Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
Info detikMobile ProXL IM3 Telkomsel Satelindo LippoTel detikPlus.com
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 15/8/2002
 

Menyambut Kehidupan Politik Baru


detikcom - Jakarta, Sekalipun Sidang Tahunan MPR 2002 masih berjalan pada saat kolom ini saya tulis, namun insya Allah amandemen UUD 1945 tahapan keempat akan segera disahkan dalam ST-MPR kali ini. Kita perlu bersyukur bahwa bayang-bayang yang gelap serta penuh kekhawatiran, yang mengatakan seolah-olah ST-MPR 2002 akan kacau balau dan membuang-buang waktu serta tenaga ternyata tidak terbukti.

Pada saat kolom ini saya tulis, Sidang Tahunan telah memasuki hari ke-8. Sementara pada hari ke-10, ST-MPR ditutup untuk melaksanakan acara tunggal, yaitu penyerahan hasil-hasil ST-MPR 2002 kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Bahkan pada hari ke-8 itulah sidang paripurna yang mestinya dimulai untuk mendengarkan laporan hasil-hasil komisi, harus ditunda 24 jam karena waktu yang cukup (yakni sehari semalam) harus diberikan kepada komisi-komisi untuk melakukan tahapan akhir sidang-sidang mereka.

Satu hal yang melegakan adalah, ketika diadakan pertemuan konsultasi antara pimpinan majelis dengan pimpinan 12 fraksi serta pimpinan 3 komisi (Komisi A, B, dan C) tersembul satu jati diri bangsa kita yang sangat mendasar, yaitu pentingnya mengunggulkan kebersamaan di atas kepentingan golongan, kepentingan partai, maupun kepentingan-kepentingan yang lebih sempit. Sebagai Ketua MPR saya merasa berbahagia ketika hampir semua pimpinan fraksi di dalam pertemuan konsultasi atau katakanlah pertemuan lobi itu, menggarisbawahi pentingnya kebersamaan sebagai dasar pemecahan atas kemungkinan macetnya pembicaraan di sidang Komisi A maupun Komisi B.

Dengan kata kunci kebersamaan inilah, tampaknya segala hal yang merintangi suksesnya ST-MPR kali ini akhirnya dapat diselesaikan. Maka kita perlu bergembira sebagai satu bangsa, bahwa akhirnya MPR RI dapat merampungkan tugas pokok, yaitu menyelesaikan amandemen keempat sebagai rangkaian amandemen-amandemen sebelumnya. Sehingga kini kita telah memiliki sebuah UUD yang lebih mantap dan lebih sempurna, untuk menjadi dasar membawa bangsa dan negara kita ke masa depan yang insya Allah juga lebih cerah.

Memang harus dicatat, bahwa pada hari pertama dan kedua terjadi polarisasi dan juga perang dingin di dalam maupun di luar sidang, antara kekuatan-kekuatan yang pro-amandemen dan kekuatan-kekuatan yang meragukan pentingnya amandemen konstitusi kita. Malahan mereka yang tidak mantap dengan amandemen sempat mengedarkan daftar tanda tangan yang sudah dibubuhi lebih 100 penanda tangan. Dan, dalam interupsi-interupsi yang cukup galak, wakil-wakil kubu tersebut juga berulang-ulang meyakinkan pentingnya menghentikan proses amandemen keempat serta mengeliminasi hasil amandemen tahapan ketiga.

Tetapi kita perlu bersyukur, dengan semangat kebersamaan, semangat saling isi mengisi, saling koreksi serta ingat mengingatkan kepada tujuan yang lebih besar, maka anggota-anggota MPR yang mula-mula menahan arus amandemen itu akhirnya harus mengakui kenyataan bahwa amandemen konstitusi memang tidak terhindarkan dan bahkan tidak terbantahkan --mengingat selain sebagai agenda reformasi, juga kesadaran yang sangat dalam bangsa kita bahwa untuk mengatur negeri yang besar ini secara lebih mantap, mutlak diperlukan amandemen terhadap UUD kita.

Setelah ST-MPR 2002 usai, kini kita perlu menatap masa depan dengan hati dan nurani yang lebih jernih. Dengan selesainya amandemen keempat ini maka diharapkan kekuatan-kekuatan politik bangsa Indonesia dapat lebih melakukan konsolidasi demokrasi, dan memainkan sebuah permainan demokrasi yang indah, karena UUD yang telah disempurnakan ini menjamin suatu check and balances yang seimbang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tentu ditambah dengan pilar keempat yaitu media massa. Pilar keempat ini telah dijamin sejak reformasi memperoleh ruangan yang sangat luas untuk melakukan tugas-tugas demokrasinya, yaitu kontrol sosial dan partisipasi sosial dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi secara lebih transparan.

Kita sungguh lega mengakhiri perdebatan yang panjang mengenai perlu-tidaknya amandemen konstitusi, yang akhirnya dimenangkan secara sangat meyakinkan oleh sebagian terbesar anggota MPR yang sesungguhnya juga merupakan wakil-wakil dari rakyat yang punya aspirasi sangat mendalam untuk melihat amandemen konstitusi kita.

Sementara itu ketika kolom ini saya tulis, nasib Komisi Konstitusi belum jelas benar. Namun saya juga percaya, andai kata dilahirkan sebuah Komisi Konstitusi asalkan dibentuk tidak dengan tergesa-gesa, dan betul-betul melalui penelitian dan seleksi yang sangat ketat agar menjaga nonpartisansip serta independensinya seperti diminta oleh kebanyakan aspirasi di media massa, maka Komisi Konstitusi itu pun tentu juga akan bersifat positif untuk menyelaraskan hasil-hasil ST-MPR kali ini.

Namun dalam hal ini saya juga harus mengatakan bahwa untuk membentuk sebuah Komisi Konstitusi yang lebih kuat dari MPR, rasa-rasanya merupakan mission impossible alias sebuah kemustahilan. Lihatlah MPR kita itu. Apa ada sebuah lembaga yang lebih majemuk dari majelis kita itu. Apa ada sebuah lembaga yang menghimpun otak-otak Indonesia paling baik, seperti yang ada di MPR. Apa ada sebuah kumpulan orang yang betul-betul punya akar, seperti orang-orang yang mewakili rakyat lewat partai-partai maupun fraksi nonpartai di MPR.

Sesungguhnya kalau kita mau berpikir secara jernih dan dengan kepala dingin, sebuah komisi konstitusi yang dibuat seperti apapun, tidak akan pernah melampaui kemajemukan, kemantapan, keandalannya dibandingkan dengan MPR yang memang merupakan pengejawantahan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang mewakili kemajemukan etnik, agama, latar belakang geografis, serta kemajemukan-kemajemukan lainnya.

Saya yakin bahwa hura-hura yang meminta lahirnya Komisis Konstitusi, merupakan kehendak yang lebih didasarkan kepada emosi daripada perhitungan-perhitungan rasional serta kalkulasi politik yang matang. Lihatlah ketika sementara fraksi mengajukan jumlah serta proses rekrutmen para anggota Komisi Konstitusi. Ada yang mengatakan misalnya komisi itu terdiri 90 orang: 30 orang dari MPR, 30 orang utusan daerah, 30 tokoh-tokoh kampus alias pakar serta tokoh organisasi nonpartai dan LSM. Tapi andai kata cara pengisian keanggotaan komisi seperti itu, apakah tidak lebih cacat dan penuh cela dibandingkan dengan MPR yang sudah bekerja 3 tahun dan mewadahi seluruh aspirasi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, saya harus mengatakan di sini apa adanya. Silakan membuat Komisi Konstitusi, tetapi pikirlah dengan matang, buatlah kalkulasi yang sebijak-bijaknya. Karena untuk melampaui keunggulan-keunggulan MPR saya kira tidak gampang seperti dikhayalkan sementara orang. Secara demikian, apa yang telah diputuskan lewat MPR perlu kita sosialisasikan. Dan, lebih penting daripada itu, perlu kita impelementasikan secara jujur dan konsekuen. Termasuk perubahan-perubahan yang mendasar buat kehidupan politik kita, yaitu cara Pemilu 2004 yang jelas berbeda dengan pemilu-pemilu masa lalu. Demikian juga pembentukan DPD sebagai upper house dan DPR sebagai lower house.

Sekali lagi, sebagai bangsa kita perlu bersyukur karena ST-MPR 2002 sudah bisa menyelesaikan amanat yang ada di pundaknya, yaitu merampungkan amandemen keempat atau terakhir. Mungkin perlu juga saya tambahkan di sini, andai kata tahun 2003 ada sidang MPR maka saya yakin itu merupakan sidang majelis yang terakhir. Bukan lagi seperti sidang-sidang tahunan sebelumnya, melainkan adalah sidang sayonara. Ibarat orang yang menjelang wafat atau ajal, maka orang tersebut perlu membuat wasiat yang jelas kepada anak cucunya.

MPR gaya lama yang kebetulan saya pimpin sekarang ini adalah MPR yang tingga 1,5 tahun lagi usianya, sehingga perlu memberikan kepada bangsa ini. Cara memberikan wasiat itu tidak bisa lain dengan melakukan sidang majelis 2003 itu untuk agenda tunggal, yaitu membuat evaluasi terhadap ketetapan-ketetapan MPRS dan MPR mana yang perlu dinyatakan sebagai batal demi hukum, dan mana yang masih relevan kemudian diturunkan menjadi UU. Tentu selain tugas pokok ini, MPR akan mendengarkan tanpa perlu membuat penilaian atas pidato presiden maupun ketua-ketua lembaga tinggi negara yang lain.

Kalau ini disepakati maka kita dapat menarik napas panjang karena rasa lega dan bahagia, kemudian kita lebih berkonsentrasi untuk memecahkan masalah-masalah besar lainnya yang sudah menghadang di depan kita. Wallahu a'lam.

comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq