Kebusukan Terorisme
Adil - Yogyakarta, Masyarakat beradab pada zaman modern sekarang ini tidak ada yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme. Secara singkat bisa dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan kekerasan itu, dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut yang luas di tengah-tengah masyarakat. Bila seseorang meledakkan sebuah bom di masjid, gereja, pasar, hotel, pertokoan atau di kerumunan orang, maka teroris yang meledakkan bom itu mengharapkan segera terjadi suasana ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan masyarakat, maka semakin berhasil gerakan terorisme.
Namun dalam kaitan ini perlu kiranya dikemukakan dua sebab berbeda, yang telah melahirkan terorisme. Yang pertama, terorisme muncul karena ada sebuah kekuasaan durjana dan durhaka, yang ingin menundukkan masyarakat tidak berdosa agar menjadi lemah lunglai dan tidak punya nyali kembali untuk mengangkat kepala serta melakukan perlawanan terhadap kekuatan durjana itu. Sebaliknya ada terorisme yang disebabkan oleh keputusasaan dan rasa frustrasi yang meluas di pihak si lemah, kemudian si lemah tidak bisa memberikan perlawanan kepada penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan teror, agar si penindas atau si durhaka bisa mulai melepaskan cengkeramannya. Dengan kata lain, supaya si penindas yang kejam itu juga kemudian mengalami rasa takut untuk melanjutkan penindasan dan kedurjanaannya.
Secara demikian tindakan Israel yang menghancurkan perkampungan Palestina dan membunuh orang-orang tidak berdosa, tentu termasuk terorisme kategori pertama. Sementara orang-orang Palestina yang melakukan pembalasan seadanya dengan melemparkan bom ke sebuah bus di Tel Aviv, tentu masuk terorisme kategori kedua. Di sinilah letak interpretasi atau pemaknaan terorisme yang bisa berlawanan. Para pejuang Palestina yang sedang merebut kemerdekaannya dituduh sebagai kaum teroris oleh negara zionis Israel. Sementara para penindas Israel yang telah melanggar HAM paling asasi, oleh pihak Israel dianggap sebagai penjaga keamanan maupun ketenteraman, sedang bagi pihak Palestina itu bahkan lebih jahat dari kaum teroris.
Yang jelas terorisme kemudian berkembang menjadi luas, karena motivasi masing-masing teroris berbeda satu sama lain. Dan, akhirnya orang memahami ada terorisme kecil-kecilan yang dilakukan segelintir orang-orang yang tertindas. Tetapi juga ada terorisme berskala raksasa yang sangat dahsyat, yang disponsori oleh negara dengan aparat militer maupun aparat kekerasannya. Dengan tinjauan seperti ini maka seluruh terorisme Israel jelas disponsori oleh negara zionis itu. Sementara terorisme yang dilakukan sejak lama oleh para pejuang PLO, pasti berbeda dalam skala maupun dampak yang ditimbulkan oleh terorisme kecil-kecilan ala Palestina itu.
Selanjutnya makna terorisme terus berkembang ketika aksi-aksi terorisme tidak saja dengan cara-cara kekerasan yang bersifat telanjang, melainkan menggunakan tekanan psikologis dan tekanan mental yang dibuat lebih canggih, tetapi hasilnya tidak kalah dari terorisme yang mengambil model kekerasan.
Sekelompok warga negara asing yang kebetulan berada di Amerika, kemudian ditangkap oleh FBI lantas ditelanjangi di kamar kosong untuk menjalani interogasi berhari-hari, maka perlakuan seperti itu jelas merupakan tindakan terorisme yang sejatinya telah menginjak-injak hak asasi manusia. Contoh mutakhir yang ramai dibicarakan adalah penangkapan tiga warga negara Indonesia yang sedang berada di Filipina. Mereka ditangkap oleh aparat kepolisian atau intelijen Filipina dengan tuduhan membawa bom dsb. Bentuk perlakuan seperti ini sesungguhnya termasuk kategori terorisme dengan tekanan psikologis dan tekanan mental.
Namun dalam kaitan ini perlu segera digarisbawahi, bahwa terorisme dalam bentuk halus atau lebih canggih yang tidak menggunakan kekerasan langsung, biasanya mendapatkan dukungan sangat efektif apabila media massa membenarkan tindakan yang bersubstansi terorisme itu. Bayangkan andai kata media massa Indonesia menjadi beo atau "Pak Turut", mengikuti apa saja kata media massa Filipina atau media massa asing yang punya itikad buruk terhadap Indonesia, maka akan sempurnalah terorisme penangkapan tiga orang warga negara Indonesia di Filipina itu.
Bila kita membicarakan peran media massa yang dikaitkan dengan terorisme, maka juga menjadi jelas pihak yang menguasai media massa akan mendominasi dalam menggambarkan terorisme seperti yang mereka kehendaki. Sementara pihak yang lemah dan tidak menguasai media massa tentu akan kelabakan dan tidak sanggup memberikan pukulan balik terhadap jualan media massa yang lebih kuat tersebut. Inilah barangkali yang perlu diperhatikan ketika Tamsil Linrung dkk. ditangkap di Filipina dengan alasan membawa bahan peledak dan segala macam tuduhan, yang apabila kita gunakan pikiran jernih rasanya tidak mungkin Linrung dan teman-tamannya yang masih normal dan tidak cukup gila, membawa bahan peledak melewati sebuah bandara di Manila.
Saya sendiri ketika peristiwa itu terungkap sedang berada di beberapa negara Eropa, untuk rangkaian kunjungan dan ceramah di kampus-kampus di sana. Namun saya mengikuti secara cermat melalui internet. Dan memang penangkapan tiga orang itu menimbulkan misteri yang sulit dipercaya. Misteri yang paling menonjol adalah, bagaimana mungkin polisi Filipina dapat mengajukan serangkaian pertanyaan tentang HMI, ICMI, Dewan Dakwah, PAN, Peristiwa Poso, Peristiwa Maluku dan berbagai hal yang pernah menjadi gejolak politik di Indonesia secara mendetail. Sementara kita mengetahui, para polisi maupun intelijen Filipina hampir mustahil bisa mengetahui seluk beluk persoalan Indonesia seperti halnya aparat intelijen di Indonesia mengetahuinya. Memang titik inilah yang menimbulkan tanda tanya besar; siapa yang memberikan suplai pertanyaan kepada polisi Filipina, sehingga bisa-bisanya polisi Filipina membuat pertanyaan sangat mendetail dan seolah-olah menguasai persoalan Indonesia bahkan dengan segala fitnah dan segala macam dramatisasi serta jebakan-jebakannya.
Karena saya tidak punya bukti yang solid untuk menuduh siapa pun, maka saya hanya ingin mengatakan bahwa terorisme di mana pun juga, baik yang menggunakan kekerasan maupun tekanan psikologis, selalu mengandung kebusukan serta kepengecutan. Tidak terkecuali dalam kasus Tamsil Linrung dkk. yang tampaknya polisi Filipina sendiri sulit mencari tuduhan-tuduhan, yang bisa menyeret tiga orang WNI itu ke arah yang diinginkan oleh kekuatan lebih besar yang kini sedang menguasai lalu lintas informasi, bahkan lalu lintas politik dan diplomasi di dunia dewasa ini. Tetapi satu hal cukup jelas, bahwa menjadi tugas pemerintah Indonesia, lewat Deplu maupun Kedubes kita di Manila dan dibantu aparat hukum kita, untuk melindungi warga negara Indonesia di mana pun mereka mengalami musibah untuk mendapat klarifikasi yang sejelas-jelasnya, bagaimana duduk persoalannya, bagaimana cara memecahkan masalah yang telanjur meledak ini dengan sebaik-baiknya, agar tidak mengganggu hubungan baik antara Jakarta dan Manila.
Akhirnya harus saya garis bawahi di sini, bahwa kita harus waspada terhadap orang-orang berhati busuk yang kadang menempuh jalan apa saja untuk mencapai tujuannya. Perbedaan antara orang baik dan orang jahat adalah, orang yang termasuk kategori baik tidak pernah menghalalkan cara untuk mencapai tujuannya. Sementara orang yang termasuk kategori buruk dan busuk, adalah mereka yang setiap kali dengan entengnya menggunakan prinsip tujuan menghalalkan cara.
Sebagai catatan penutup harus juga disampaikan di sini, bahwa ada perbedaan yang besar antara sebelum dan sesudah reformasi. Pada zaman sebelum reformasi, badan intelijen di Indonesia memang merupakan lembaga yang angker, gawat, ditakuti dan membuat bulu orang yang bersangkutan dengan lembaga intelijan itu menjadi berdiri saking takutnya. Tetapi pada zaman reformasi ini semua menjadi terbuka, sejak dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan tidak pelak menjadi terbuka juga berbagai macam lembaga intelijen kita tanpa terkecuali.
Karena itu, mungkin perlu kita ingatkan supaya saudara-saudara kita yang berada di lembaga intelijen negara hendaklah berhati-hati. Sekarang ini zamannya tranparansi. Semua bisa kelihatan, layaknya lari di tengah lapangan, tidak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi. Maka kata kunci untuk kebaikan kita bersama adalah; hati-hati agar kita tidak membuat blunder. Dengan tidak adanya blunder itu hidup kita menjadi tenang bersama-sama. Tetapi kalau kita tidak hati-hati, masih membayangkan zaman ini seperti zaman-zaman kemarin, maka blunder demi blunder bisa terjadi dan itu untuk kerugian kita semua. Wallahu a'lam.