelahiran Islam yang dibawa Nabi SAW (Rasul-Nya).

Bukannya terlahir kembali sebagaimana masa-masa kegemilangan peradaban Islam. Sebab, bila kriteria ini yang digunakan, saya ainul-yakin, terlahirnya kembali Islam yang dimaksud tidak persis sebagaimana datangnya Islam awal yang dibawa langsung Nabi SAW. Alasannya, pada masa-masa tersebut, dimungkinan “roh Islam” yang dibawa Nabi SAW telah bergeser dari tempatnya.

Demikian halnya tulisannya kali ini, yang masih mengusung tema pencerahan, saya pikir masih belum mendekati semangat Islam yang dibawa Nabi SAW. Belum berani menggunakan semangat sapere aude! (beranilah menggunakan pemahaman sendiri) yang dicetuskan pencetusnya, Immanuel Kant.

Misalnya, kata “pencerahan” itu sendiri, yang menurut Kant didefinisikan : “Keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang untuk menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain”.  Definisi tersebut, saya pikir masih kurang tepat, dan perlu disempurnakan.

Secara bahasa, imbuhan “pe-an” mempunyai makna sebuah usaha/langkah untuk memperdalam, memperjelas, mempertegas sebagaimana yang dimaksud kata dasarnya. Misalnya penjelasan, usaha untuk memperjelas; pembersihan, usaha untuk membersihkan secara menyeluruh; penegasan, usaha/langkah untuk lebih mempertegas lagi; dan seterusnya dan sebagainya.

Oleh karenanya, pencerahan, seyogyanya didefinisikan menjadi: “serangkaian usaha untuk memberdayakan manusia agar keluar dari ketidakmatangan, menuju suasana yang cerah bercahaya dan terang benderang”.

Pencerahan yang dimaksud, menurut pengalaman saya, jenis dan sifatnya ada dua, yang sifatnya mikrokosmos dan yang sifatnya makrokosmos. Yang sifatnya mikrokosmos adalah pencerahan yang dilakukan oleh manusia pada umumnya, mengenai ilmu-ilmu (pengetahuan) yang sifatnya lahiriah, dan dapat diterima akal-pikiran secara langsung. Yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Kant, Al-Ghazali, Ibn Rushd, Aristoteles, Plato, Muhammad Abduh, Luthfi Asysyaukanie, Ulil Abshar-Abdalla, JIL, Saya, maupun berjuta-juta pemikir-penulis lainnya.

Sedang pencerahan yang sifatnya makrokosmos adalah pencerahan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.  Realisasi pencerahan ini adalah dilakukan oleh/melalui kepanjangan-Nya, Rasul/khalifah/utusan, sebab Tuhan memang tidak akan pernah menampakkan Diri di muka bumi-Nya. Pencerahan ini meliputi ilmu-ilmu (pengetahuan) yang sifatnya ukhrawi (akherat), ilmu hal-ikhwal hati, penyakit amal, ilmu tentang Dzat Sifat dan Af’al-Nya, tentang mati yang selamat, mati yang kesasar dan sebagainya. Seperti misalnya pencerahan terhadap Nabi SAW, yang langsung dilakukan oleh utusan-Nya (Malaikat Jibril)—dimana pada peristiwa dijelaskan bahwa Nabi SAW tidak boleh ingin surga dan takut neraka. Atau pencerahan “ahlul-bait” yang juga langsung dilakukan oleh Nabi SAW selaku khalifah/utusan-Nya.

Pencerahan yang ukhrawi (akherat) atau bisa disebut “batin” ini berkaitan erat dengan ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW—maupun para rasul-Nya yang lain—yang sifatnya juga batin (ilmu hakekat). Pencerahan ini memang tidak bisa dilakukan oleh manusia lain. Ia langsung diajarkan oleh khalifah-Nya tersebut. Misalnya bagaimana memberlakukan lapang dada, tidak mudah emosi, tidak gengsi, tidak butuh surga, tidak takut neraka, ikhlas yang “sejati”, dzikir sirri, istikomah dalam dzikir, dan seterusnya dan sebagainya.

Hal-hal seperti itu memang tidak dapat dijangkau oleh akal-pikiran, melainkan langsung dibawah bimbingan sang guru “Pencerah”. Tidak dapat diwariskan dan tidak dapat pula ditulis dalam buku. Tidak dapat diteorikan, melainkan memerlukan pengalaman langsung yang langsung dibimbing oleh yang diahlikan Tuhan sebagai khalifah-Nya.
-----

#1. Dikirim oleh Roni Djamaloeddin  pada  06/03   06:03 PM
Halaman 1 dari 1 halaman

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq