Betapa Penting Konsistensi
Adil - Konsistensi memang sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi tidak gampang untuk dipraktikkan. Terutama apabila hal itu sudah berkaitan dengan kepentingan politik atau ekonomi sebuah kelompok, maupun juga sebuah pemerintahan. Dalam bahasa agama, konsistensi bisa disebut sebagai sikap yang istiqomah. Artinya, sekali mengambil keputusan yang sudah didasarkan pada pikiran panjang dan teliti, maka keputusan itu harus dikerjakan secara konsisten dengan sungguh-sungguh dan tidak boleh melakukan zigzag yang hanya akan merusak pelaksanaan keputusan yang telah diambil tersebut.
Saya tertarik untuk berbicara konsistensi dalam kolom kali ini, karena bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan berat berupa kemungkinan disintegrasi, dan itu bisa menjadi kenyataan pahit gara-gara kita tidak konsisten atau tidak memiliki konsistensi dalam melaksanakan sebuah keputusan politik.
Keresahan, kegelisahan, dan hampir-hampir keputusasaan yang diderita oleh banyak warga negara Indonesia di berbagai provinsi, tampaknya sudah dicarikan jalan keluar oleh pemerintah bersama DPR sejak setahun yang lalu. Kekecewaan berat dan bahkan semacam keputusasaan yang melanda beberapa daerah/provinsi itu, disebabkan rakyat di daerah-daerah tersebut merasa tidak dianggap sebagai anak-anak bangsa yang perlu disantuni dan diperhatikan hak-hak sosial, politik, dan ekonominya.
Bukan merupakan cerita baru bila saya sebutkan di sini, alangkah banyaknya pembagian kue nasional yang amat sangat zalim antara pusat dan daerah --terutama daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Mudah dimengerti apabila daerah yang memangku kekayaan melimpah-ruah akan marah sejadi-jadinya, lantaran kekayaan alamnya disedot oleh pemerintah pusat dan hanya dikembalikan secara tidak berarti kepada daerah asal-usul kekayaaan yang melimpah itu.
Demikian juga, partisipasi politik yang didambakan oleh rakyat bersangkutan kadang-kadang disepelekan begitu saja. Sampai-sampai untuk menentukan bupati atau sekwilda, seluruhnya diambil alih oleh pemerintah pusat sementara DPRD hanya bisa menjadi penonton yang baik. Tetapi lebih dari itu, juga masalah proteksi hak asasi manusia yang tidak kunjung datang, bahkan kadang semakin parah kita lihat di berbagai daerah di Tanah Air.
Oleh karena itulah dengan adanya UU Otonomi dan UU Perimbangan Keuangan masing-masing Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, kekecewaan berat dari berbagai provinsi kita seharusnya sudah mulai bisa dikurangi secara bertahap. Tetapi yang terjadi, sayang sekali, justru pemerintah pusat sekarang ini tidak punya konsistensi dalam mengaplikasikan UU yang telah disahkan sejak setahun lalu itu.
Memang rakyat kita penyabar, tapi tentu ada batasnya. Memang para bupati dan gubernur kita tampaknya tersenyum lebar dan tahan menderita, tetapi semua itu tentu ada batasannya juga. Kalau setelah ditunggu sekian lama, kemudian dua UU yang sesungguhnya sangat potensial untuk menghilangkan kekecewaan daerah tidak dilaksanakan secara konsisten, kita khawatir kecenderungan disintegrasi akan semakin kuat di tengah-tengah kegalauan sosial politik yang sedang kita alami.
Beberapa hari yang lalu saya mendengarkan sebuah seminar di Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh kalangan asing dan sejumlah orang Indonesia, di mana kesimpulannya agak aneh tetapi mengandung banyak unsur kebenaran. Kesimpulan itu antara lain, bahwa masalah otonomi daerah sangat dilematis. Karena daerah dianggap belum siap secara mental, psikologis, administratif dan manajerial untuk betul-betul melaksanakan otonomi, ada yang mengatakan jika otonomi dijalankan secara konsekuen dan konsisten maka justru ketidaksiapan itu akan semakin menambah kemelut di berbagai daerah dan akhirnya mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya, ada argumen yang mengatakan apabila pelaksanaan otonomi ditunda-tunda maka akan memicu kemarahan yang meluas di kalangan masyarakat yang muaranya juga menuju disintegrasi.
Namun sebuah dilema tidak boleh dibiarkan bergulir tanpa ada usaha untuk memecahkannya. Saya yakin dilema yang dikemukakan dalam seminar di Yogyakarta itu, sampai batas tertentu, hanya merupakan sebuah dilema hasil olah logika saja dan sedikit banyak berbau artifisial. Mengapa? Karena pada akhirnya, masalah otonomi kembali kepada kemauan politik, komitmen kita semua, dan konsistensi yang harus kita pegang teguh.
Mengatakan bahwa daerah belum siap, daerah belum memiliki SDM yang memadai, daerah nanti akan menyaksikan KKN lokal yang sangat dahsyat --karena otonomi berarti transfer KKN dari pusat ke daerah, atau alasan bahwa orang daerah tidak memiliki visi universal yang dibutuhkan dalam zaman globalisasi dan liberalisasi, serta seabrek argumen lain itu sesungguhnya tidak banyak artinya. Berbagai alasan itu, sesungguhnya hanya akan menunda dan menghilangkan kepercyaan diri kita untuk melaksanakan otonomi secara istiqomah, konsisten, dan konsekuen.
Kita harus melihat dan mengambil pelajaran dari beberapa negara tetangga yang sedang mengalami masalah yang sama. Di Bangkok, Ibukota Thailand, beberapa hari terakhir ini diguncang demo para petani dari berbagai wilayah pedesaan di negara Gajah Putih itu, yang ternyata sumbernya karena inkonsistensi pemerintah pusat di Thailand. Ternyata pemerintah Thailand pun sudah memiliki UU otonomi, tetapi sungguh ajaib bahwa di sana pemerintah pusat masih ogah-ogahan untuk mengimplementasikan UU otonomi itu secara sungguh-sungguh. Kita baca di koran, di RRC dengan penduduk 1,3 miliar, para petani dari berbagai provinsi juga mulai marah berat pada pemerintah Beijing, karena otonomi yang dijanjikan masih tetap di atas kertas, dan pemerintah pusat masih mengatur segala-galanya.
Belajar dari keributan di Thailand dan RRC, kita harus mengetahui bahwa potensi untuk meledakkan sebuah aksi sosial dan politik di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di kedua negara yang sedang dirundung masalah yang sama itu. Secara demikian, lewat kolom ini saya hanya bisa mengingatkan pada pemerintah pusat --terutama para menteri-- supaya mereka betul-betul melaksanakan dua UU yang sudah terbengkalai sekarang ini tanpa segala macam dalih lagi, karena kita sedang berlomba dengan waktu.
Malah saya pernah mendengar bahwa dalam sebuah pertemuan para bupati se-Indonesia, sebagian dari mereka mengatakan kalau implementasi kedua UU sebagai way out terhadap kemelut sosial politik sekarang ini tidak segera dijalankan oleh pemerintah pusat, secara berkelakar mereka mengatakan akan memproklamasikan kemerdekaan masing-masing kabupaten. Atau, beberapa kabupaten dalam sebuah provinsi akan menggerakkan tuntutan kemerdekaan seperti itu.
Walaupun sampai sekarang hal itu bisa ditanggapi sebagai sesuatu yang tidak serius dan ada elemen senda gurau, tetapi jangan diremehkan bahwa selama keadilan tidak ditegakkan maka keresahan sosial politik di berbagai daerah bisa berkembang tanpa kontrol. Akhirnya akan melemahkan bangunan negara kesatuan RI, dan pada gilirannya bisa memicu disintegrasi yang tidak kita inginkan bersama. Inilah sebuah perkembangan yang perlu kita cermati dan wallahu a'lam.