Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

BERITA | MEMBERS |FREE E-MAIL | KOMUNITAS | DETIKPLUS
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 28/2/2002
 

Di Mana Letak Kesalahan Kita?


Adil - Solo, Salah satu pekerjaan Ketua MPR adalah menerima tamu hampir setiap hari kerja. Tentu tamu-tamu yang datang ke MPR sangat beragam. Sejak dari pimpinan serikat buruh sampai jenderal TNI. Sejak dari aktivis mahasiswa sampai pengusaha kecil dan menengah. Sejak dari pedagang asongan sampai ulama dan rohaniwan dst. Namun akhir-akhir ini saya merasakan makin banyak tamu-tamu yang datang kepada saya, mengeluhkan nasib masing-masing dalam menghadapi masa depan yang semakin kurang membuat optimis. Misalnya, ada aktivis buruh yang mengatakan kalau sebagai orang lemah mereka merasa kurang mendapat perhatian dari pemerintah, dan ada kesan pemerintah lebih memihak pada kaum majikan atau mereka yang kuat ekonominya.

Lantas datang kepada saya beberapa tokoh usaha kecil menengah yang mengeluh bahwa sebagian dari teman-teman mereka telah mendapat perlakuan hukum sangat keras. Sebagian pabriknya sudah ditutup dan disita sebagai jaminan. Bahkan tidak sedikit rumah-rumah para pengusaha itu telah disita karena tidak dapat mengembalikan utang kepada bank. Juga datang tokoh-tokoh dari asosiasi petani tebu Indonesia yang mengeluh karena pemerintah tidak mau menghentikan impor gula asing yang sangat murah, yang mengancam eksistensi pabrik-pabrik gula di Indonesia maupun terutama nasib para petani tebu umumnya. Mereka mengeluh, akibat kongkalingkong antara penyelundup gula murah dari luar negeri dengan sebagian penguasa dan aparat keamanan kita, maka kehancuran petani tebu sudah di ambang mata mereka.

Juga ada keluhan dari para peternak ayam yang sekarang ini betul-betul sangat mengkhawatirkan masa depannya, karena mereka mendengar impor paha ayam akan diizinkan lagi. Sementara ketika beberapa bulan paha ayam impor masuk ke Indonesia, harga ayam menjadi anjlok dan banyak peternak ayam sudah gulung tikar. Mereka sekarang bisa bangkit kembali, namun lantas mendengar berita buruk bahwa impor paha ayam akan dimulai lagi. Pada pokoknya diberitahukan kepada saya bahwa paha ayam dari Amerika hanya puluhan sen saja, sehingga ketika dimasukkan ke Indonesia harganya sangat murah dan mustahil para peternak ayam kita dapat bertahan menghadapi saingan itu.

Tentu kita juga mengetahui gonjang-ganjing PT Semen Padang dan Semen Tonasa yang meminta supaya masing-masing pabrik semen itu dikelola langsung oleh pemerintah daerah setempat --dipisahkan dari PT Semen Gresik-- karena rencana pemerintah untuk menjual PT Semen Gresik itu ke Cemex, sebuah perusahaan asing yang tentu akan mengangkangi saham mayoritas pabrik-pabrik semen apabila rencana pemerintah itu betul-betul bisa terlaksana. Tidak usah disebutkan lagi, bagaimana akhir-akhir ini media massa memotret rencana penjualan BCA ke Standard Charter Bank yang kata banyak orang berarti pihak asing akan mempunyai tangan kuat sekali untuk memegang aset BCA, untuk kerugian bangsa kita dan keuntungan mereka sendiri.

Hal-hal seperti ini memang hampir tidak terbatas jumlahnya. Tidak kurang dari seorang menteri kabinet mengungkapkan kepada saya, bahwa sesungguhnya untuk mensuplai peralatan sinyal KA buatan dalam negeri yang diperlukan oleh Departemen Perhubungan, para pengusaha Indonesia sebetulnya lebih dari mampu untuk mensuplai barang-barang tersebut. Tetapi ternyata Dephub sendiri sudah memesan dari luar negeri. Menteri yang sama juga mengatakan pada saya bahwa Departemen Pertanian sudah memesan puluhan ribu cangkul dari RRC, sementara dalam negeri sendiri sudah mampu membuat pacul yang sama dengan kualitas cukup bagus. Hal-hal seperti di atas mendorong kita bertanya, di mana letak kesalahan dari kebijakan-kebijakan yang tidak prorakyat itu? Di mana letak kesalahan dari kebijakan-kebijakan yang tidak probangsa Indonesia itu? Maka jawabannya dengan mudah bisa kita berikan, bahwa letak kesalahannya adalah pada kebijakan dasar yang diambil oleh pemerintah sekarang, yang memang tidak membela wong cilik dan tidak peduli kepada nasib rakyat, tetapi lebih mengunggulkan kepentingan kaum konglomerat atau kepentingan asing karena perhitungan-perhitungan keuntungan jangka pendek.

Saya tentu sangat paham bahwa dalam memasuki era globalisasi dan liberalisasi kita harus mempunyai sebuah konglomerasi yang kuat, supaya kemampuan kompetitif dapat diandalkan di dalam persaingan internasional. Tetapi kalau kemudian seluruh konsentrasi dan pikiran pemerintah hanya untuk membela kaum konglomerat seperti rencana perpanjangan utang-utang konglomerat hitam yang meliputi ratusan triliun rupiah untuk sepuluh tahun mendatang, maka kita semua bertanya apakah pemerintah memang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti terhadap nasib bangsanya sendiri. Belum lagi kita kemarin membaca di koran bagaimana Menteri Rini Soewandi membuat instruksi untuk menghentikan penjualan pasir dari Riau ke Singapura. Saya mendapatkan informasi bahwa Singapura berhasil mereklamasi pantai-pantainya sampai lebih 180 km persegi, dengan mendatangkan pasir-pasir dari kepulauan Riau. Jadi kalau ada istilah kita telah menggadaikan atau bahkan menjual Tanah Air kita kepada Singapura, hal ini bukan omongan kosong. Memang kita telah menjual tanah kita, pasir kita, ke Singapura. Dan, tentu juga air kita dari Pulau Bintan dan lain-lain ke Kota Singa itu.

Secara demikian memang kita semua harus berpikir jernih tetapi sekaligus mantap dan tegas, untuk secara perlahan tapi pasti mengubah kebijakan dasar ekonomi kita yang tidak prorakyat, tidak prowong cilik, tidak probangsa Indonesia sendiri, ke arah yang lebih positif yaitu mengunggulkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Tampaknya kita sekarang berlomba dengan waktu. Terus terang saya terlalu sering mendengar pertanyaan orang, mampukah pemerintah ini survive, bisa lestari sampai 2004. Jawaban standar saya adalah, kami-kami ini sudah punya semacam konsensus tidak tertulis bahwa pemerintah sekarang ini harus survive sampai tahun 2004. Cuma masalahnya, kita juga minta kepada pemerintah agar garansi politik yang demikian mulia dan luhur itu jangan disalah-mengertikan sebagai sebuah cek kosong, yang lantas pemerintah bisa berbuat semena-mena untuk melukai kepentingan bangsa, untuk mencederai kepentingan nasional itu sendiri.

Saya sering kali tidur menjadi kurang nyenyak, kalau melihat perkembangan kehidupan bangsa kita sekarang ini. Dulu Bung Karno jauh sebelum ada era globalisasi dan liberalisasi, pernah mewanti-wanti bangsa Indonesia supaya tidak menjadi a nation of coolies among nations, supaya kita jangan menjadi bangsa kuli dan menjadi kuli di tengah bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tampaknya kekhawatiran Bung Karno itu sekarang, sadar atau tidak, sedang kita kerjakan secara bertahap. Karena itu, lewat kolom sederhana ini saya ingin menggugah kesadaran kita semua, bahwa sekarang ini kita betul-betul dalam perkembangan kehidupan bangsa yang sangat mengkhawatirkan. Saya katakan, letak kesalahannya adalah pada kebijakan dasar dari pemerintah yang memang tidak ngeh, tidak membela kepentingan wong cilik.

Seorang direktur bank pemerintah menceritakan pada saya, ketika dia menanyakan bagaimana kebijakan pemerintah apakah kredit perumahan rakyat tidak dihidupkan lagi. Padahal kalau KPR dihidupkan lagi akan menggerakkan ratusan ribu tukang batu, tukang kayu, kuli bangunan, juga industri pabrik genteng, pabrik bata dan semua yang berkaitan dengan pembangunan perumahan. Jawaban sang menteri, maaf itu tidak ada dalam prioritas pemerintahan sekarang.

Bukan lewat kolom ini saja, saya mengungkapkan pikiran-pikiran seperti di atas. Beberapa waktu lalu saya sudah mendatangi langsung Megawati dan mengeluhkan hal-hal tersebut kepada Presiden sebagai masukan. Selanjutnya, seperti ajaran Al-Qur'an, kita hanya diwajibkan untuk menyampaikan. Dan, saya telah menyampaikannya kepada khalayak ramai maupun pusat-pusat kekuasaan. Mudah-mudahan kekhawatiran dan keprihatinan kita ini dapat difollow-upi dengan kearifan, kebijakan, dan langkah-langkah konkret yang mengunggulkan kepentingan rakyat di atas kepentingan yang lain.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq