Yang Kita Kelola adalah Negara
Adil - Bila kita perhatikan secara teliti dengan pandangan yang jernih, maka pengelolaan negara selama rezim Abdurrahman Wahid bisa dikatakan jauh dari profesionalisme dan akuntabilitas (rasa tanggung jawab). Terlalu banyak contoh yang dapat dikemukakan, bahwa dalam 20 bulan terakhir ini Indonesia di bawah pemerintahan Wahid memang menjadi sebuah negara yang telah kehilangan masa depan.
Mengelola negara bagi Wahid tampaknya tidak lebih dari mengelola sebuah pondok pesantren. Bahkan lebih mudah dari itu, barangkali layaknya mengelola sebuah warung Tegal di pinggir jalan. Saya sadar bahwa banyak orang tidak sependapat dengan penilaian saya ini. Namun kalau kita teropong secara serius dan jujur, kesimpulan kita tidak bisa tidak akan kurang lebih sama dengan pandangan saya; yaitu telah terjadi pengelolaan negara secara tidak bertanggung jawab, tidak serius, dan tanpa visi sama sekali.
Bagaimana gonta-ganti menteri kabinet yang telah dilakukan Wahid, bagaimana dia menyikapi setiap kritik dengan begitu entengnya, semua itu menunjukkan bahwa memang tidak ada sense of responsibility dan sense of accountability di pihak Abdurrahman Wahid. Pameo bahwa menempatkan seseorang pada sebuah posisi haruslah mengingat keahlian dan latar belakang kemampuan, dan bahwa meritokrasi merupakan resep mujarab dalam sebuah negara modern, tampaknya sudah sangat jauh dicampakkan dalam pikiran Presiden Wahid.
Belum lagi kalau kita bicara hal-hal yang menyangkut kode etik kenegaraan atau kode moral pemerintahan, di mana harus selalu ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Tetapi lagi-lagi dalam hal ini negara dikelola seolah-olah tanpa kode etik dan kode moral. Jadi memang yang kita lihat sekarang ini adalah hasil akhir daripada pengelolaan negara yang tidak bertanggung jawab, yang dalam istilah lain disebut serba mismanajemen dan salah urus.
Dalam kaitan itu, ada satu hal yang juga cukup memprihatinkan di mana para politisi kita tampaknya tidak mau berbicara pada masalah-masalah yang esensial, masalah yang betul-betul substantif dan mengena jantung persoalan. Lihatlah, betapa mudahnya para politisi kita berkompromi hanya untuk menyelamatkan kepentingan sesaat, kepentingan satu-dua tahun, sekalipun dalam hakikatnya mereka sedang mengorbankan kepentingan jangka panjang dari nasib bangsa dan negara Indonesia.
Kadang-kadang orang luar negeri tidak habis pikir, bagaimana negara sebesar Indonesia dikelola dengan metode oral dan tanpa planning yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritik kalangan asing tentu lebih objektif, karena mereka tidak punya kepentingan yang sifatnya build in atau menyatu di dalam menilai masa depan bangsa Indoensia. Kalau penilaian semacam itu disampaikan oleh sementara pakar atau politisi kita yang masih punya integritas, maka bisa dikatakan mengandung subjektifitas, ada bias politik dan segala macam hal yang seolah-olah menurunkan derajat keobjektifan pandangan orang-orang di dalam negeri itu.
Sesungguhnya sudah tidak kurang bukti apapun untuk sampai pada kesimpulan, bahwa negeri yang kita sangat cintai ini telah dikelola dengan cara-cara yang berbahaya dan mengandung risiko yang bisa membangkrutkan masa depan Indonesia sendiri. Berbagai lembaga penelitian internasional yang objektif dan independen, telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang sangat korup di muka bumi. Demikian juga kalau bicara tentang potensi SDM, maka urutan kita telah diletakkan di bagian paling bawah.
