Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | CHAT | i-GUIDE
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Tajuk | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 12/04/2001
 

Bahaya Politisasi Agama

Adil - Seringkali kita mendengar atau membaca bahwa agama pada hakikatnya merupakan kumpulan wahyu Ilahi, yang dijadikan oleh para pemeluknya sebagai pedoman moral dan panduan etik untuk memayungi masalah-masalah keduniaan. Sebagai kumpulan wahyu, agama memiliki kebenaran mutlak dan bukan kebenaran relatif atau kebenaran nisbi sebagaimana halnya pikirian-pikiran yang muncul dari otak manusia.

Maka tidak berlebihan apabila agama menjadi urusan yang paling puncak, atau meminjam istilah asing merupakan the ultimate concern. Khususnya agama-agama samawi yaitu agama Yahudi, Nasrani dan Islam, jelas sekali mengajarkan bahwa wahyu-wahyu yang datang dari langit itu hendaknya dijadikan pedoman hidup, supaya umat manusia yang memeluk agama-agama samawi itu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa kedudukan agama sangat tinggi dan menjadi sumber kebenaran, sumber moralitas dan etik, yang dikembangkan oleh umat manusia. Namun di sinilah seringkali para pengikut agama wahyu mudah terjebak, karena pertimbangan-pertimbangan keduniaan atau politik praktis. Dalam Al-Qur'an, Allah mengingatkan hendaknya kaum beriman tidak menjual murah ayat-ayat Allah dengan imbalan keduniaan yang remeh. Ini berarti, tidak diperbolehkan seorang beriman atau apalagi agamawan mengeksploitasi ayat-ayat Tuhan maupun --dalam konteks Islam-- hadis Nabi, menjadi sekadar wahana untuk mencapai kepentingan praktis keduniaan.

Dalam sejarah memang pernah terjadi di dunia Barat, bagaimana agama Nasrani mendominasi kehidupan keduniaan baik di bidang sosial dan politik, sehingga agama begitu mudah dieksploitasi oleh masyarakat Barat pada abad pertengahan itu. Ternyata hasil akhirnya merupakan pelecehan terhadap agama itu sendiri, karena agama telah dieksploitasi sebegitu jauh disertai dengan nafsu kekuasaan.

Sebagai reaksi terhadap pelecehan dan penyalahgunaan agama itu, muncullah zaman sekularisme yang ingin memisahkan secara total antara agama dan politik, sehingga berlaku sebuah rumus: apa yang menjadi hak kaisar kembalikanlah kepada kaisar, apa yang menjadi hak Tuhan kembalikan kepada Tuhan. Dan, sebagaimana kita ketahui, sekularisme itu pun kemudian memunculkan suatu bahaya baru karena agama sebagai sendi-sendi moral telah dicampakkan jauh-jauh di dalam kehidupan politik manusia Barat kala itu.

Menarik untuk dicermati bahwa di kalangan Islam ada juga kemungkinan penyalahgunaan agama wahyu, dengan cara dipelintir dan ditekuk-tekuk untuk mencapai tujuan praktis jarak pendek. Tentu yang relevan dengan pembicaraan kita kali ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian ulama NU. Saya ulangi "oleh sebagian ulama NU", tidak semuanya, karena kita melihat cukup banyak ulama NU yang menyadari betapa agama tidak boleh dipelesetkan maupun ditekuk-tekuk hanya sekadar untuk memenuhi ambisi politik seseorang.

Menurut Imam Ghazali yang sering dijuluki hujjatul Islam, ada dua kategori ulama. Yang pertama disebut ulama Al-syuk, yaitu ulama jahat yang telah mensubordinasikan kepentingan agama di bawah kepentingan keduniaan dan tentu manifestasinya cukup jelas. Manifestasi dari pekerjaan ulama al-syuk adalah selalu menjual ayat dengan murah, dan mencarikan justifikasi atau rasionalisasi atau pembenaran murahan dengan mengambil dalil-dalil agama maupun logika tertentu, agar tujuan politik penguasa dapat dicapai walaupun dengan risiko pembodohan masyarakat.

Sementara itu ada kategori yang lain ulama al-khair, yakni ulama kebajikan yang sangat hati-hati di dalam menerapkan ijtihad dan tidak pernah gegabah untuk mengeksploitasi atau menyalahgunakan agama dengan cara mensubordinasikan di bawah kepentingan praktis politik keduniaan.

Apa yang diberitakan media massa hari-hari belakangan ini sungguh membuat cemas bagi orang yang menyadari bahaya eksploitasi agama. Diterangkan misalnya, menurut fikih para penentang kekuasaan dicap sebagai bughot atau pemberontak sehingga layak dibasmi. Mereka lupa bahwa ada hadis yang lebih kuat lagi, yang mengatakan bahwa tidak wajib taat kepada seorang makhluk apabila dia menentang atau bermaksiat kepada Sang Khalik. Artinya, penguasa yang korup, zalim, dan membelakangi kebenaran serta keadilan, justru harus diturunkan.

Tetapi baiklah kita tidak akan berdebat mengenai hadis yang terakhir di atas. Tetapi jelas sekali bahwa kita tidak bisa membuat analogi berbahaya, bahwa penentang Abdurrahman Wahid lantas mendapat cap bughot yang pantas diperangi dan bahkan dibasmi. Ini jelas merupakan sebuah eksploitasi dan penyalahgunaan agama, oleh karena Indonesia bukan negara syariat. Namun yang lebih gawat lagi, ternyata fatwa bughot itu intinya hanya untuk mempertahankan kekuasaan seseorang. Apabila hal ini sampai difatwakan dengan mem-bughot-kan para penentang rezim Abdurrahman Wahid, maka akan terjadi implikasi yang sangat jauh.

Pertama, di mata masyarakat akan terdapat sebuah citra bagaimana Islam telah ditekuk-tekuk oleh para ulamanya untuk mengabdi kepentingan yang sempit dan picik. Kedua, di mata orang-orang nonmuslim, citra Islam tentu akan sangat jatuh karena mereka akan mencibir bahwa ternyata para ulama dengan mudah menjual beli ayat-ayat Qur'an untuk kepentingan keduniaan. Ketiga, yang tak kalah gawatnya, tentu untuk memperbaiki citra Islam dan umatnya akibat penyalahgunaan agama itu mungkin diperlukan beberapa generasi. Itu pun belum tentu bisa sembuh sama sekali.

Karena itu, saya pernah dalam suatu kesempatan meminta agar ulama NU Muhammadiyah, DDI, Al-Irsyad, Perti, MUI, dll. superhati-hati tatkala mereka membicarakan masalah bughot. Apalagi kemudian mencari dalih-dalih Qur'an dan hadis hanya sekadar untuk mempertahankan sebuah kekuasaan.

Sesungguhnya di dalam sorotan Qur'an sendiri, kekuasaan itu memang hak milik Allah yang dititipkan sementara pada hamba-hamba-Nya dan dapat ditarik kembali sesuai kehendak-Nya. Demikian juga Allah berkehendak untuk memuliakan seorang hamba-Nya. Tapi Allah juga mampu menistakan hamba itu sesuai kehendak-Nya, karena Tuhan Mahakuasa atas segala sesuatu.

Alhamdulillah, perlu kita ucapkan syukur, ternyata fatwa pem-bughot-an memang tidak keluar. Ini tentu berkat kepiawaian dan wawasan jangka jauh dari sebagian ulama NU yang memang sejatinya ulama yang dapat diandalkan. Bayangkan andai kata ulama-ulama NU semuanya lupa diri, kemudian terseret oleh arus kekuasaan. Kita bisa membayangkan akibat yang berbahaya buat umat Islam Indonesia maupun buat bangsa pada umumnya. Oleh karena itu kita benar-benar lega, pada akhirnya PB NU mengatakan soal seputar bughot hanyalah semacan wacana keagamaan, dan tidak ada kaitannya dengan pembangunan demokrasi modern seperti yang kita idamkan bersama.

Akhirnya, marilah kita bersama-sama belajar menjadi lebih arif lagi dan memegang agama sesuai dengan kehendak agama itu sendiri. Janganlah sesuatu yang bersangkutan dengan urusan ultima atau urusan puncak dari seluruh kemanusiaan kita, dengan gampangnya kita banting jatuh di bawah kepentingan politik praktis --yang dalam sorotan agama itu sendiri hanyalah urusan remeh yang tidak ada artinya. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Masalah Utama Tahun 2001 | Otda, Sebuah Taruhan | Kita Memang Lemah | Jangan Kehilangan Harapan | Belajar dari Kejatuhan Estrada | Tragedi Abdurrahman Wahid | Jangan Memperumit Proses Politik | Gambaran yang Makin Suram | Tragedi Sampit dan Keputusasaan Masyarakat | Rahasia Sukses Pemimpin | Menanti Lahirnya Memorandum II | Aceh Bukti Kegagalan Gus Dur | Memorandum dan Kompromi Politik | Bahaya Politisasi Agama | Perlukah Pertemuan Empat Tokoh? | Menegakkan Moral Demokrasi | Yang Kita Kelola adalah Negara | Ujian Berat Megawati | Mempertahankan Kredibilitas | Dana Hibah yang Menghebohkan | Hikmah di Balik Pemboman New York dan Washington | Kita Semua Prihatin | Terpulang kepada Kita Sendiri | Benarkah Kita Mengumpulkan Kepentingan Bangsa?

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq