“Regime Change” di Amerika
Halaman Muka
Up

 

Kolom
23/02/2003

Regime Change” di Amerika

Oleh Farid Gaban

Sudah saatnya dunia tak hanya mendukung oposisi damai melawan Saddam, tapi juga membantu publik Amerika melakukan “regime change” di Washington DC.

Presiden George W. Bush mengatakan takkan terpengaruh oleh demonstrasi luas di seluruh dunia. Keamanan Amerika, kata dia, tak semestinya didikte para pemrotes. “Perang adalah pilihan terakhir bagi saya,” katanya. “Tapi berpangku tangan (menghadapi Saddam) justru memiliki risiko lebih besar.”

Bush mengulang pidato yang itu-itu juga. Padahal, gelombang besar dan deras menentang perang di seluruh planet pekan lalu telah menunjukkan satu hal. Masyarakat dunia hampir secara aklamasi mencampakkan semua retorika dan propagandanya untuk menyiapkan karpet merah agresi ke Irak.

Sepanjang yang bisa dicerap dari ungkapan para demonstran dan penandatangan petisi anti-perang, rencana berdarah Gedung Putih itu tak hanya harus ditolak jika dilakukan sendirian saja oleh Amerika dan Inggris. Tapi bahkan harus dicegah jika pun ada restu Dewan Keamanan PBB. Serangan “pre-emptive” Amerika tidak memiliki dasar legal maupun moral.

Tapi, jika pesan “hati nurani” dunia itu demikian jelas, kenapa Bush tetap ngotot? Mengesampingkan penjelasan legal dan moral, yang memang tak bisa dipakai, hanya dalih kepentingan saja yang tersisa untuk memahami rencana Bush itu. Tapi, demi kepentingan siapakah sebenarnya agresi itu?

“Keamanan rakyat Amerika,” kata Bush. Tapi, jelas bukan itu. Jika Tragedi 11 September menjadi titik tolak, ancaman kepada rakyat Amerika bukanlah dari senjata biologi, kimia dan nuklir Irak. Sejauh penjelasan resmi bisa diterima, serangan itu datang dari sekelompok teroris bersenjatakan pisau lipat. Jika benar begitu, agresi ke Irak jelas hanya akan menciptakan lebih banyak teroris, yang bahkan senjata Amerika paling mahal pun telah terbukti tak bisa menangkisnya.

Kepentingan lain adalah demi pemulihan ekonomi. Sejumlah ekonom pendukung perang mangatakan serangan ke Irak akan bisa mendongkrak ekonomi Amerika yang tengah lesu. Tapi, ini hanya mitos, setidaknya menurut Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001. Perang, kata orang, adalah mobilisasi, pengerahkan sumber daya negeri dan karenanya meniadakan pengangguran. Tapi, menurut Stiglitz, pengeluaran langsung serangan militer ke Irak sangat kecil dibanding anggaran total pemerintah—yakni hanya 0,1-0,2% dari GDP Amerika. Artinya tidak punya makna apa-apa sebagai bentuk stimulus ekonomi.

Setelah “serangan teroris bersenjata pisau lipat”, Bush memang secara ironis menaikkan anggaran Pentagon sebesar 15% dari tahun sebelumnya—peningkatan terbesar setelah era Ronald Reagan. Kini anggaran militer Amerika menjadi US$ 380 milyar, atau 40% dari seluruh anggaran dunia. Dengan trend yang sama, pada 2005 anggaran militer Amerika akan lebih besar dari anggaran militer semua negara di seluruh bumi digabung jadi satu. Tapi, penguatan otot persenjataan ini hanya akan memperkaya segelintir pejabat Pentagon dan pemilik industri militer secara jangka pendek ketimbang meningkatkan kesejahteraan rakyat Amerika secara jangka panjang.

Serangan ke Irak memang bisa dipakai sebagai dalih meningkatkan anggaran militer lebih banyak lagi. Tapi, ini pun harus dibayar mahal oleh kian rapuhnya kesehatan ekonomi Amerika. Pesta pora industri militer itu kian menumpuk defisit anggaran negara. Hanya dalam satu tahun masa kekuasaannya, Bush telah mengubah surplus anggaran sebesar US$ 405 milyar di era Bill Clinton menjadi defisit anggaran US$ 157 milyar. Dan defisit terus menggunung belakangan ini.

Lebih dari itu, menurut Stiglitz, Perang Teluk yang dulu telah justru memicu resesi Amerika pada 1991, yang membuat Bush Senior kalah dalam perebutan kursi presiden untuk kedua kali.

Tapi, bukankah menguasai Irak berarti juga menguasai minyak yang penting bagi lestarinya hegemoni Amerika? Amerika memang bagian dunia yang paling dahaga akan minyak. Tapi, bahkan jika ini benar, harga yang harus dibayar tak sebanding dengan upaya melestarikan pasokan minyak Irak.