Kemudian juga bagaimana kita telah kehilangan peran sebagai negara utama. Bukan saja di kawasan Asia, bahkan di Asia Tenggara pun kita tidak lagi begitu berperan gara-gara pengelolaan politik luar negeri maupun dalam negeri yang amburadul.
Dan, yang tidak boleh dilupakan, kalau kita mau jujur, dalam 15 bulan terakhir ini hampir seluruh energi para wakil rakyat, hampir seluruh energi para wartawan, hampir seluruh waktu dan kemampuan para pakar dari kampus maupun luar kampus, dan bahkan bisa dikatakan hampir sebagian besar energi nasional dihabiskan hanya untuk meladeni berbagai macam perilaku politik abnormal yang telah ditampilkan oleh Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Secara demikian, kita memang harus punya tekad yang bulat, setelah SI-MPR pengelolaan negara harus kita kembalikan kepada sistem yang benar, kepada kode etik yang secara universal dapat dibenarkan, dan tentu harus diorientasikan sepenuhnya kepada kepentingan rakyat banyak.
Kekuasaan sebagai sebuah tanggung jawab dan amanah yang kemarin dicampakkan oleh rezim Wahid, harus kita kembalikan lagi kepada proporsi yang sebenarnya. Para petinggi yang akan mengelola roda pemerintahan sebaiknya memang dipilih dari orang-orang yang punya profesionalisme, mau bekerja keras, sanggup berkorban, dan betul-betul berorientasi kepada rakyat banyak.
Janganlah pengalaman pada masa Orde Baru dan pada masa transisi di zaman Abdurrahman Wahid, sampai terulang kembali sehingga kita secara perlahan tapi pasti sedang membangkrutkan diri kita sendiri. Harapan yang seperti ini, saya kira merupakan harapan dari seluruh rakyat Indonesia. Dan, dalam kaitan ini memang tanggung jawab yang paling puncak, juga terletak pada para pemimpin yang menduduki jabatan strategis yang akan menentukan corak dan masa depan bangsa kita di masa mendatang.
Kita belajar dari pengelolaan negara-negara modern seperti di Kanada, Amerika, negara-negara Eropa, Jepang dll. di mana pada hakikatnya semua pengelolaan negara itu menomorsatukan kepentingan nasional di atas kepentingan kelompok dan kepentingan golongan. Merupakan satu hal yang tabu, kalau ada seorang perdana menteri atau presiden yang telah melakukan skandal politik, skandal seksual, maupun skandal administratif yang bertentangan dengan amanah yang dibebankan di atas pundaknya, masih saja bercokol sampai begitu lama.
Di negara-negara lain, saya kira ketika Abdurrahman Wahid kena Memorandun I maka otomatis dia sudah mengundurkan diri dengan legawa, dan tidak perlu memperpanjang kesengsaraan rakyat seperti yang kita alami sekarang. Tetapi beginilah nasib bangsa kita, yang masih harus belajar berdemokrasi secara sungguh-sungguh namun tampaknya tidak cerdas dalam menangkap pelajaran demokrasi, dan sebagian besar pemimpinnya menunjukkan kebebalan serta tiada kemauan untuk memahami demokrasi dalam arti kata yang sebenarnya.
Walaupun demikian, sebuah bangsa, sekelompok umat, maupun seorang individu, hanya bisa membangun masa depan masing-masing kalau masih punya harapan. Harapan hakikatnya merupakan pelita yang tidak pernah padam yang menjadi pembimbing buat individu, umat maupun bangsa untuk menapakkan kakinnya menuju masa depan. Karena itu, selama kita tidak patah semangat atau putus harapan, maka selama itu pula --saya yakin- setapak demi setapak kita dapat bangkit kembali dari kesalahan fatal kita selama ini. Kita bisa keluar dari keterpurukan yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang sering dicemooh oleh kalangan internasional.
Tentu dengan membaca bismillahirrahmanirrahim dan dengan kebersamaan, setelah SI-MPR nanti kita menegakkan kepala, bekerja sama menyongsong masa depan dengan optimisme dan mengharap rida Ilahi.