Home > Kliping Media > Lain-lain

Rhoma Irama & Soneta “Menggoyang” Tasik

Harian Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2001

“RAJA Dangdut” Rhoma Irama dengan grup Soneta-nya sukses memuaskan komunitas musik dangdut lewat pentasnya. Bukan hanya membikin penonton bergoyang, tapi sampai larut ikut nyanyi bareng. Konser yang berlangsung hari Minggu (19/8) kemarin di Stadion Dadaha Tasikmalaya itu, “dibajiri” 10 ribu orang lebih.

Nampak dari mereka yang nonton, bukan hanya kalangan anak muda yang sudah begitu akrab dengan lagu Begadang hingga Perjuangan dan Doa, tapi juga banyak terlihat para orangtua. Mungkin, itu dikarenakan lagu-lagu Rhoma Irama kini lebih mengarah kepada dakwah.

“Konser Amal untuk Kampanye Penanggulangan Bahaya Penyalahggunaan Narkoba” itu berlangsung selama dua jam lebih. Meski sudah berusia 54 tahun, namun suara emasnya masih tetap melantun hingga penonton dari kalangan tua dan muda ikut larut dalam lirik dan lagu-lagu yang dinyanyikannya.

“Kami berlima dari Singaparna sengaja menonton Rhoma Irama sebagai kecintaan saya pada lagu dan liriknya. Tentu saja lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Rhoma saya hapal, karena saya masih menyimpan koleksi kaset-kasetnya,” ujar Dede dan Jajang warga Singaparna Tasikmalaya.

Di atas panggung yang berukuran belasan meter dengan peralatan sound system bersuara kuat itu, Rhoma bersama grup Soneta plus empat wanita cantik yang tergabung dalam Soneta Femina, menyanyikan sebanyak 15 lagu hits-ny yang semuanya karya cipta Rhoma Irama.

Sejak lagu pembuka hingga akhir, lewat konser dengan harga tiket Rp 10 ribu, “Raja Dangdut” kelahiran Tasikmalaya 11 Desember 1947 itu di sela-sela lagi bersenandung langsung berdakwah. “Untuk menjalankan roda pembangunan saat ini, kita harus menjalin persatuan dan kesatuan,” ajak Rhoma seraya mengutip sebuah ayat Al-Qur'an.

Lagu lama hingga lagu yang baru seperti lagu yang berjudul Perjuangan dan Doa, Reformasi, Euforia, ikut menambah semaraknya konser amal tersebut. Bahkan saat lagu Reformasi dinyanyikan, penonton langsung mengikuti lirik yang dinyanyikannya hingga bergoyang kemudian disusul lagu Narkoba, Gulali Dunia, Malam Terkhir dan lagu hits lainnya.

Konser Rhoma di Tasikmalaya ini adalah sebuah kebanggaan karena selama ini Rhoma bersama Soneta-nya dapat dipastikan tidak melakukan konser sejak bergulirnya reformasi. Diusia senjanya, ia lebih menggeluti berceramah di mesjid-mesjid, kadang muncul juga di acara televisi terutama menjelang bulan puasa.

Dalam karir musiknya, Rhoma Irama diakui oleh semua kalangan sebagai pembuat revolusi musik dangdut karena revolusi pimpinan grup Soneta ini merombak dari segi lirik dan juga aransemennya. Semula musik dangdut atau melayu identik dengan nina bobo, mendayu-dayu, kepedihan dan ratapan diubahnya menjadi lirik yang optimis dan dinamis.

Dari kepiawaiannya, Rhoma dengan dukungan grup Soneta, lahirlah beberapa album yang sempat menghebohkan penggemar dangdut Indonesia. Seperti album Super Top Hit Soneta, berisi 12 lagu (1976), Perjuangan dan Doa berisi 10 lagu (1976), Keramat berisi 12 lagu (1976), Begadang I dan II, berisi 17 lagu, Camellia, berisi 10 lagu (1977), Darah Muda berisi 17 lagu (1978).

Sampai th. 1990-an peminat irama dangdut yang didendangkan Rhoma kian semarak, apalagi Rhoma Irama sampai bisa konser di Jepang dan negara tetangga. Bahkan tidak hanya berkiprah dalam musik saja, Rhoma pun memproduksi film layar lebar seperti Satria Bergitar, Nada dan Dakwah, hingga Begadang.

Tasik Asli

Sebenarnya, nama Rhoma Irama atau biasa disebut Oma bagi orang Tasikmalaya suatu kebanggaan karena dialah putra terbaik dalam kiprah dangdut asal Kota Santri ini. Namun, kalau melihat sejarahnya, seperti dituturkan sepupunya, Jono penduduk kampung Sambongpari Kec. Mangkubumi, hubungannya Oma dengan Tasikmalaya adalah hanya tempat lahir saja.

Karena menurutnya, setelah lahir Oma oleh orangtuanya (alm) Raden Burdah (keturunan Sukaraja) dan ibunya, Hj. Tuti Juariah dibawa ke Jakarta. “Jadi masa kecil Oma lebih banyak dihabiskan di Jakarta begitu juga masa remaja dan dewasanya,” tutur Jono ketika dihubungi di rumahnya di Tasik kemarin.

Sejak dilahirkan, Oma dibawa orangtuanya. Begitu juga ketika usia sekolah. “Dari mulai SD, SMP dan SMA, Oma hampir dipastikan jarang datang ke kampung halamannya dan juga saudara-sudaranya di Tasik,” ungkap Jono.

Namun sekitar th. 1965, ketika itu Oma duduk di bangku kelas dua SMA, sempat berminat untuk meneruskan pendidikannya di Tasikmalaya. “Ketika itu Oma mengemukakan keinginannya ke orangtuanya tentang minatnya untuk sekolah di Tasikmalaya. Dan ia pun diizinkannya. Untuk sementara Oma ketika itu tinggal di rumah saudaranya di Sambong Pari,” ungkap Jono bercerita.

Menurut Jono, ketika tinggal di rumah ibunya, yang paling berkesan dari Oma adalah selalu merapihkan rambut ikalnya dengan sisir tanpa kenal waktu. Bahkan malam hari, ia selalu bercermin dan terus mengotak-atik rambutnya. (Yedi S/“PR”)***


Forum BEBAS tentang artikel di atas. Semua komentar tidak dimoderasi.

comments powered by Disqus

Website ini milik pribadi Ahmad Abdul Haq. Didukung oleh Wikiapbn.