Shirat al-Mustaqim, Neraka, dan Pogrom
Halaman Muka
Up

 

Editorial
25/05/2003

Shirat al-Mustaqim, Neraka, dan Pogrom

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Gambaran populer tentang dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal “misteri” dan “pesona”, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang ”mysterium, tremendum, fascinan”. Dunia itu sudah hilang. Kita hidup dalam dunia yang hampir seluruh segi-seginya sudah dapat kita kenali, bisa kita perkirakan. Misteri sudah berubah menjadi sekadar hiburan —atau bahkan olok-olok— dalam acara “Kismis” yang —anehnya, konon—ratingnya tinggi.

Suatu pagi, seorang panitia pembangunan masjid di kompleks perumahan datang meminta sumbangan. Ini kali ketiga dia datang untuk tujuan serupa. Setelah saya menyerahkan sumbangan ala kadarnya, dia memanjatkan sederet “litani” doa-doa indah: semoga panjang umur, murah rejeki, dan diberi keselamatan. Ada satu lagi doa yang membuat saya agak terkejut: semoga saya, sekeluarga, bisa selamat melewati shirat al-mustaqim.

Tak hanya itu. Dia merasa perlu untuk menerangkan panjang lebar, dengan nada yang sarat ketakutan, apa itu shirat al-mustaqim: Yaitu jembatan yang dibentangkan di atas neraka untuk menguji keimanan seseorang sebelum lulus masuk surga. Jembatan itu begitu tipisnya sehingga menyerupai “rambut dibelah tujuh”, dan begitu tajamnya sehingga menyerupai sembilu. Orang dengan iman yang kokoh dan amal yang baik, akan melewati jembatan itu secepat kilat; orang dengan iman yang lemah, akan terseok-seok melewatinya, dan kemungkinan besar akan terjerembab jatuh ke neraka!

Meski secara fisik, kini “jauh” dari pesantren, saya masih menggumuli kitab-kitab kuning. Di rumah, terpampang koleksi kitab yang lumayan banyak. Ada tiga kitab yang paling saya sukai; semuanya risalah-risalah pendek yang enak dibaca: pertama, kitab Ushfuriyyah, kedua, kitab Syu’abul Iman, dan ketiga, kitab Daqa’iqul Akhbar.

Saya ingin mengulas kitab yang terakhir. Kitab Daqa’iqul Akhbar (Detil-Detil Berita) ialah semacam ulasan kehidupan “metafisik,” tapi dengan pendekatan yang amat “fisikal”. Kitab itu berisi uraian tentang apa persisnya kehidupan di akhirat nanti; apa sih yang akan dihadapi manusia ketika berada di Padang Mahsyar, semacam “ruang tunggu raksasa” sebelum menghadap Tuhan untuk “dihisab” amal-amalnya; apa yang terjadi saat melewati shirat al-mustaqim; soal penderitaan neraka; kenikmatan di surga; dan lain-lain.

Kitab ini pernah ditulis ulang dalam bahasa Jawa, dan ditambahi sana-sini, oleh Mundzir Nadzir, seorang pengarang Jawa populer, dalam sebuah risalah pendek yang sangat disukai kalangan awam Jawa di pedusunan. Judul risalahnya, Fa Firruu ila Allah (Bergegaslah Kembali ke Allah).

Dua kitab itu telah membentuk fantasi kecil saya mengenai surga dan neraka, hari kiamat, kehidupan metafisik, keadilan Tuhan, kehidupan manusia di dunia, kematian, baik dan buruk, dan seterusnya. Dua kitab itu ditulis dengan pendekatan yang sangat khas, bertolak dari the ethics of fear, etika ketakutan; seorang beriman harus dibuat takut begitu rupa, sehingga terpaksa menaati ajaran agama.

Saya masih ingat, betapa takutnya saya setelah membaca dua kitab itu. Gambaran yang paling menakutkan pada waktu saya kecil adalah kehidupan abadi di neraka. Neraka digambarkan secara fisik sebagai sejenis “gulag raksasa,” di mana segala jenis modus penyiksaan yang canggih dan bengis diterapkan. Neraka mirip dengan kamp Auschwitz. Neraka adalah sejenis pogrom, hanya bedanya, ini adalah pogrom abadi. Saya tidak tahu, dari mana asal-usul fantasi populer semacam ini.

“Ethics of fear” lebih menonjol dalam sosialisasi keagamaan sewaktu saya kecil. “Ethics of hope”, etika harapan, sama sekali kurang ditekankan. Sewaktu panitia pembangunan masjid itu menceritakan kembali kisah tentang shirat al- mustaqim, gambaran masa lampau yang “gelap” itu membayang kembali. Saya dihantui kembali oleh semacam horor.

Agaknya gambaran populer tentang dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal “misteri” dan “pesona”, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang ”mysterium, tremendum, fascinan”. Dunia itu sudah hilang. Kita hidup dalam dunia yang hampir seluruh segi-seginya sudah dapat kita kenali, bisa kita perkirakan. Misteri sudah berubah menjadi sekadar hiburan —atau bahkan olok-olok— dalam acara “Kismis” yang —anehnya, konon—ratingnya tinggi.

Kisah panitia masjid itu seperti memutar ulang secara artifisial sebuah dunia yang telah “hilang”. []

25/05/2003 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (9)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Assalamualaikum wr wb

Puja dan puji hanya untuk Allah semata, serta shalawat dan salam mudah-2 dilimpahkan kepada Muhammad Rasullullah SAW.

Kalau menurut saya, bahwa kita tidak perlu takut dengan surga atau neraka, karena keduanya hanyalah sebuah ciptaan, seharusnyalah Kita hanya takut dan bersandar pada Dzat yang Maha Kekal. Seumpama kita dimasukkan keneraka sekalipun, seandainya Allah Ridlho neraka itu dingin maka akan tetap dingin. Meskipun berpakain api dari neraka sekalipun. Maka dari itu takut hanyalah milik mereka yang Iman nya tipis. Dan rasa was-was itu godaan setan. Bahkan tidak hanya menghadapi sesuatu yang sebesar masalah neraka, sirhotol mustaqim, surga, padang mahsar, bahkan menghadapi masalah yang sepela saja kadang hati kita tidak tentram. apalagi peristiwa sebesar itu. Dan ketentraman itulah sebagian kecil dari surga, sedang tidak tentram itu adalah sebagian kecil suatu siksa neraka, mengapa kita menunggu rasa neraka dan surga menunggu sampai ajal tiba, bahkan hidup saat ini pun kita sudah merasakan semacam itu. Begitu juga saat maut akan menjemput, seandainya mas ulil didatangi malaikat penjabut nyawa, belum tentu saat ruh keluar dari raga mas, ruh tersebut tetep akan disertai kalimat Laa ilaha illallah, bisa saja mas ulil pada saat malaikat mencabut ruh mas ulil kaget, takut sehingga Iman dan Islam yang telah anda anut, hilang, tidak ingat , karena ketakutan yang amat sangat. sehingga mati dalam keadaan su’ul khotimah. maka dari itu tak sepatutnya kita takut neraka surga, dan sebagainya. tetapi kita harus mengImaninya. Hanya bersandar padaNyalah kita seharusnya. kenapa mesti takut pada ciptaannya ?. Hanya Padamu Ya Allah aku berserah diri, yang benar datangnya dariMu dan yang salah adalah hambamu .

wassalam. prianto
-----

Posted by suprijanto  on  03/25  at  10:03 AM

Salam

Neraka memang menyeramkan, tapi itu bukan cerminan dari zalimnya Allah. Allah itu Adil dan tidak zalim. Setiap amal buruk manusia (dan jin) adalah bahan pembangun neraka. Sedangkan amal saleh manusia adalah bahan pembentuk surga. Jika manusia nggak berdosa semuanya, maka hanya surga yang ada dan neraka nggak jadi dibangun, soalnya nggak ada materialnya. Inilah keadilan Allah.

Anyway, orang beribadah itu ada tingkatannya: syariah, tariqah dan haqiqah. Pada tingkatan syariah, orang beribadah mengharapkan surga dan menghindari neraka. Tapi pada tingkatan tariqah, orang sudah memahami arti ibadah secara lebih dalam lagi, sehingga tidak punya niatan lagi untuk mengharapkan surga. Jika masih seperti itu, maka dianggap masih egois/self-centered, yang notabene adalah awal dari syirik.

Pada tingkat yg tertinggi (haqiqah), maka ini ibarat orang yang sudah berhasil bertemu dengan Tuhannya, seperti halnya Rasul SAW yang sudah bermikraj mencapai sidratul muntaha.

Jadi, singkatnya, ibadahnya orang syariah adalah kepengin surga dan takut neraka (kesadaran bahwa zalim dibalas neraka dan amal saleh dibalas surga).

Ibadahnya orang tariqat adalah karena Allah memang satu-satunya yang patut diibadahi (kesadaran dan niat untuk berjalan menuju Allah)

Ibadahnya orang haqiqat adalah karena Allah satu-satunya yang dicintainya (kecintaan yang sangat, karena telah sampai/bertemu Allah).

Setiap orang is supposed to mengalami peningkatan terus dalam ibadahnya dari level syariah sampai level haqiqah. Nah, memahami bahwa neraka yang seram dan “kejam” itu, justru terjadi karena keadilan Allah adalah salah satu upaya peningkatan level ini, insya Allah.

Wallahu a’lam

Posted by Abdullah bin Umar  on  01/14  at  07:02 PM

Wah, pak Ulil.  Sepertinya anda terlalu banyak menyaksikan KISMIS sehingga menyamakan kengerian di neraka merupakan bentuk cerita horor yang tidak layak dikonsumsi.

Menurut saya, sebagai muslim yang benar harus mengimani hal-hal yang gaib, keimanan terhadap adanya neraka sah-sah saja jika tanamkan dalam bentuk kengerian apabila SELAMANYA kita tinggal di sana, saya juga tidak tahu dari mana anda menganggap ini semacam HOROR yang berlebihan…

Sebagai muslim yang benar, saya mengimani dan TAKUT apabila kelak saya terpaksa masuk neraka selamanya dikarenakan saya terlalu menyepelekannya semasa didunia..

Apa anda tidak merasa takut.......

Posted by Ahmad  on  12/27  at  09:12 AM

Biarkanlah mereka yang hidup dengan fantasi surga dan neraka, orang-orang seperti itu adalah manusia yang pikirannya masih terjajah oleh kondisi yang tidak bisa dielakkan, namun mereka yang telah dicerahkan dan telah mendapatkan kebebasan akan melepaskan itu semua karena telah mencapai kebenaran yang hakiki

Posted by mr baba  on  11/30  at  06:13 PM

Apakah seperti itu? Artinya muslim yang iman dan takwanya sangat tinggi pasti masuk surga, sementara yang kurang takwanya, disiksa dulu di neraka selama sekian kurun waktu (tentu menurut perhitungan waktu di akherat), tapi pada akhirnya masuk surga juga? Sedangkan yang kafir otomatis masuk neraka. Apakah “amalan” (barangkali paling tepat adalah perbuatan baik mereka sama sekali tidak dilirik Tuhan, sehingga mereka abadi di neraka dengan siksaannya yang sangat kejam? Mas Ulil, atau siapa saja, dapatkan sedikit menjelaskan mengenai hal ini? Tolong ya, Mas, Mbak, Kang, Jeng, atau siapa saja dech....

Posted by nangkathok  on  10/11  at  11:10 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq