Tentang PKPS dan Buloggate II
Adil - Solo, Beberapa pekan lalu, ketika unsur-unsur dalam Kabinet Megawati mengusulkan sebuah kebijakan penundaan pembayaran utang para konglomerat hitam sampai kurun waktu 10 tahun, saya mengambil sikap yang cukup tegas. Di dalam kebijakan yang dinamakan PKPS atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham tersebut, pemerintah berniat akan memberikan keleluasaan bagi para penjarah ekonomi atau konglomerat hitam yang telah mengambil utang negara, untuk tidak usah membayarnya sekarang tetapi diberi jangka waktu 10 tahun mendatang.
Kebijakan tersebut tentu dirasakan aneh dan tidak adil karena, pertama, setelah diberi kesempatan sampai 4 tahun dengan tenggat waktu akhir Maret ini, mereka tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan utang yang sangat besar itu. Kedua, waktu 10 tahun adalah jangka waktu yang cukup panjang untuk timbulnya banyak kemungkinan, antara lain, pergantian pemerintahan sekarang, penghapusan data-data utang itu di berbagai lembaga negara kita, dan yang lebih gawat lagi ada kemungkinan para konglomerat hitam menjarah ekonomi kita kembali dengan cara-cara yang lebih canggih, dengan cara bekerja sama dengan arapat keamanan dan hukum --yang semua itu telah menjadi rahasia umum.
Untuk menghindari kemungkinan seperti itulah saya mengatakan bahwa pemerintah harus membatalkan rencana PKPS, dan kalau sampai nekat maka saya akan mengambil posisi baru. Ketika sebagian rekan wartawan bertanya pada saya, apakah posisi baru itu berarti PAN akan menjadi oposisi terhadap pemerintah sekarang. Saya mengatakan, bukan seperti itu, tetapi justru lebih mendasar yaitu saya akan mengumumkan bahwa dengan melepaskan PKPS maka pemerintahan Megawati tidak lagi membela rakyat dan tidak perlu lagi disokong oleh rakyat, karena jelas-jelas telah lebih berpihak kepada para konglomerat hitam atau penjahat ekonomi.
Betapa lega hati dan pikiran saya, ketika saya membaca di media massa, bahwa tim kecil yang dibentuk pemerintah telah menolak rencana PKPS, dan mestinya pemerintah secara keseluruhan juga akan membatalkan rencana PKPS yang menusuk rasa keadilan rakyat itu. Maka secara jujur dan tulus, saya ucapkan terima kasih dan congratulation, karena akhirnya pemerintah berpegang pada nurani, rasa keadilan, kebenaran dan keadilan hukum, dan tentu ini memperkuat legitimasi pemerintah sendiri. Mudah-mudahan pemerintah tidak berbalik arah, karena keputusan yang diambil itu sangat melegakan. Sekarang tinggal lagi kita menunggu keberanian pemerintah untuk menindaklanjuti pembatalan PKPS, dengan memroses secara hukum kasus-kasus kejahatan terhadap negara secara berani dan tidak ragu-ragu karena rakyat pasti di belakang pemerintah.
Dalam pada itu, kita sekarang juga sedang menyaksikan kontroversi yang cukup hangat, yakni tentang pembentukan Pansus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung dalam dugaan penyalahgunaan uang negara Rp 40 miliar, di mana Akbar Tandjung sendiri telah menjadi tersangka. Saya melihat sejak semula bahwa ujung dari proses politik di DPR, termasuk pembentukan Pansus Buloggate II, apabila mengenai kasus hukum, maka memang proses hukum yang transparan terhadap kasus itulah yang menjadi tujuan utamanya. Sesungguhnya tidak benar anggapan bahwa kalau jika Pansus Buloggate II dibentuk, maka kemudian terjadi proses politisasi dari kasus hukum tersebut.
Untuk mengambil sikap yang konsisten, maka prinsip dasar yang harus diambil adalah ujung dari Pansus Buloggate II adalah membawa kasus itu kepada proses pengadilan yang benar, transparan, dan tidak tertunda-tunda lantaran berbagai perhitungan nonhukum. Sesungguhnya dengan dijadikannya Akbar Tandjung sebagai tersangka oleh Jaksa Agung, maka cukup jelas bahwa proses hukum telah berjalan dan harus kita beri kesempatan yang cukup fair agar proses hukum ini bisa melaju seperti yang kita inginkan. Sementara itu, desakan masyarakat untuk melihat penyelesaian kasus Buloggate II ini juga harus kita perhatikan secara sungguh-sungguh.
Namun dalam kaitan ini, ada juga argumen yang perlu kita bicarakan bahwa tampaknya Kejaksaan Agung memilih dan memilah berbagai kasus korupsi dengan cara: yang kecil-kecil ditangani, sementara yang berskala megaraksasa justru dihilangkan pelan-pelan dari proses hukum. Terus terang rasa keadilan saya ikut terpukul, ketika melihat Beddu Amang, Bustanil Arifin, Soebiakto Tjakarwerdaya, Ali Wardhana, dan sejumlah orang lainnya yang diproses dengan sigap dan tegas. Sementara para penjarah ekonomi yang telah jelas-jelas meruntuhkan negara kita ke jurang ekonomi sangat dalam, yaitu para konglomerat hitam seperti Sjamsul Nursalim, Prajogo Pangestu dll. itu dibebaskan berkeliaran seolah-olah tidak terjangkau oleh proses hukum kita.
Saya sangat setuju para koruptor masa lalu juga harus dibawa ke pengadilan. Tetapi tentu dengan catatan bahwa yang berskala raksasa yaitu pelaku skandal BLBI, juga harus cepat ditangani dengan langkah yang jelas dan tidak ragu-ragu. Dalam kenyataan kita melihat bahwa pihak Kejaksaan Agung boleh dibilang telah tergadaikan kewibawaan maupun integritasnya, ketika dia menghadapi kasus besar BLBI yang telah merontokkan sendi-sendi ekonomi nasional. Sementara untuk kompensasinya, maka kasus yang kecil-kecil bahkan seorang Bustanil Arifin yang sudah tua renta sampai terlunta-lunta ditahan pihak kepolisian, dimasukkan ke dalam sel. Ataupun juga para koruptor yang jauh lebih kecil dibandingkan koruptor BLBI itu diberi palu godam hukum secara tegas.
Dalam kaitan ini, saya ingin mengetuk hati Kejaksaan Agung, bahwa rakyat pasti sudah memahami persoalan ini dengan sebaik-baiknya, yaitu Kejaksaan Agung telah melakukan tindakan selektif dan diskriminatif terhadap para koruptor itu. Sementara yang besar-besar dicoba dihilangkan, sedangkan yang kecil-kecil dibuat sebagai kasus pajangan untuk meyakinkan rakyat seolah-olah Kejaksaan Agung telah melakukan langkah-langkah berani dalam menangani kasus korupsi.
Kembali pada masalah Pansus Buloggate II, buat saya yang penting adalah kita berikan kesempatan yang fair buat Kejaksaan Agung untuk memroses kasus Akbar ini dengan transparan dan tanpa ragu-ragu, dengan catatan pembentukan Pansus Buloggate II bisa diperlambat sambil menanti keberanian Kejagung untuk memroses kasus ini secara benar. Perlu juga saya tambahkan bahwa ada tugas-tugas DPR yang cukup banyak dan berat yang harus diselesaikan, yaitu menyangkut legislasi berbagai masalah nasional terutama juga undang-undang pemilu yang baru nanti, yang tentu akan memakan waktu, dan juga usaha-usaha para wakil rakyat untuk melakukan langkah-langkah korektif terhadap pemerintah terutama mengenai hal-hal yang lebih besar lagi.
Maka saya bisa memahami apabila Pansus Buloggate II pada prinsipnya harus dibentuk, manakala proses hukum menjadi tersendat-sendat.
Catatan: Kolom ini dibuat 10 jam sebelum Akbar Tandjung masuk tahanan Kejagung (Red).