Kolom Amien Rais

Arsip per tahun: 2000 | 2001 | 2002

detikcom
| Cover | Laporan Utama | Laporan Khusus | Foolitik | Kolom Amien Rais | Adilan Adilun |
Kamis, 29/8/2002
 

Tragedi TKI Kita


detikcom - Jakarta, Sebagai orang Indonesia kita mengetahui bahwa bangsa kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa yang tidak suka meninggalkan Tanah Airnya. Bahkan di masyarakat internasional, bangsa Indonesia dikenal sebagi bangsa pemalu dan tidak pernah memiliki keinginan yang kuat untuk merantau apalagi kemudian menetap di negara asing. Bandingkanlah dengan bangsa-bangsa Asia yang lain, terutama bangsa Filipina, bangsa India, dan bangsa Cina. Ketiga bangsa ini dikenal di dunia sebagai bangsa perantau dan cenderung sangat suka mengadu nasib di negara asing. Dan, bahkan di antara mereka memang banyak yang menjadi lapisan kaya di negara-negara asing.

Sementara di Amerika Serikat misalnya, kuota yang diberikan oleh pemerintah Amerika buat Indonesia tidak pernah diisi secara baik apalagi sampai dilampaui. Saya lupa angka persis kuota dari imigran asing yang diperbolehkan masuk ke AS, tetapi kalau tidak salah jatah Indonesia pada tahun 1980-an mencapai angka puluhan ribu. Namun dalam kenyataannya jarang sekali orang Indonesia yang menjadi imigran masuk ke Amerika untuk mengadu nasib atau mencari nafkah di negara kaya itu.

Contoh kecil di atas menunjukkan bahwa memang pada dasarnya bangsa kita bukan bangsa perantau, bangsa yang terlalu melekat dengan Tanah Air dan kampung halamannya. Kalau bukan karena desakan ekonomi yang kuat, sulit dibayangkan bangsa kita menjadi bangsa perantau seperti halnya bangsa Filipina, India, maupun Cina. Oleh karena itu, ketika terkuak di media massa bahwa ada hampir setengah juta orang Indonesia yang menjadi imigran gelap atau pendatang haram di Malaysia, kita segera menyadari bahwa setengah juta orang Indonesia itu tentu hijrah ke Malaysia untuk mencari nafkah, lantaran di Tanah Airnya sendiri sangat sumpek dan tidak ada lagi kesempatan untuk mengais rezeki dan mencari sesuap nasi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pemerintah Indonesia dari waktu ke waktu masih belum berhasil merealisasikan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya sendiri. Ini tidak ada urusannya dengan pemerintahan Megawati saja atau pemerintah-pemerintah sebelumnya. Tetapi secara umum, sejak tahun '70-an hingga sekarang, gelombang TKI/TKW yang mencari nafkah ke luar negeri semakin bertambah jumlahnya. Dan, ini membuktikan bahwa pemerintah dari waktu ke waktu telah gagal menyuguhkan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.

Malah cerita tentang TKW kita yang menjadi budak-budak modern sudah bukan rahasia lagi. Terutama di negara-negara Timur Tengah, telah sering dikuakkan bagaimana TKI pada umumnya dan khususnya TKW telah mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Betul-betul mereka dijadikan komoditas ekonomi oleh pemerintah kita sendiri, maupun oleh pemerintah atau bangsa asing yang telah menyewa tenaga mereka itu.

Secara demikian, ketika kita melihat penghinaan luar biasa yang ditimpakan kepada para TKI kita di Malaysia, maka sebelum kita marah kepada pemerintah Kualalumpur, kita harus berani melakukan koreksi; apa sesungguhnya yang merupakan kesalahan besar di dalam tubuh kita sendiri. Jawabannya tentu jelas; yakni pemerintah kita sejak zaman Orba hingga sekarang memang telah menjualbelikan tenaga kerja Indonesia lewat perusahaan-perusahaan tenaga kerja yang telah menjadikan manusia Indonesia yang duafa dan mustadh'afin sebagai komoditas politik, tidak ubahnya dengan sapi atau kambing apabila kita mau meneropong esensi dari perdagangan TKI/TKW tersebut.

Namun, setelah kita melakukan koreksi diri yang kita harapkan nantinya dilakukan secara jujur dan komprehensif, maka tidak ada salahnya apabila kita juga sekaligus melakukan pembelaan terhadap harkat dan martabat TKI, dan sekaligus untuk menyelamatkan wajah Indonesia di dunia internasional. Kita bisa bayangkan negara-negara tetangga khususnya dan negara lain di muka bumi pada umumnya, melihat drama tragedi yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut nasib TKI kita di Malaysia. Mereka tentu mendapatkan upah yang sangat murah karena sebagai pendatang haram pasti akan dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan Malaysia itu.

Kemudian setelah pemerintah Malaysia ingin menggunakan kasus TKI sebagai kendaraan politik Mahathir, maka dijadikanlah mereka objek pelampiasan nafsu politik pemerintah Malaysia untuk mencari targetnya sendiri, tapi caranya dengan sangat menghinakan Indonesia. Hukuman cambuk tidak dipraktikkan oleh negara-negara modern apalagi pada abad 21 ini. Hukuman cambuk memang mengandung unsur penghinaan yang sangat tajam. Hukuman ini lebih cocok diterapkan untuk sapi atau kuda yang membangkang, dan tentu sangat tidak etis diberlakukan untuk menghukum manusia. Karena itu sudah tinggi waktunya, pemerintah Megawati memberikan protes sangat keras kepada pemerintah Malaysia yang telah menghina bangsa kita.

Namun apa daya, ternyata pemerintah Megawati menyikapi penghinaan terhadap bangsa Indonesia dengan sikap suam-suam kuku, yang saya kira di mata Malaysia justru makin mengkerdilkan citra dan bobot kita sendiri. Ketika pada pekan pertama Agustus lalu, Mahathir ke Denpasar menemui Megawati, seharusnya di sanalah Mahathir perlu diberi kuliah tata krama internasional dan kuliah keagamaan yang elementer. Tetapi ternyata tangan Mahathir ada di atas, sementara tangan kita ada di bawah. Artinya, Mahathir begitu tampak dominan dan yakin diri, sementara kita justru tampak loyo dan tidak melakukan reaksi apapun juga.

Malahan belakangan kita mendengar Yusril Ihza Mahendra diutus ke Kualalumpur untuk menyelesaikan masalah TKI dari segi hukum dan yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Tetapi buat kita semua, mengutus seorang Yusril tentu tidak sepadan sama sekali dengan skala dan ukuran masalah yang demikian besar itu. Andai kata ingin lebih berbobot, tentu bisa diutus seorang Yusril yang berbincang-bincang dari segi hukum, seorang Yacob Nuwa Wea yang bicara dari segi ketenagakerjaan, Hassan Wirajuda yang bicara dari segi politik dan diplomatik, dan bahkan ditambah utusan khusus dari presiden. Dan tim itulah yang kemudian harus menggebrak pemerintah Kualalumpur untuk mengatakan enough is enough, sudah cukup penghinaan itu, mari kita pecahkan secara kesatria apa yang dimaui Malaysia dan apa yang kita kehendaki sebagai negara besar yang telah merdeka dan berdaulat selama 57 tahun.

Tetapi sekali lagi, inilah cara penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah kita yang demikian marginal, demikian tidak percaya diri, hanya di kawasan pinggiran dan tidak berani membongkar masalah sampai kepada esensinya. Bahwa Malaysia telah melakukan sebuah kenekatan yang luar biasa dalam menghina kita itu sudah jelas. Tetapi bahwa reaksi kita ternyata memble, itu juga lebih jelas lagi. Sekarang barangkali waktunya belum terlambat, karena masih ada ratusan ribu pendatang haram tersisa di negara jiran itu. Pada saat sekarang inilah perlu diambil langkah-langkah yang berani, terukur, arif, tegas dan efektif untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan objek lembek yang bisa ditekuk-tekuk oleh Malaysia dengan seenaknya sendiri.

Hanya masalahnya, mungkinkah diharapkan pemerintah sekarang ini mengambil langkah seperti kita harapkan itu, mengingat dalam banyak hal telah terbukti pemerintah yang ada sekarang ini lebih sering menundukkan kepala, selalu membungkuk-bungkuk di depan kekuatan asing, dan tidak pernah berdiri tegak dengan mengangkat kepala sambil mengambil langkah-langkah tegas untuk membela kepentingan bangsanya sendiri.

Lihatlah sikap Indonesia terhadap IMF yang demikian loyo dan lembek. Lihatlah pemerintah kita sendiri menghadapi obligor-obligor yang telah menistakan bangsa ini karena penjarahan yang telah mereka lalukan. Lihatlah Indonesia menghadapi pencurian pasir yang telah melenyapkan dua pulau di sekitar kepulauan Riau. Lihatlah pula sikap pemerintah kita di dalam menghadapi tekanan-tekanan yang sangat lemah pun dari berbagai pihak, maka reaksinya selalu lebih lemah dari tekanan itu sendiri.

Inilah saya kira satu hal yang perlu kita refleksikan secara jernih pada masa ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke-57 ini. Masih tegakah dan masih sampai hatikah kita dihina terus-menerus oleh tidak saja Malaysia, tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan asing lainnya? Wallahu a'lam.


comments powered by Disqus

Menyelesaikan Kasus Pak Harto | Inkonsistensi Pemerintahan Mega | Beranikah Mega Meloloskan PKPS? | Ada yang Hilang dalam Pemerintahan Sekarang | Di Mana Letak Kesalahan Kita? | Sekitar Proses Pembusukan Ekonomi | Tentang PKPS dan Buloggate II | Konsistensi dan Inkonsistensi | Kebusukan Terorisme | Masih Adakah Alasan Lain? | Amandemen UUD 1945 'Insya Allah' Sukses | Mengapa Harus Berangkat dari Kecurigaan? | Pelajaran dari Piala Dunia 2002 | 'It's Now or Never' | Hal-hal yang Mungkin Mengganggu ST-MPR 2002 | Menyambut Kehidupan Politik Baru | Tragedi TKI Kita | Aceh Menuntut Kesegeraan | Nasib Politik Akbar Tandjung | Belajar dari PT QSAR | Hadapi Terorisme dengan Cerdas | Bahaya Syahwat Kekuasaan

Arsip Kolom Amien Rais ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq