Telaah Kritis Konstruktif Pemikiran Ulil Abshar-Abdalla - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
30/01/2003

Membedah Konsep Islam Liberal: Telaah Kritis Konstruktif Pemikiran Ulil Abshar-Abdalla

Oleh Burhanuddin

Bilamana kalangan pesantren salafiyyah mengkaji pemikiran Islam Liberal? Akankah muncul resistensi yang kuat bila Islam Liberal dibedah di “jantung” pengkajian literatur klasik Islam? Selama ini dalam benak sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) terbetik semacam wishful thinking bahwa kalangan pesantren, terutama yang berlatar belakang Nahdliyin, relatif tidak mempermasalahkan substansi dari pokok-pokok liberalisme Islam seperti demokrasi, kesetaraan perempuan, pluralisme dan kebebasan berpendapat dan berpikir.

PP Mahasiswa Al-Aqobah Jombang, Kamis, 30 Januari 2003

Penyelenggara:
PP Mahasiswa Al-Aqobah

Moderator:
Ahmad Zaenal Fanani

Narasumber:
Dr. Fuad Jabali
Dr. Mujammil Qomar
KH. Mustain Syafii

Ringkasan Diskusi:
Bilamana kalangan pesantren salafiyyah mengkaji pemikiran Islam Liberal? Akankah muncul resistensi yang kuat bila Islam Liberal dibedah di “jantung” pengkajian literatur klasik Islam? Selama ini dalam benak sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) terbetik semacam wishful thinking bahwa kalangan pesantren, terutama yang berlatar belakang Nahdliyin, relatif tidak mempermasalahkan substansi dari pokok-pokok liberalisme Islam seperti demokrasi, kesetaraan perempuan, pluralisme dan kebebasan berpendapat dan berpikir.

Namun akibat distorsi berlebihan terhadap aktivitas dan sosialisasi wacana Islam Liberal, membuat beberapa kalangan sering salah paham terhadap JIL. Atas dasar itulah, diadakan Seminar Regional bertajuk “Membedah Konsep Islam Liberal”: Telaah Kritis-Konstruktif Pemikiran Ulil Abshar-Abdalla pada Kamis pagi, 30 Januari 2003, pukul 09.00. Seminar ini terlaksana berkat kerjasama PP Mahasiswa Al-Aqabah dengan Islamic Center Jombang di auditorium PP Mahasiswa Al-Aqabah. Peserta seminar berasal dari Jombang dan kota-kota di sekitarnya seperti Madiun, Mojokerto, Nganjuk, Kediri, dan Lamongan. Jumlah peserta mencapai 450 orang (membludak jauh melebihi dari estimasi panitia) dengan perincian kasar sebagai berikut: santri (40 %) mahasiswa (35 %), pengurus ormas (10 %), birokrat dan pengurus orpol (15 %).

Distorsi terhadap JIL, diutarakan secara ilustratif, oleh Ahmad Zaenal Fanani, S.HI yang saat itu bertindak sebagai moderator.  Sebagai prolog, Fanani menceritakan shilaturrahmi-nya ke pesantren-pesantren di Probolinggo, Ma’had Aly Situbondo dan Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Ketika ditanyakan mengapa di Sidogiri para santri tidak boleh membaca koran, majalah, menonton TV, tape, dll. Mereka menjawab, “Kalau para santri diperbolehkan membaca koran, mendengarkan radio, menonton TV dll dikhawatirkan akan teracuni oleh pemikiran JIL.”

Kesalahpahaman semacam itu akan mencapai batas ambang toleransi ketika tidak ada dialog secara intensif yang melibatkan semua pihak. Hadir sebagai pembicara adalah Dr. Fuad Jabali (kontributor JIL dan pengajar pascasarjana UIN Jakarta), Dr. Mujamil Qamar (Puket I STAIN Tulungagung dan penulis buku “NU Liberal”) dan K.H Musta’in Syafi’i (pengasuh PP Tebuireng Jombang).

Fuad Jabali mengawali diskusi dengan memaparkan raison d’etre berdirinya JIL serta aras perjuangannya dalam menegakkan Islam humanis, demokratis dan toleran. Ia juga menyinggung spektrum gagasan yang luas yang ditampilkan para aktivis JIL yang punya latar belakang dan spesialisasi berbeda-beda. Namun demikian, kata Fuad yang disertasinya akan diterbitkan Brill, Belanda ini, aktivis JIL dan simpatisannya tidak memiliki keraguan sedikitpun tentang urgensi demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme dan kebebasan berpikir dan berpendapat.

Oleh karena itulah, gagasan-gagasan JIL yang dipandegani Ulil harus didukung. Namun, sambung Fuad, karena terlalu bersemangatnya Ulil, sangat mendalamnya apresiasinya terhadap realitas umat, penderitaan dan kepedihan umat yang sudah ratusan tahun ini tidak ada perubahan, sehingga Ulil terkesan kehilangan kontrol dalam artikulasi pemikirannya. Dia tidak sabar terhadap ketidakadilan, keterbelakangan dan penindasan yang dialami umat. Karena tidak sabar, dia sesekali emosional dan terjebak dalam semangat besar yang menimbulkan sikap ekstrem, demikian kritiknya.

Di tengah pembicaraan, Fuad mengatakan, bahwa posisinya adalah sebagai sahabat dan kawan dekat Ulil. Dalam JIL, selalu saja terbuka ruang untuk kritik Fuad menandaskan bahwa sebaiknya umat Islam bersikap arif dan bijaksana dalam menerima perbedaan. Islam liberal juga tradisi umat Islam juga. Ia tidak lepas dari gerak dan dinamika Islam, kecuali kalau kita melakukan seleksi terhadap pluralitas wajah Islam yang sebenarnya bertujuan sama, yakni Islam itu tampil sejuk, membuat maju dan berkembang pemeluknya, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia-akhirat. Ulil dan JIL, kata Fuad, adalah patner kita dalam melakukan kerja besar itu, bukan lawan atau musuh yang harus dimusnahkan dari muka bumi ini.

Menurut peneliti PPIM UIN Jakarta ini, perdebatan seperti ini sudah terbiasa dalam tradisi umat Islam. Zaman dulu, Ahlus Sunnah wal-Jama’ah menjadi progresif dan produktif dengan karya-karya besar dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Hasan Al-Maturidi karena kritikan dan perdebatan keras dengan kaum Mu’tazilah. Jadi kaum Mu’tazilah juga sangat besar jasanya dalam membesarkan dan memajukan keilmuan kaum sunni. Tanpa ada perdebatan, pertentangan dan silang pendapat, tidak akan ada kemajuan dan dinamika. Dalam kerangka pemikiran seperti inilah, kata Fuad, kita dapat memandang signifikansi kehadiran JIL saat ini.

Pembicara kedua, Dr. Mujamil Qamar, menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran Islam liberal banyak merujuk pada cara berpikir Umar bin Khattab. Khalifah kedua ini sering memberi keputusan yang berbeda dengan nash. Misalnya, Umar menolak membagikan tanah rampasan perang kepada prajurit perang, tidak memberikan zakat kepada para muallaf, menghitung talak tiga sekaligus sebagai talak ba’in; melarang penjualan um al-walad, membebaskan pencuri dari hukuman potong tangan dan lain-lain. Model pemikiran ini, lanjut Mujamil, lebih menekankan maqashid al-nash (maksud-maksud yang terkandung dalam nash) daripada dhawahir al-nash (bunyi secara tekstual dari suatu nash).

Model inilah, kata Mujamil, yang membawa ke arah pemahaman kontekstual yang bercirikan sebagai berikut a). Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. b). Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks. c). Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. d). Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas. e). Kebebasan beragama dan berkepercayaan. f). Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Lebih khusus, Mujamil membeberkan kasus-kasus menimpa tokoh-tokoh liberal dari kalangan NU seperti Sjechul Hadi Permono yang diadili oleh para Kiai Blok Agung, Masdar Farid Mas’udi yang dituding gila dan kajian kitab yang dirintis di PBNU dihentikan, Said Agiel Siradj dihukumi murtad dan diusulkan dipecat dari kepengurusan PBNU, Abdurrahman Wahid dihukumi kafir dan dituding sebagai antek zionis, dan yang paling baru ­melalui fatwa ulama yang tergabung dalam FUUI- Ulil Abshar-Abdalla difatwa mati.

Yang terakhir, K.H Mustain Syafi’i banyak mengapresiasi pemikiran Islam Liberal seraya menunggu garapan akhir epistemologi dan metodologinya. Bagi pengasuh pesantren Tebuireng ini, kerja besar JIL belum tuntas dan mengharap orang lain melihat Ulil sebagai sebentuk “gambar belum sepenuhnya jadi.”

Seminar yang berlangsung hingga pukul 13.00 WIB ini, secara umum, berjalan dengan meriah, gayeng, dan penuh antusiasme dari peserta. Banyak media yang meliput, mulai dari Radar Mojokerto, Jawa Pos, Duta Masyarakat, Bangsa, Surya, Tabloid Sipil, Radio FM Citra, Radio Gita Nada dll.

Seusai seminar acara dilanjutkan dengan diskusi kecil antar perwakilan pesantren yang menghasilkan terbentuknya sebuah wadah Forum Kajian Santri Lintas Pesantren yang bertujuan untuk menjembatani liberalisme kaum muda Islam (khususnya NU) dan kekayaan khazanah klasik yang dimiliki pesantren. Forum kajian mengambil secretariat di PP Mahasiswa Al-Aqabah, karena dipandang ada kesamaan visi dan misi, baik dari pengasuh, dewan asatidz, pengurus dan para santrinya. [Burhan]

30/01/2003 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (14)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Sesungguhnya hanya ALLAH lah yg Maha Tau Atas segala hal di dunia dan semesta.
dan Hanya Muhammad lah Rasul akhir zaman.

dan sesungguhnya kita sama bodohnya karena memang kita ini manusia.
jika ada manusia yg mengatakan dia pandai, maka ilmu manusia itu tidak lebih dr 1%.
jika ingin tau lebih dr 1% maka tunggulah hingga engkau mati.
pasti akan lebih ilmunya dr pd manusia yg hidup.

Posted by alba  on  01/21  at  06:06 PM

Orang cerdas faham apa yg telah terpikir, terucap dan diyakini segala hujahnya

Posted by Achi  on  10/01  at  11:31 PM

KITA SEDANG MABOK AGAMA!

Pilu rasa hati melihat bencana alam maha dahsyat diberbagai belahan dunia dipenghujung tahun 2004. Hal ini juga menggugah hati, nurani serta pikiran saya untuk mengetahui sifat Tuhan YME lebih dalam lagi. Saya ingin mengetahui, mengerti dan memahami sifat Tuhan yang seolah-olah Maha Kejam dalam berbagai kasus seperti:

- Berbagai bencana alam: banyak bayi dan kanak2 yang belum ternoda pun ikut mati. - Membiarkan para oknum KKN dan pelanggar HAM di Indonesia tetap jaya, sejahtera, aman dan sentosa; sementara itu rakyat kecil yang jujur namun sederhana yang jumlahnya jauh lebih besar (mungkin 1000 kali lipat) justru menderita. - Berbagi bencana penyakit dan kemiskinan didunia.

Seandainya Tuhan itu aktip berbuat kebaikan tentulah hal itu tidak akan terjadi, jadi ada kesan bahwa Tuhan itu MASA BODOH atas berbagai bencana, kejahatan dan ketidak adilan didunia ini; atau dengan kata lain: Tuhan itu Maha Kejam. Atau ada “Tuhan lain” yang kadang2 dapat mengalahkan Tuhan yang kita pahami sebagai sumber kebaikan.

Saya sudah coba mencari di kedua kitab suci agama terbesar didunia yaitu Islam (Al-Quran) dan Kristen (Injil), namun saya terpaksa kecewa dan berpendapat bahwa keduanya belum bisa menjelaskan sifat Tuhan yang seolah-olah Maha Kejam dalam berbagai kasus seperti diatas mengingat KETERBATASAN kedua Kitab Suci tsb., seperti telah ditandaskan: dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi; demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. Oleh sebab itu Ke “Mahabesaran Tuhan” tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal/setipis kedua kitab suci itu.

Saya juga sependapat dengan renungan di http://www.ibupertiwi2.blinkz.com yang menandaskan bahwa pemahaman akan Tuhan belum selesai dan tidak akan pernah selesai mengingat manusia tidak pernah tahu kapan berawal (alpha) dan berakhirnya (omega) Tuhan. BANYAK agama BERSIFAT seolah-olah: sedang dan sudah membatasi Tuhan dengan rentang waktu masa lampau (masa kejayaan Nabi2nya saja), bahwa Tuhan tidak mempunyai masa depan, bahwa Tuhan itu cukup PC XT titik (statis) bukan Pentium 5 beserta penerusnya (Pentium X, dinamis, tak tahu s/d seri berapa), bahwa Tuhan itu cukup DOS bukan Windows Server 2003, bahwa Tuhan itu cukup jaman dulu dan tidak punya masa depan, bahwa Tuhan itu Maha Terbatas bukan Maha Tak Terbatas (= Maha Besar)!! Sungguh, saya belum pernah menemukan dan membaca artikel tentang agama, kebudayaan dan politik yang sedalam, setuntas, sejelas dan seterus-terang itu (di web site tersebut diatas). Seandainya Tuhan Yang Maha Besar cukup dimuat dalam satu buku tipis saja dan kuno, bukan main terbatasnya Tuhan itu!

Seorang teman mengatakan bahwa didunia ini sebenarnya ada ratusan agama dan kepercayaan, sayangnya kebebasan beragama di Indonesia itu adalah semu karena hanya agama sebatas Islam (Nabi Muhammad) saja yang boleh masuk ke Indonesia, agama2 baru (setelah Nabi Muhammad) dilarang masuk, demikian pula keyakinan/kepercayaan leluhur seperti Kejawen dimusnahkan secara perlahan dan secara strategis (tidak boleh tercantum di KTP). Oleh sebab itu mohon bantuan anda sekalian untuk mendapatkan referensi atau penjelasan tentang sifat Maha Kejam diluar kedua agama besar ini. Sekaligus perkenankanlah saya mengajak anda, marilah kita melanjutkan pencarian Tuhan tanpa lelah dan tanpa henti…agar kita menyadari bahwa Tuhan: bukan milik satu agama, bukan milik satu atau beberapa Nabi, bukan milik satu jaman atau peradaban, bukan sekedar ditulis dalam buku setipis kitab suci, melainkan Ia tak terbatas waktu, ruang dan tempat…

AGAMA PERNAH MEMABOKKAN EROPA (JAMAN KEGELAPAN), DAN DUNIA KETIGA SAAT INI SEDANG MABOK AGAMA, SEMOGA HAL INI CEPAT BERLALU...MARILAH LANJUTKAN LANGKAH PENCARIAN TUHAN YANG OPTIMISTIS, TIDAK BEKU, STATIS, DAN TERPAKU KEMASA LAMPAU…

Hormat saya, Gandung Yudistira Sang pembelajar yang tak pernah henti belajar, sang pengelana jl. Malioboro…
-----

Posted by Gandung Yudistira  on  01/03  at  07:01 AM

Ass.wr.wb

Banyak kalangan yang membuat klasifikasi tentang agama, dengan sebutan samawi (yahudi,nashoro,islam) atau yang disebut agama langit, dan agama non samawi seperti (budha,hindu,konghucu,dll), hal ini distilahkan secara sepihak oleh kalangan agama samawi.  Orang awam melihat agama Budha, sepintaslalu selalu diartikan dengan menyembah Sang Budha “Sidarta Gautama”, padahal orang tsb belum memahami tentang siapa sebenarnya Sidarta Gautama.

Hanya mendengar,melihat cara ibadah yang tak sama dengan dirinya, lalu dianggap agama tsb tidak berTuhan, karena menyembah patung manusia, lalu apakah serendah itu qualitas penyembahan ?, sejauh mana orang melihat esensi dari penyembahan terhadap sang Budha ?, apakah benar para penganut Budha itu menyembah patung sang Budha ?.

Bagai mana bila Islam dipandang oleh non Islam sebagai penyembah Batu Hitam ?, baik diluar Mekah ataupun saat berhaji, tentu masalahnya sama, karena orang lain tidak semuanya memahami tentang esensi Islam dg sesungguhnya Sebaiknya orang berbicara itu harus didertai dengan pengetahuan, bahwa pendengaran & penglihatan dan ucapan, kelak akan dimintai pertanggungjawaban(Alquran).

Ada agama yang cara penyembahannya melalui beberapa tahapan dimensi, dalam agama Budha kegiatan ritualnya bukanlah menyembah Patung Sidharta Gautama, tetapi sebuah bentuk penghormatan tertinggi atas sang Budha Sidarta Gautama yang telah melahirkan ajaran & keyakinan terhadap Tuhan Yang Esa, dengan mengaplikasikan itiqad ucapan serta prilaku yang luhur dalam kehidupan, ajaran Budha identik dengan ajaran Budipekerti(akhlaq).

Budha mengajarkan bagaimana cara methode mendekatkan diri & mengenal Tuhan melalui ajaran Budipekerti, sebagai mana Rosulullah saw, diturunkan ke Bumi hanya untuk memperbaiki keluhuran akhlaq manusia, sebab kerusakan agama banyak ditimbulkan oleh kerusakan akhlaq(sikap & prilaku).

Sepreti kita lihat, banyak sekali umat Islam menyampaikan kebenaran yang mengatasnamakan Allah & Rosulullah saw dengan prilaku yang menyakitkan(hujatan,hinaan,kata-kata kotor,menyalahkan,merasa benar sendiri) terhadap umat islam sendiri dan non Islam, sehingga label Islam yang artinya selamat & rahmatilil’alamin telah sirna oleh prilaku yang tidak maslahat dan tidak ma’ruf.

Disini terjadi suatu keterbalikan fakta atas keyakinan buta terhadap kebenaran yang belum ter-uji oleh masing-masing umat Islam, hanya karena meyakini dengan taklid buta terhadap tekstual dalil dan hadits, lalu meluncurlah hujatan,cela-an,fitnahan,hukuman, dan keangkuhan serta kesombongan karena merasa kebenaran adalah miliknya sendiri.

Allah berifrman :"janganlah kalian mengatakan tentang sesuatu yang kamu tidak berpengetahuan atasnya, sesungguhnya pendengaran dan penglihatan akan dimintai pertanggungjawaban”.  Banyak umat Islam meniru apa yang difirmankan Allah dalam Alquran an & sunnah Rosulullah saw, tanpa memahami ilmu nya Allah & ilmu nya Rosulullah saw. 

Rosulullah saw mendapatkan ilmu melalui wahyu dari Allah, Rosulullah saw memahami dan mengenal(ma’rifat) terhadap Allah hingga Beliau dan Allah tiada berantara, sedangkan kita sebagai umatnya bagaimana ???.

Rosulullah saw tidak pernah menyombongkan atas kedudukannya disisi Allah dengan referensi dalil Alquran, tapi Rosulullah saw lebih mengaplikasikan Alquran dan merealisasikan Alquran dalam prilaku kehidupan sehari-hari, sehingga Rosulullah bagaikan Alqur’an yang berjalan(hadits Siti ‘Aisyah).

Umat islam saat ini terutama di Indonesia, lebih pandai menghafal dalil- ayat Alquran dan hadits yang disukainya saja, dan membuang sebagian yang tidak disukainya, sehingga Alqur’an diexplorasi dengan nafsu rendahnya, bukan dengan nafsu muthma’inah.  Sehingga dengan demikian qualtas Islam menjadi rendah dan menjadikan Alquran serta Islam kehilangan Ruh nya, kehilangan cahaya kebenarannya, kehilangan kekuatannya.

Dan hal itu menjadi bukti nyata didepan mata kita bahwa Islam terpuruk, terkotak-kotak, atas kelompok,golongan,firqah-firqah,dengan berbagai faham yang semrawut, hingga akhirnya Islam mudah untuk di obok-obok, dihancurkan, dari berbagai arah.  Hal ini terjadi karena kebanggan & keyakinan terhadap Islam dibangun bukan dengan ilmu pengetahuan( ilmu Allah & Rosullullah saw), tetapi dibangun dengan taklid buta sebagai dinding pemikiran, sehingga Islam tampak sempit, kaku,diktator,seram,menakutkan.

Semua agama sasuai keyakinannuya adalah ber-Tuhan, dan Tuhan dipersepsikan sebagaimana keyakinan sesuai pemahamannya. Bila kita bertanya kepada umat Islam pada umumnya, sejauh mana dan seperti apa umat Islam mengenal Tuhannya ?, apakah mengenal Tuhan hanya cukup membaca lafadz “Allah” dan mengucapkab “Allah” ?, dengan demikian lalu dianggap Islam ?.....dan ber-Tuhan dengan Allah?.

Walaupun manusia diberi kamampuan untuk mengenal Nya, tak cukup seluruh panca indera untuk memahami tentang Allah, takan cukup & takan puas hati manusia menyebut Nya, sebab Dia tak dapat dikatakan,disamakan, di umpamakan dengan apapun, dia adalah Dzat laysa kamitslihi, sesuatu yang tak dapat di umpamakan dengan apapun yang Dia ciptakan, karena Dia Maha Pencipta. 

Kadang banyak manusia tertipu oleh Alquran serta berbagai symbol dan perumpamaan yang terkandung didalamnya, dimana semuanya itu masih perlu digali oleh ilmunya Allah. “…….dan merka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.

Allah adalah Tuhan seluruh alam(Robbul ‘Alamin), Allah adalah Raja manusia (Malikinnas), yang merajai seluruh aplikasi kehidupan manusia Allah adalah Sembahan Manusia (Ilaahinnas), yang disembah oleh seluruh manusia baik yang mengenal Nya ataupun tidak. Allah adalah Maliki Yaumiddiin, yang Merajai hari akhir, dari seluruh amal perbuatan atas agama & keyakinan manusia.

ALH.

Posted by Almoed Hironop  on  08/05  at  09:08 PM

Pertama kali saya secara pribadi apreciate terhadap geraka yang di lakukan oleh sebagian kelompok muda Islam negeri ini yang menamakan kelompoknya sebagai Islam Liberal. Diskusi-diskusi yang dilakukan oleh JIL selama ini sedikit banyak menjadi pertanyaan di kalangan umat. Saya katakan umat karena sebagian masyarakat Indonesia pemeluk agama Islam sehingga respon mereka begitu emosional-reflektif tanpa diiringi dengan pemikiran diskusi wacana yang mendalam. Katakanlah para Punggawa JIL merupakan representasi kelas menengah Indonesia. Apakah kemudian gebrakan yang dilakukan melalui berbagai medium bisa terakses oleh masyarakat golongan bawah. Menurutku ini lebih penting. Persoalan ke depan yang akan di temui adalah penerimaan golongan masyarakat ini akan bermasalah jika bahasa yang disampaikan dalam berbagai forum tidak mereka pahami secara jelas dan argumentatif. Saatnya bagi JIL untuk kembali memikirkan gerakan yang tidak hanya menjadi perdebatan kalanagan elit dan kelas menengah tapi juga menyentuh pemahaman dan penalaran masyarkat yang masih under educated person. Selamat berjuang!

Posted by Junaidi  on  02/12  at  05:02 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq