Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 29/03/2001
 

Menanti Lahirnya Memorandum II

Adil - Di dalam berbagai polemik yang diikuti para politisi maupun pengamat politik, tampak sekali masalah yang paling diminati adalah wacana Sidang Istimewa MPR. Malahan kalau kita melihat dalam sepekan terakhir, demo-demo besar yang digelar di Jakarta yang berpuncak pada tanggal 12 Maret, jelas sekali mencuatkan kehendak sebagian mahasiswa dan rakyat Indonesia supaya SI-MPR segera digelar untuk mengakhiri kemelut kehidupan nasional.

Saya sendiri merasakan begitu banyak tamu-tamu dari berbagai lapisan yang datang ke Gedung DPR/MPR membawa pesan yang sama, yaitu agar segera saja digelar Sidang Istimewa. Rupanya di banyak kepala masyarakat, SI-MPR diyakini sebagai obat mujarab atau jalan keluar yang tepat untuk mengakhiri kemelut nasional lewat pergantian kepemimpinan nasional.

Hanya saja, dalam hal ini banyak orang lupa, bahwa untuk menggelar SI-MPR ternyata diperlukan proses yang tidak gampang. Dan, andai kata pun akan dipercepat selalu diperlukan landasan konstitusional. Saya menyaksikan, bagaimana para wakil rakyat di DPR/MPR bolak-balik membuka berbagai macam ketetapan MPR serta tata tertib MPR, untuk mencari pintu agar bisa digelar sebuah SI-MPR guna meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.

Sementara ini tampaknya ada tiga wacana yang berkembang di panggung nasional. Pertama, adalah wacana memorandum sebagaimana yang telah disepakati DPR dalam Sidang Paripurna tanggal 1 Februari 2001, di mana proses menuju SI-MPR akan melewati dua buah memorandum serta sebuah surat permintaan DPR kepada MPR untuk menggelar Sidang Istimewa.

Wacana pertama ini jelas disepakati oleh hampir seluruh fraksi di MPR, dan tidak ada yang dapat membantah tentang wacana yang memang sangat jelas diatur oleh Ketetapan MPR Nomor 3 Tahun 1978. Hanya saja perlu dicatat, ada risiko politik dari wacana pertama ini, yaitu keadaan yang tidak menentu bisa berkepanjangan, kehidupan sosial-politik ekonomi bisa saja goyah semakin sering, dan keamanan mungkin semakin tidak terjamin.

Wacana kedua, yaitu pengunduran diri Presiden Abdurrahman Wahid. Wacana ini dianggap paling murah, tidak banyak risiko, dan cukup bermartabat, karena kalau Wahid mau mengundurkan diri secara kesatria maka dia akan dinilai sebagai tokoh yang berjiwa besar dan mau mengakui kesalahan.

Akan tetapi kita mengetahui, sampai detik ini tidak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa Wahid bersedia mengundurkan diri, sekalipun di berbagai daerah protes yang sangat meluas terhadap kepemimpinannya sudah digelar berkali-kali. Tentu lagi-lagi puncaknya adalah ribuan atau puluhan ribu mahasiswa yang mengepung Istana dan Bina Graha pada tanggal 12 Maret lalu, yang meminta Wahid mundur. Tetapi karena wacana yang kedua ini tidak cocok dengan kenyataan --di mana Wahid masih bersikukuh untuk bertahan, maka sebaiknya sementara dilupakan saja.

Kemudian wacana ketiga, adalah Sidang Istimewa yang bisa digelar melalui jalur nonmemorandum. Di sinilah saya kira letak dilema, oleh karena ada sebagian fraksi yang menganggap bahwa MPR tanpa persetujuan DPR bisa dengan sendirinya mengundang SI berdasarkan pasal-pasal tertentu dalam Tata Tertib MPR.

Tetapi ada pula fraksi-fraksi yang mengatakan, bahwa pasal-pasal tersebut sangat kontroversial dan tidak bisa digunakan untuk mengundang Sidang Istimewa. Maka setelah dibolak-balik, kita tetap saja kembali ke wacana pertama, yang memang tidak menimbulkan kontroversi dan di masa depan tidak akan menimbulkan buntut masalah yang berkepanjangan.

Saya sendiri melihat bahwa mungkin ada hikmahnya kita berpegang teguh pada wacana pertama, yang SI-MPR melalui tahapan-tahapan memorandum. Mengapa saya berpendapat demikian? Karena tampaknya diperlukan persiapan mental bagi para pendukung fanatik Abdurrahman Wahid, untuk melihat bahwa suatu ketika Gus Dur harus lengser dan digantikan oleh tokoh baru --dalam hal ini tentu Wapres Megawati Soekarnoputri.

Sementara ini, hampir seluruh perkembangan politik nasional sudah mendukung secara meyakinkan perlunya dilepaskan memorandum kedua. Lihat saja, kasus keamanan yang demikian terpuruk seperti kita saksikan di Sampit dan Palangkaraya beberapa waktu terakhir. Ratusan nyawa anak-anak bangsa yang hilang percuma --bahkan dengan cara-cara sangat mengerikan yaitu terpenggalnya kepala dari badan-- tentu merupakan kejahatan yang jauh lebih ganas daripada sekadar skandal Bruneigate dan Buloggate.

Namun bisa juga ditambahkan, bahwa ternyata ada Garudagate yaitu kasus penyalahgunaan uang 300 ribu dolar AS untuk keperluan haji Abdurrahman Wahid, keluarga dan kerabatnya, yang tampaknya sulit dipertanggungjawabkan. Dan, tentu masih banyak sekali catatan-catatan yang bisa dikemukakan oleh para wakil rakyat di DPR, untuk memperkuat kemunculan memorandum kedua.

Akhirnya saya ingin membuat prediksi sederhana, bahwa kalau memorandum kedua --insya Allah-- telah dikeluarkan oleh DPR, memang hari-hari terakhir Abdurrahman Wahid tinggal bisa dihitung dengan hitungan minggu atau pekan. Dalam kaitan inilah perlu diingatkan, bahwa sesungguhnya para pendukung fanatik Gus Dur tidak usah terlampau membuat angan-angan yang terlalu tinggi, karena proses demokrasi di DPR/MPR sudah demikian terang benderang. Dan, sesungguhnya hikmah dari wacana memorandum cukup banyak, karena semua partai politik sudah bersiap-siap secara mental dan psikologis untuk menyambut datangnya pergantian kepemimpinan nasional.

Tetapi lebih daripada segalanya, para pendukung fanatik Abdurrahman Wahid yang sekarang ini masih saja melakukan aksi-aksi destruktif, diharapkan pelan-pelan bisa mengurangi aksi-aksinya untuk sampai pada Sidang Istimewa MPR yang memang sudah dinanti-nantikan oleh rakyat Indonesia.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq