Melawan Ketakaburan Kekuasaan (1)
Adil - Belum lama ini saya pulang dari beberapa negara Timur Tengah, dalam rangka bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh di sana. Sebelumnya saya juga pernah melakukan kunjungan muhibah kedua negara di Timur Jauh, yaitu Jepang dan Korea Selatan. Yang menarik untuk saya ceritakan dalam kolom ini, bahwa beberapa negarawan yang sempat saya temui di Timur Tengah maupun Timur Jauh, memberikan semacam pandangan atau bahkan terselubung sebuah nasihat tidak langsung kepada Indonesia.
Almarhum Menteri Keuangan Jepang Miyazawa secara sangat akrab mengatakan pada saya, bahwa kita harus hati-hati mencermati gangguan terhadap stabilitas ekonomi dan politik Indonesia. Malahan dia mengingatkan agar kita jangan sampai terjebak ke dalam sebuah kontroversi yang kontraproduktif, yaitu saling menyalahkan antara sipil dan militer --di mana kecenderungannya pihak militer terus menerus dipojokkan sehingga akhirnya bisa kehilangan kepercayaan diri dan menjadi pihak yang sangat lemah. Padahal kita mengetahui bahwa angkatan bersenjata, di mana pun juga, merupakan tulang punggung kekuatan nasional bagi bangsa yang bersangkutan.
Secara tidak langsung saya masih ingat, bagaimanan Miyazawa mengisyaratkan supaya kita berhati-hati dengan skenario yang kurang bersahabat yang selalu dibuat oleh musuh-musuh eksternal Indonesia. Pada waktu itu saya perhatikan secara cermat berbagai masukan dari mendiang Miyazawa. Yang menarik, ketika saya bertemu dengan Crown Prince Abdullah --Pangeran Saudi yang sedang magang menjadi penguasa baru di jazirah Arab-- dia memberikan masukan yang mirip dengan apa yang dikatakan Miyazawa.
Pangeran Abdullah mengingatkan agar jangan sampai terjadi proses pelemahan terhadap kekuatan bersenjata di Indonesia, sekalipun diakui memang banyak oknumnya yang melakukan kesalahan di masa lalu bahkan mungkin juga di masa sekarang. Tetapi pesan putra mahkota Saudi itu jelas sekali, berdasarkan pengamatan dan pengalamannya mengendalikan situasi Timur Tengah yang sangat eksplosif, bahwa kekuatan militer tidak bisa tidak harus dijaga supaya tetap utuh, kuat, dan kompak untuk menghadapi musuh-musuh dari luar.
Pada kunjungan saya terakhir, saya sempat bertemu Muammar Khadafi dan tokoh-tokoh di Iran termasuk supreme leader Ayatullah Ali Khamanei. Malahan di Iran saya dengan Ketua PP Muhammadiyah Profesor Syafi'i Maarif disambut oleh tokoh-tokoh Iran, dan hampir seluruh ayatullah terkemuka di sana sempat kami temui.
Terus terang perjalanan kami selama 10 hari itu didorong oleh rasa keprihatinan yang sangat tinggi melihat perkembangan Indonesia yang semakin rawan sekarang ini. Kami ingin melakukan proses pembelajaran, bagaimana tokoh-tokoh terkemuka dunia dapat menyelamatkan negara masing-masing dari tekanan kekuatan Barat yang selalu saja mengandung watak imperialisme dan neo-kolonialisme.
Mungkin tidak perlu saya elaborasi apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh Timur Tengah itu. Tetapi jelas sekali pesan yang mereka sampaikan, bahwa Indonesia tidak boleh lengah karena kekuatan-kekuatan neo-imperialis jelas menjadikan Indonesia sebagai sasaran strategi global mereka. Kita boleh percaya atau tidak terhadap teori konspirasi atau teori komplotan Barat yang ingin menekuk-nekuk Indonesia.
Lepas dari itu, lebih baik kita melihat kenyataan yang riil. Bagaimana akhirnya Timor Timur lepas dari pangkuan republik, saya kira tidak bisa dipisahkan dari adanya kekuatan-kekuatan eksternal yang memang ingin melihat Timtim dibetot dari RI. Kita tahu bagaimana sikap politik dan diplomatik Australia yang selalu menampilkan perbedaan, antara apa yang mereka katakan dengan apa yang mereka kerjakan. Tentu dalam tataran diplomatik, Australia selalu bicara hal yang manis dan serba mengenakkan buat telinga kita. Tetapi yang mereka lakukan adalah sebuah strategi yang jelas bermuara pada pisahnya Timtim dari republik kita.
Tanpa bercerita lebih panjang tentang kekuatan eksternal yang selalu mengincar agar Indonesia dapat dirobohkan sebagai sebuah negara besar di Asia Tenggara, kita tinggal melihat apa yang terjadi di Atambua. Bagaimana mungkin tiga orang asisten atau pembantu yang bekerja untuk agen-agen PBB, ketika dibunuh oleh massa dalam sebuah kerusuhan lantas dapat menggoncangkan media massa dunia.
Sama sekali kita tidak membenarkan pembunuhan atas pegawai-pegawai PBB itu. Tetapi reaksi yang dibuat oleh kekuatan-kekuatan Barat terutama Amerika Serikat, jelas merupakan sebuah reaksi yang sudah digelembungkan secara tidak wajar dengan maksud untuk mengganggu ketenangan dan kestabilan di Indonesia.
Kita mengetahui hipokrisi kekuatan-kekuatan asing memang sudah di luar imajinasi kita. Tatkala kekuatan asing itu membunuh ratusan atau ribuan manusia di negara berkembang, mereka selalu bersikap tenang sambil bersiul-siul. Tetapi begitu ada sedikit pelanggaran HAM yang mereka terima, maka reaksi mereka seperti raksasa mabuk dan gila yang kemudian ingin menghancurkan lingkungan yang sedang dihadapinya.
Sungguh kedatangan Menhan AS William Cohen di Jakarta, yang mengumbar kata-kata ancaman kepada bangsa Indonesia, merupakan sebuah penghinaan luar biasa. Walaupun, dengan rasa sedih saya melihat sebagian besar tokoh kita, tampaknya sangat takut dengan ancaman Amerika itu. Malah langsung atau tidak, mereka telah menjadi perpanjangan tangan atau perpanjangan mulut dari kekuatan Amerika.
Mereka mencoba melakukan justifikasi atau dalih pembenaran, bahwa yang salah memang pihak Indonesia, kita memang pantas diembargo, dsb. Alangkah mengerikan dan menyedihkan --untuk tidak mengatakan menjijikkan-- sikap sementara tokoh-tokoh kita, yang mengingatkan mental inlander yang tidak punya kepribadian dan kepercayaan diri sama sekali untuk membela negaranya pada saat ancaman datang silih berganti.
Kembali pada arogansi atau ketakaburan kekuasaan yang dipertontonkan oleh kekuatan Barat, maka kita harus segera berpikir cepat dan tangkas untuk memberikan reaksi yang sepadan, penuh martabat serta harga diri. Walaupun juga dengan rasa sedih, saya melihat pemerintah kita tampaknya tidak cukup cerdas untuk menanggapi peristiwa-peristiwa yang menimpa Indonesia belakangan ini, yang memang sudah sampai pada tahapan cukup mengkhawatirkan bagi integritas teritorial kita.
Saya tidak begitu ingat, apakah pernah saya tulis di kolom ini, tentang begitu lugunya pemerintah kita, demikian mempercayai pernyataan tokoh-tokoh luar negeri secara innocent bahkan pandir, dan tidak mau memikirkan secara mendalam apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Kita boleh tersenyum geli ketika seorang tokoh pemerintahan kita mengatakan bahwa seluruh tokoh-tokoh luar negeri sudah berjanji akan menjaga keutuhan wilayah Indonesia.
Padahal, tentu kata-kata yang manis yang serba diplomatis itu, tidak boleh kita terima at face value atau seperti apa adanya. Justru yang lebih penting kita cermati adalah langkah-langkah konkret mereka di lapangan, yang ternyata tidak simpatik dan bahkan sangat tidak bersahabat dengan RI.