Mengambil Hikmah Misi Muhibah ke Sumatera (2)
Adil - Catatan kedua yang saya peroleh dari muhibah ke Pulau Sumatera pada tanggal 5 hingga 21 November lalu adalah; bahwa rakyat kita di Sumatera ternyata sangat tinggi rasa ke-Indonesia-annya. Ini perlu saya garis bawahi, karena di berbagai tempat di sana kehadiran saya sebagai seseorang yang datang dari kultur dan etnik Jawa, bisa diterima dengan penuh persaudaraan dan kehangatan yang tanpa reserve.
Hal ini sebetulnya sudah saya rasakan sejak jauh hari. Yakni ketika saya pernah mendapatkan sebuah kain ulos dan nama marga Simanjuntak di Jakarta beberapa waktu lalu, yang diberikan oleh masyarakat Batak marga Simanjuntak. Saya juga pernah mendapatkan ulos dan diberi kehormatan menjadi anggota marga Purba.
Dalam muhibah ke Sumatera, tatkala kami berada di Mandailing Natal, saya mendapatkan lagi-lagi upacara Mangupa-upa untuk memberikan saya sebutan Sutan Natigor Panganyahatan Nasution. Dengan demikian, saya sudah berhak menyandang tiga marga, walaupun saya sendiri seorang suku Jawa.
Begitu juga ketika saya berada di tanah Melayu, di Jambi, Sumbar, maupun Sumut, saya dengan istri berkali-kali diberi pakaian adat Melayu serta ditahbiskan sebagai warga Melayu. Puncaknya adalah di Istana Sultan Maimun Medan, ketika tokoh-tokoh Melayu menobatkan saya sebagai warga Melayu dengan dikenakannya pakaian adat khas Melayu pada saya dan istri saya.
Waktu itu saya masih ingat, para tokoh Melayu selalu bermain-main secara fasih dengan pantun yang sangat indah. Maka ketika berada di Istana Sutan Maimun, saya secara spontan membuat pantun yang ternyata mendapat sambutan yang baik. Saya katakan, "Burung dara burung merpati, bercengkerama di atas kayu. Baik saya maupun istri, sangat bangga jadi warga Melayu." Pantun itu langsung disambut dengan pantun yang lebih gawat lagi, sehingga saya tidak bisa menjawab lagi karena tidak terbiasa membuat pantun-pantun secara spontan.
Melihat penerimaan berbagai suku di Sumatera terhadap kami dari suku Jawa ini, tampak sekali ke-Indonesia-an memang telah melekat di hati sanubari rakyat Indonesia. Mereka mengatakan, "Benar Pak Amien suka mengatakan kita anak bangsa, yaitu bangsa Indonesia."
Catatan lainnya adalah, kesan bahwa rakyat Sumatera ingin segera membangun daerahnya memang sangat kuat. Mereka yakin kalau diberi kesempatan secara luas, mereka akan mampu membangun daerah masing-masing dengan sumber daya alam dan SDM yang dimiliki ke arah kehidupan yang lebih gemilang. Dalam konteks inilah mereka mengingatkan saya supaya pemerintah pusat betul-betul tulus di dalam mengimplementasikan UU Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Mereka, terutama para bupati, walikota maupun gubernur, meminta pada saya agar mengingatkan pemerintah Jakarta supaya betul-betul tulus dan ikhlas melepaskan mentalitas sentralistiknya. Saya tentu setuju sepenuhnya, karena itulah halangan yang bisa membuat pelaksanaan dua undang-undang itu per Januari 2001 dapat terjungkal.
Mereka mengatakan ada semacam waswas atau skeptisisme, apakah kelak pemerintah pusat betul-betul mau secara konsisten dan konsekuen menerapkan dua undang-undang tersebut. Tentu jawaban saya justru dalam konteks inilah para tokoh daerah tidak boleh sungkan-sungkan lagi --bahkan untuk menggebrak meja-- apabila pemerintah pusat mulai tidak konsekuen dengan pelaksanaan UU yang cukup krusial itu.
Namun saya juga mengingatkan bahwa keberhasilan otonomi daerah setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, adanya kemauan belajar dari pusat dan daerah untuk mengimplementasikan dua UU itu, dalam arti setiap kesulitan hendaknya dipecahkan secara musyawarah. Karena masalah otonomi daerah yang diperluas merupakan masalah yang baru, tentu ada hal-hal yang belum pas dan masih akan memerlukan tarik ulur antara pusat dan daerah.
Kedua, jangan sampai otonomi daerah merupakan transfer KKN dari pusat ke daerah. Hal ini penting diingatkan, karena kalau sampai terjadi maka seluruh tujuan otonomi akan kandas dan sia-sia. Artinya, praktik KKN akan lebih meruyak di Indonesia dan rakyat lagi yang akan telantarkan.
Ketiga, otonomi jangan sampai menjurus pada eksklusifisme dalam arti provinsialisme atau etnisentrisme. Maka tidak boleh sedetik pun kita lupa, bahwa otonomi harus diletakkan di dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia, sehingga setiap kali ada gejala yang mengarah ke etnisentrisme atau provinsialisme maka setiap kali pula gejala tersebut dihalau sejauh-jauhnya.
Dengan catatan seperti itu, maka saya yakin masa depan Sumatera akan lebih bagus. Terutama bila kedua UU yang diyakini sebagai resep ampuh untuk menegakkan keseimbangan pusat dan daerah, serta keadilan sosial ekonomi secara menyeluruh, bisa diterapkan secara sungguh-sungguh.
Sementara itu, ada pemandangan yang memilukan di jalanan yang saya lewati hampir di seluruh Sumatera. Di Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan sampai batas tertentu juga Sumut dan Riau. Pemandangan memilukan itu tak lain adalah iring-iringan truk bermuatan gelondongan kayu besar-besar yang mencolok mata, melewati jalan-jalan raya di Pulau Andalas itu.
Ketika saya tanyakan pada beberapa bupati, wagub maupun gubernur, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah berlangsung puluhan tahun terutama di malam hari iring-iringan truk bermuatan kayu bukan lagi berjumlah puluhan, bahkan mencapai ratusan.
Saya jadi teringat pengalaman tahun 1984, ketika saya naik mobil dari Palembang menuju Muara Enim. Hal sama sudah saya lihat pada waktu itu. Setiap saya naik halikopter di atas berbagai daerah Pulau Sumatera, pemandangannya selalu sama yaitu hutan-hutan yang hampir gundul total dan tidak tampak upaya reboisasi. Inilah barangkali cerita sedih bukan saja di Sumatera, tetapi hal yang sama kita lihat di Kalimatan, Sulawesi, dan Irian Jaya.
Perusahaan kayu pemegang HPH memang sudah gila-gilaan dalam membabat kekayaan hutan tropis kita, yang bukan hanya menyimpan kekayaan flora dan fauna, tetapi juga berbagai macam potensi obat-obatan untuk industri farmasi di seluruh dunia.
Setiap orang yang menyaksikan penggundulan hutan dan eksploitasi kekayaan hutan yang ugal-ugalan, pasti sangat geram bahkan frustasi karena hal itu sudah telanjur terjadi dan sangat sulit bahkan mustahil bisa dipulihkan kembali. Hutan kita yang kaya raya, termasuk yang di Pulau Sumatera, tinggal merupakan dongeng anak-anak yang sudah tidak ada dalam kenyataan.
Tampaknya kejadian yang sudah berlangsung tiga dasawarsa itu tidak diperbaiki pada masa Habibie, dan tidak disentuh pada masa Abdurrahman Wahid. Maka tidak aneh jika rakyat di daerah tidak sabar lagi menyaksikan dengan hati pedih kekayaan di daerahnya digotong beramai-ramai oleh kekuatan politik di Jakarta --dengan menggunakan tangan-tangan raja hutan yang sangat buas di dalam menggunduli hutan itu.
Sungguh tidak aneh bila rakyat di daerah ingin UU Otonomi Daerah bisa segera diterapkan, agar mereka dapat melindungi sisa-sisa kekayaan alam dari hutan mereka.