Setelah sukses menguasai Afghanistan, yang bisa menjamin dominasinya atas ladang-ladang minyak di Asia Tengah, Amerika tidak membutuhkan Irak semendesak dulu. Sementara itu, serangan ke Irak justru akan membuat Amerika terlalu sibuk menghadapi konflik di berbagai front sekaligus. Rezim boneka di Afghanistan masih perlu disusui. Mampukah Amerika menangani “proses demokratisasi” serupa di Irak dan mungkin negeri-negeri Timur Tengah lain?

Sebaliknya dari mengukuhkan hegemoni, menurut sejawaran Yale University Paul Kennedy, Amerika justru terancam oleh penyakit yang disebutnya sebagai “imperial overreach”. Inilah penyakit yang mengantarkan Imperium Spanyol dan Inggris ke liang kubur: kekuasaan direntang terlalu jauh dan luas sedemikian rupa sehingga menjadi sangat rapuh.

Propaganda Pemerintahan Bush dalam “perang melawan teror” justru dengan cepat telah menghabiskan aset Amerika yang paling penting, yakni citra demokrasi serta penghormatan terhadap kebebasan sipil dan hak-hak asasi manusia. Padahal, aset itu lama dipupuk sehingga Amerika memperoleh tempat terhormat di dunia. Lagi-lagi, serangan ke Irak hanya menguntungkan kampiun industri minyak seperti Dick Cheney dan Condoleeza Rice dalam jangka dekat, tapi amat mahal harganya bagi rakyat Amerika secara jangka panjang.

Begitu sedikitnya keuntungan publik Amerika dari agresi ke Irak membuat orang memikirkan motif yang jarang disebut tapi begitu nyata: demi melindungi Israel.

Para pejabat dan kolomnis Amerika pro-Israel selalu menekankan betapa identiknya keamanan Israel dengan keamanan Amerika. Ketika, dalam kampanye kepresidenannya, Bush bersumpah akan menggulingkan Saddam Hussein jika terpilih, dia sedang berbicara lebih banyak kepada konstituen terpentingnya—lobi Israel yang sangat digdaya. Menurut Michael Lind, senior fellow pada New America Foundation, Bush sebenarnya lebih banyak disetir oleh lobi Israel ketimbang lobi industri minyak (The Israel Lobby, Prospect Magazine, April 2002).

Agresi ke Irak telah dipikirkan jauh sebelum Tragedi 11 September—bahkan jauh sebelum Bush jadi presiden—oleh para pendekar Pentagon pro-Israel yang dikenal sebagai “the Kosher Nostra”. Mereka adalah Richard Perle, Paul Wolfowitz dan Douglas Feith—dua yang terakhir pejabat teras Departemen Pertahanan.

Pada 1996, Perle, kini Kepala Dewan Kebijakan Pertahanan, bersama Feith menulis risalah berjudul: “A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm”. Berisi rekomendasi kepada Perdana Menteri Israel Binyamin Netanyahu, mereka menyarankan agar politisi Partai Likud garis keras itu mengabaikan proses perdamaian dengan Palestina. Agar bisa menguasai Tepi Barat--yang disetujui masuk wilayah Palestina menurut Perjanjian Oslo--Israel harus mengubah peta politik Timur Tengah secara radikal. Perubahan rezim di Irak diharapkan memiliki efek domino terbentuknya rezim-rezim pro-Amerika yang bisa “menyerap” Palestina dari Tepi Barat.

Pekan lalu, ide dasar “Clean Break” digaungkan kembali oleh John Bolton, petinggi lain Pentagon yang dikenal pro-Israel. Seperti dilaporkan Ha’aretz, koran Israel, Bolton mengatakan “tak diragukan lagi Amerika pasti menyerbu Irak dan setelah itu harus menangani ancaman dari Suriah, Iran, dan Korea Utara”. Walhasil, tidak hanya Irak yang akan jadi target.

Tapi, bahkan jika motifnya masuk akal, “Clean Break” adalah sebuah gagasan eksplosif, dengan efek ledakan yang sulit ditakar. Irak akan mudah ditundukkan, tapi seperti dalam permainan domino, Anda takkan bisa meramalkan akhir permainan kecuali Anda memegang seluruh kartu. Amerika akan secara mudah memenangkan pertempuran di Irak, tapi kecil kemungkinan dia memenangkan perang yang sebenarnya.

Takkan pernah bisa dibayangkan akan jadi seperti apa Timur Tengah, suatu hal belum tentu menyelamatkan Israel secara jangka panjang. Tak heran jika suara menentang agresi Amerika dan dukungan buta Bush terhadap Ariel Sharon juga muncul dari kelompok pecinta damai di Israel sendiri.

Cukup untuk menyimpulkan bahwa Amerika kini telah dibajak oleh para petualang berbahaya. Mereka cenderung menekankan kepentingan jangka pendek segelintir orang seraya rabun jauh melihat dampaknya bagi seluruh rakyat Amerika sendiri dan bagi dunia pada umumnya.

Sudah saatnya dunia tak hanya mendukung oposisi damai melawan Saddam, tapi juga membantu publik Amerika melakukan “regime change” di Washington DC.[]

23/02/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq