Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 01/03/2001
 

Gambaran yang Makin Suram

Adil - Sebagaimana diketahui, pekan lalu ada empat tokoh internasional datang ke Jakarta, memberikan nasihat pada Abdurrahman Wahid. Empat tokoh itu adalah juga tokoh-tokoh ekonomi yang sangat berpengalaman dalam mengatasi ekonomi di negara masing-masing. Dari keempat tokoh itu, saya bertemu dengan dua orang, yaitu; Paul A. Volcker dari Amerika Serikat dan mantan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Kuan Yew.

Saya mendapat kesempatan membicarakan berbagai masalah Indonesia secara santai dengan para penasihat internasional Abdurrahman Wahid itu. Dan, saya merasa bergembira karena mendapat wawasan yang cukup jelas. Tentu tidak semua pembicaraan saya dengan tokoh-tokoh tersebut, bisa dikemukakan pada kolom ini. Namun saya akan membuat beberapa catatan.

Pertama, Paul Volcker mengatakan bahwa sampai kapan pun pembangunan ekonomi Indonesia tidak akan pernah berhasil, kalau Wahid tidak pernah berani mengambil langkah-langkah tegas terhadap masalah KKN. Apalagi kalau justru pemerintahan Wahid sendiri ikut-ikutan, mengembangkan penyakit kronis yang bernama KKN.

Kedua, Volcker juga mengatakan sistem perbankkan di Indonesia betul-betul sudah sangat payah. Bila bank sentral tidak mendapatkan independensi sebagaimana layaknya bank sentral di negara-negara maju, maka perbaikan ekonomi juga akan makin jauh dari kenyataan.

Ketiga, dia juga mengatakan bahwa kepercayaan internasional merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia yang sedang dihimpit krisis ekonomi dan moneter. Memang Paul Volcker tidak mau memasuki masalah-masalah politik. Barangkali karena tidak ingin dituduh melakukan semacam intervensi.

Itulah yang dikatakan Paul kepada Abdurrahman Wahid. Dan, dalam diskusi, secara terus terang dia sangat khawatir namanya akan ikut belepotan bila rezim Abdurrahman Wahid akhirnya memang harus turun. Secara demikian, nama Volcker juga akan masuk ke dalam catatan kegagalan tersebut.

Lebih menarik lagi apa yang diungkapkan Lee Kuan Yew. Saya betul-betul merasakan telah memperoleh pengetahuan kenegarawanan, walaupun cuma sedikit --karena Lee memang telah diakui oleh internasional sebagai negarawan senior yang sangat berhasil di kawasan Asia.

Saya gembira karena telah terjadi exchange atau tukar pikiran secara terbuka, tanpa tedeng aling-aling, antara pihak saya dengan Lee Kuan Yew yang didampingi dua orang menteri Singapura dan Dubes Singapura di Indonesia.

Ketika saya tanyakan bagaimana persepsi Singapura terhadap Indonesia, maka dengan hati-hati Lee mengatakan Singapura merasa nervous bahkan sedikit panik melihat Indonesia yang kian tidak menentu. Dia juga mengatakan kekecewaan yang sangat besar, karena ketika Abdurrahman Wahid dipercayai oleh rakyat lewat mandat MPR untuk menjadi pemimpin bangsa Indonesia, maka harapan yang sangat tinggi itu betul-betul datang dari berbagai pihak mancanegara --termasuk mestinya Singapura sendiri.

Tetapi alangkah kecewanya, kata Lee Kuan Yew, ketika dia melihat ternyata kesempatan emas itu telah disia-siakan oleh Abdurrahman Wahid. Memang jarang seorang pemimpin, ketika dilantik sebagai presiden, pada hari pertama telah mendapatkan kepercayaan demikian kuat baik dalam maupun luar negeri.

Tidak banyak pemimpin yang beruntung seperti Wahid, karena pada hari pertama dia masuk ke Istana Negara, dia mendapat dukungan yang sangat kuat. Lagi-lagi dari dalam dan luar negeri. Sekarang dukungan itu sudah meleleh habis, sehingga inilah yang dikecewakan oleh pihak Singapura.

Namun ada juga nasihat tokoh kawakan itu kepada kita, bahwa sebaiknya perubahan pemerintahan yang kemungkinan besar akan segera terjadi di Indonesia, jangan sampai melewati proses di luar lembaga resmi yakni DPR/MPR. Malahan ada kritik Mr. Lee terhadap model people power di Filipina, karena untuk konteks Filipina barangkali masih tepat, namun jelas tidak tepat untuk konteks Indonesia.

Lee Kuan Yew mengingatkan bahwa Indonesia jauh lebih majemuk dibanding Filipina. Skala masalah yang dihadapi Indonesia lebih besar dan lebih kompleks, dibandingkan dengan ukuran masalah yang dihadapi rakyat Filipina. Dia mengatakan, jangan sampai ada kebiasaan mengganti pemerintahan dengan pengerahan massa di jalanan, karena bisa-bisa Indonesia menjadi banana republic, seperti negara-negara Amerika Latin yang tidak pernah menikmati stabilitas politik dan --karena itu juga-- tidak pernah menikmati kemakmuran ekonomi.

Dengan sedikit mencuplik pendapat tokoh-tokoh internasional itu, saya sendiri melihat gambaran mendatang memang agak suram, dan hal ini tidak boleh terlalu lama. Memang setelah dilepaskannya memorandum pertama DPR, situasi politik memang sudah menjadi sangat labil. Artinya, rakyat merasa sedikit banyak kurang sabar untuk melihat pemerintahan yang baru. Padahal kita harus menunggu waktu 3 atau 4 bulan lagi, agar terjadi Sidang Istimewa MPR.

Di pihak pemerintah sendiri, kelihatan kepanikan yang cukup meluas. Bagaimana simpang siur berita mengenai reshuffle kabinet, itu menunjukkan bahwa dengan kabinet yang ada sekarang ini hampir mustahil pemerintahan Wahid sanggup memiliki survival atau daya hidup yang lebih lama.

Sementara untuk reshuffle, sejauh yang saya ketahui, seluruh pimpinan partai-partai besar sudah mengatakan no. Mereka tidak berminat lagi melakukan semacam dagang sapi dengan Abdurrahman Wahid, karena dagang sapi model Wahid biasanya tidak didasarkan pada ketulusan dan wawasan jangka panjang. Saya telah menerima keterangan dari tokoh-tokoh puncak partai-partai politik besar, tidak ada satu pun mereka yang berminat untuk ikut bergabung dengan kabinet yang akan di-reshuffle nanti.

Oleh karena itu, saya prihatin bahwa gambaran mendatang bukannya makin cerah melainkan semakin suram. Belum lagi kalau kita ingat bagaimana IMF telah mengambil posisi yang tegas, yaitu tidak akan mengucurkan dana baru sama sekali, kecuali kalau cadangan devisa kita yang berjumlah sekitar 28 miliar dolar AS sudah habis. Tentu kata-kata IMF ini menunjukkan bahwa IMF sudah tidak berminat lagi untuk ikut-ikut mengurusi perbaikan ekonomi Indonesia, karena untuk kesekian kalinya IMF merasa dipecundangi oleh pemerintahan Wahid.

Maka saya hanya bisa mengatakan, bahwa yang kita kerjakan sekarang ini adalah mengedepankan kesabaran. Kita jangan sampai terjebak untuk melakukan proses perubahan pemerintahan secara tergesa-gesa. Saya sendiri pernah merancangkan sebuah proses percepatan Sidang Istimewa. Tetapi saya betul-betul menyadari, kalau memang tidak ada landasan konstitusionalnya, maka lebih baik kita melupakan percepatan SI itu karena hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru.

Dengan demikian potret yang kita lihat sekarang ini adalah: bangsa Indonesia menunggu memorandum kedua dengan hati agak berdebar. Kemudian kalau citerus paribus, dalam arti tidak ada goncangan politik di luar perhitungan kita semua, maka tentunya akan ada memorandum kedua pada awal 1 Mei mendatang. Sebulan kemudian, barulah MPR diminta menggelar Sidang Istimewa.

Kalau skenario konstitusional ini bisa berjalan secara alami, dan memang sudah disepakati oleh tokoh-tokoh politik di negeri ini, maka insya Allah gambaran suram yang masih menyelimuti kita pelan-pelan bisa kita hilangkan, lewat proses SI yang lebih berkesadaran untuk pentingnya kebersamaan, ketekunan kerja, dan pemberantasan KKN.
Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq