Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
Info detikMobile ProXL IM3 Telkomsel Satelindo LippoTel detikPlus.com
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 8/8/2002
 

Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002


detikcom - Jakarta, Pada saat kolom ini saya tulis, MPR segera akan mengadakan sidang tahunan yang berlangsung 1-10 Agustus 2002. Alhamdulillah, setelah banyak ramalan tidak begitu menggembirakan tentang ST-MPR tahun ini, karena banyak prediksi bahwa Sidang Tahunan akan macet, sekarang umumnya orang dapat bernapas lega karena berbagai polarisasi pendirian yang agak jauh di antara fraksi-fraksi kini telah mengalami proses konvergensi.

Kita mengetahui bahwa tugas pokok ST-MPR kali ini adalah untuk menyelesaikan tahap keempat, sebagai finalisasi dari rangkaian amandemen UUD 1945 yang telah berlangsung sejak 1999. Di atas kertas, paling tidak, kita dapat bersikap optimis karena khusus untuk amandemen konstitusi kita tinggal 4 materi yang belum ada kesepakatan. Sementara, lebih dari 27 materi yang lain telah mendapatkan satu rumusan, dalam arti ke-12 fraksi di MPR secara bersama-sama telah menyepakati tanpa perbedaan-perbedaan pandangan lagi.

Yang masih perlu dicapai kesepakatan lewat musyawarah adalah, pertama, tentang keberadaan utusan golongan pada MPR pascatahun 2002. Dalam pasal 2 masih ada dua alternatif apakah MPR hanya terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu ditambah dengan utusan golongan, atau MPR terdiri hanya atas anggota DPR dan DPD. Di samping itu, ada pasal yang belum disepakati bersama yaitu pasal 6(a); dalam hal tidak ada pasangan capres dan cawapres yang terpilih pada pemilu putaran pertama, bagaimana bentuk penyelesaiannya. Alternatif pertama, diambil dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak untuk kemudian dipilih oleh MPR. Alternatif kedua, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, dipilih kembali oleh rakyat secara langsung.

Selanjutnya materi ketiga yang menimbulkan semacam kegemparan bahkan mungkin saling kecurigaan, adalah pasal 29 yang kini memiliki tiga pilihan. Alternatif pertama, seusai dengan naskah asli berbunyi, "negara berdasar atas ketuhanan YME". Alternatif kedua, "negara berdasarkan atas ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Alternatif ketiga, "negara berdasarkan atas ketuhanan YME dengan kewajiban menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya". Hal ini menjadi isu yang relatif hangat, karena banyak yang berpendapat kalau alternatif pertama (naskah asli) sampai diubah, maka akan bertentangan dengan isi mukadimah UUD 1945 yang menjamin Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara dan tidak perlu ditambah kalimat apapun juga.

Demikian juga materi yang mungkin menimbulkan kontroversi dalam ST-MPR kali ini, adalah mengenai pendidikan. Dalam pasal 31 ayat 3 diajukan dua pilihan. Alternatif pertama berbunyi, "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang". Alternatif kedua berbunyi, "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan iman dan takwa, meningkatkan akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan UU".

Di atas kertas, materi-materi yang belum dicapai kesepakatan akan bisa diselesaikan dengan musyawarah/mufakat. Namun andaikan terpaksa diambil pemungutan suara, kira-kira kita sudah dapat mengetahui hasilnya. Sebagai misal pasal 29, hampir bisa dipastikan bahwa naskah asli yang akan menjadi pendapat ST-MPR berhubung alternatif kedua dan ketiga tidak didukung oleh bagian terbesar anggota MPR. Sehingga pasal yang menghebohkan ini sesungguhnya akan dapat diselesaikan secara mulus dan tidak akan meninggalkan trauma apapun juga.

Di samping itu, MPR juga akan memutuskan berbagai ketetapan yang selama ini sudah digodok oleh PAH II, yakni tentang rekomendasi kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, dan rantap tentang pencabutan Tap MPR No. VI/MPR/1999 mengenai tata cara pencalonan dan pemilihan presiden dan wapres. Tap MPR ini akan dicabut karena tata cara pemilihan presiden dan wapres sudah akan diatur dengan UU. Sesungguhnya menyangkut agenda MPR yang lain pun, kita tidak melihat sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Karena setelah lembaga-lembaga tinggi negara memberikan progress report atau laporan kemajuan masing-masing yaitu presiden, Ketua MA, Ketua BPK, Ketua DPR dan Ketua DPA maka sidang tahunan akan memberikan rekomendasi kepada lembaga-lembaga negara itu supaya berkinerja lebih bagus lagi di masa mendatang.

Sejauh ini tampaknya ST-MPR akan berjalan mulus dan kontroversi atau perbedaan pandangan satu sama lain selalu akan dapat dipecahkan dengan musyawarah untuk mufakat. Seandainya pun ditempuh jalan voting, maka pungutan suara juga absah, konstitusional, dan secara jelas memang dijamin oleh pasal 37 UUD 19945. Namun demikian ada sejumlah kekhawatiran yang mungkin dapat mengganjal keberhasilan ST-MPR 2002.

Pertama, andai kata ada kelompok tertentu di MPR yang memboikot sidang sehingga sidang tidak mencapai kuorum, dan karena itu tidak dapat dilanjutkan. Khususnya ketika akan mengamandemen UUD, sesuai dengan ketentuan konstitusi maka 2/3 anggota MPR harus hadir dan 2/3 dari yang hadir itu harus menyatakan setuju terhadap amandemen UUD itu. Seandainya ada lebih dari 1/3 anggota MPR yang tidak nongol karena pertimbangan-pertimbangan yang misterius, maka setelah 24 jam untuk masa penantian, dan andai kata setelah itu pun sidang tidak mencapai kuorum maka MPR memang tidak berbuat apa-apa.

Kemungkinan kedua, walaupun sangat kecil, apabila tiba-tiba ada fraksi-fraksi yang sudah sepakat bulat di Badan Pekerja (BP) tiba-tiba menarik kesepakatannya itu dan bahkan melakukan penentangan terhadap hasil-hasil BP yang sudah mereka tanda tangani. Kalau terjadi hal demikian tentu akan membuat suasana menghangat dan bisa menimbulkan centang perenang yang tidak berujung pangkal.

Kemungkinan ketiga, apabila sampai ada satu, dua, atau tiga pasal tidak dicapai kata sepakat, kemudian ada fraksi-fraksi yang meminta untuk membatalkan seluruh rangkaian amandemen dan mengajak kembali kepada konstitusi seperti sebelum diamandeman. Maka hal ini berarti telah terjadi suatu penghancuran terhadap rangkaian amandemen yang telah disahkan oleh MPR, dan akan berakibat sangat panjang karena kita harus menggunakan UUD yang lama untuk melakukan pemilu. Dan lebih dari itu, kita dapat cepat terjerembab kepada otoriterianisme ala Orla maupun Orba.

Kemungkinan yang lain adalah, terjadi unjuk rasa dengan gelombang manusia yang jumlahnya ratusan ribu sehingga mengganggu ST-MPR. Massa mendesakkan kemauannya di luar kemauan yang telah disepakati MPR, maka bisa saja terjadi kemacetan atau jalan buntu, dan MPR tidak bisa mengambil keputusan apapun juga. Tentu masih banyak pengandaian-pengandaian yang bisa dipikirkan. Akan tetapi insya Allah yang saya lihat di permukaan telah terjadi kearifan yang terpuji dari wakil-wakil rakyat dari semua fraksi, untuk mencari jalan keluar sebaik mungkin agar tidak mengalami deadlock dan proses konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bisa tetap berjalan seperti yang kita inginkan. Sementara, pendapat yang mengatakan bahwa amandemen UUD 1945 bisa ditempuh dengan mulus asalkan implementasinya tahun 2009, kini sudah makin tidak terdengar lagi.

Dalam pada itu juga perlu dicacat, telah datang ke MPR beberapa tokoh penting dari berbagai kalangan yang meminta agar UUD 1945 setelah diamandemen tahap keempat ini dianggap sebagai konstitusi transisional, sehingga perlu dibentuk sebuah komisi konstitusi yang akan memperbaiki konstitusi itu pada masa-masa mendatang. Terhadap pendapat seperti ini saya sangat setuju, karena pada hakikatnya semua UUD terbuka pada perubahan asal kita bersepakat bahwa kata-kata transisional itu tidak boleh dianggap main-main belaka, sehingga kesepakatan yang telah kita putuskan bersama harus dilaksanakan secara konsekuen. Bahwa kemudian di belakang hari terjadi perubahan atau perbaikan, itu justru telah merupakan sebuah keharusan.

Di Amerika konstitusi yang umurnya 200 tahun, telah mendapat amandemen sebanyak 26 kali. Sementara kita, dengan konstitusi yang berumur 57 tahun, baru mendapat amandemen sekali ini. Maka sesungguhnya apa yang kita kerjakan sangat wajar, tidak ada yang aneh, dan bahkan cukup realistis karena dinamika masyarakat terus berkembang ke depan. Sungguh tidak tepat kalau kita bertahan dengan segala hal yang sudah lama yang memang sudah tidak bisa digunakan lagi untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer.

Adanya pendapat TNI/Polri sebagaimana dikumandangkan oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, sungguh merupakan suara yang memperkuat ST-MPR 2002. Dalam pidatonya, Panglima TNI mengemukakan beberapa prinsip yang sangat penting, seperti misalnya amandemen bukanlah hal yang ditabukan, konstitusi dibuat untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan selama amandemen dilakukan untuk kepentingan bangsa jangka panjang maka TNI mendukung sepenuhnya. Malahan dalam beberapa hal yang bersifat praktis, TNI telah mengemukakan sikap yang sangat jelas, yaitu memilih putaran pilihan presiden kedua secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh MPR, demikian juga TNI telah menetapkan bahwa seluruh anggota DPR/MPR harus dipilih oleh rakyat sehingga tidak ada lagi fraksi yang merupakan penunjukan oleh pemerintah atau tanpa melalui pemilu.

Inilah saya kira beberapa hal yang perlu kita cacat. Tetapi di atas segala kekhawatiran dan keragu-raguan kita sebagai manusia, kita perlu yakin pada pertolongan Allah SWT. Bahwa apabila para anggota MPR bekerja dengan sungguh-sungguh secara tulus ikhlas untuk kepentingan bangsa dan negara jangka panjang, maka rasa-rasanya tidak ada hal yang tidak dapat dipecahkan dengan musyawarah/mufakat maupun lewat pemungutan suara. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq