Sumber: Kick Andy.com
|
Selasa, 27 Januari 2009 15:38 WIB Orang-orang yang bunuh diri, rohnya tidak akan pernah sampai ke tujuan. Mereka juga tidak bisa kembali ke tempat dari mana mereka datang. Mereka “tersangkut” di tengah jalan tanpa kepastian. Pernyataan yang disampaikan Komaruddin Hidayat itu terus melekat dalam ingatan saya. Dalam diskusi buku “The Last Lecture” karangan Randy Pausch yang diselenggarakan Kick Andy Book Club di Universitas Paramadina Jakarta, Komaruddin menjelaskan soal roh yang tersesat ini. Saya termasuk orang yang selama ini kurang percaya pada cerita-cerita semacam itu. Mungkin karena pekerjaan sebagai wartawan selama bertahun-tahun membuat saya selalu berpikir kritis. Nalar saya menjadi lebih dominan. Saya sering sulit percaya pada cerita-cerita yang sulit dibuktikan. Tetapi kali ini kisah tentang roh orang bunuh diri yang gentayangan itu mengganggu pikiran saya. Menurut Komaruddin, cerita tentang roh orang-orang yang mati karena bunuh diri dan rohnya gentayangan itu didasarkan pada keterangan orang-orang yang pernah mati suri yang diwawancarainya. Waktu itu dia mewawancarai sejumlah orang yang pernah mati suri untuk penulisan bukunya: “Psikologi Kematian”. Nah, dari pengakuan sejumlah orang yang diwawancarai itulah Komaruddin mengetahui bahwa mereka yang mati karena bunuh diri rohnya akan gentayangan. “Cerita mereka hampir sama. Di dalam perjalanan mereka di alam sana, mereka mengaku bertemu dengan roh-roh yang tersesat itu,” ujar Komaruddin. Kalau pikiran saya terganggu oleh cerita Komaruddin tersebut, bukan karena pikiran kritis saya menolak menerimanya. Tetapi pernyataan Komaruddin ini membuat saya teringat pada berbagai kasus bunuh diri yang pernah dimuat di berbagai media massa. Ingatan saya juga kembali ke topik bunuh diri yang pernah diangkat di Kick Andy. Waktu itu nara sumber yang tampil antara lain Lius Pongoh, atlet bulutangkis Indonesia, yang nyaris tewas setelah meminum obat serangga akibat ditinggal sang kekasih. Juga seorang suami yang harus menerima kenyataan pahit ketika sang istri membunuh ketiga anak mereka karena ketakutan sebagai orangtua dia tidak akan mampu membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Saya juga teringat episode “Stop Bullying”. Di episode tersebut saya menangis. Pasalnya, salah satu kisah yang diangkat waktu itu tentang seorang pelajar SMP bernama Evie yang bunuh diri karena setiap hari diejek oleh teman-temannya. Ayah Evie pedagang bubur. Oleh teman-temannya Evie diejek dengan olok-olok: “Evie anaknya Jokbur, Joko penjual bubur”. Setelah sekian lama menahan derita karena setiap hari pekerjaan ayahnya dilecehkan, Evie yang depresi lalu menggantung diri. Pertanyaannya, apakah roh Evie tidak akan pernah sampai ke “tujuan”? Apakah rohnya gentayangan? Kalau jawabannya ya, maka betapa malangnya Evie. Di alam fana dan alam baka dia menderita. Begitu juga dengan kisah yang saya baca di koran tentang seorang ibu yang bunuh diri setelah lebih dulu membunuh ketiga anaknya. Sang ibu yang merasa tidak bisa menemukan jalan keluar dari himpitan ekonomi, dan merasa tidak sanggup lagi menghidupi anak-anaknya, memilih jalan pintas itu. Setelah membunuh ketiga anaknya, dia bunuh diri. Lagi-lagi pertanyaannya: adakah roh sang ibu itu juga gentayangan? Hampir setiap hari kita membaca berita tentang orang bunuh diri. Termasuk seorang bapak yang membunuh anak dan istrinya kemudian bunuh diri. Tindakan itu dia lakukan karena tidak tahu lagi bagaimana cara mencari uang untuk menghidupi anak dan istrinya. Adakah mereka yang bunuh diri karena kemiskinan, ketidakberdayaan, penyakit yang tidak tersembuhkan, rohnya akan gentayangan? Sebagian besar dari kita akan dengan mudah mengatakan orang tidak akan bunuh diri jika imannya kuat. Orang tidak akan membunuh dirinya kalau dia dekat dengan Tuhan. Apalagi kita selalu diyakinkan bahwa Tuhan tidak akan pernah mencobai umatnya melebihi batas kemampuan umatnya itu. Lalu mengapa masih ada orang yang tidak sanggup menerima cobaan hidup dan memilih jalan pintas? Saya sering menakar-nakar sampai pada batas manakah seseorang tidak akan sanggup lagi memikul beban berat di pundaknya dan menyerah? Saya sering membayangkan jika saya menjadi orang-orang yang bunuh diri itu. Apakah saya juga akan melakukan hal yang sama – membunuh anak dan istri saya, misalnya – jika saya tidak lagi melihat ada jalan keluar dari persoalan yang saya hadapi?
Faktor latar belakang lalu menjadi alasan. Latar belakang pendidikan dianggap salah satu yang ikut menentukan bagaimana kita bersikap dalam menghadapi persoalan. Apakah itu pendidikan formal, non formal, maupun pendidikan agama. Selain tentu faktor lingkungan juga dianggap berperan. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan. Mereka yang pendidikannya rendah dan hidup dalam lingkungan keluarga yang kurang mendukung, dinilai memiliki kecenderungan untuk cepat putus asa. Mereka lebih mudah bunuh diri. Masalahnya, tidak semua orang beruntung bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Tidak semua orang lahir dari keluarga yang mapan. Tidak semua orang lahir dalam keluarga yang taat beragama. Tidak semua orang lahir di lingkungan yang mendukung dia untuk bisa tahan banting dan berpikir positif. Kalau semua faktor tidak mendukung dan dia tidak mampu memecahkan masalah dan merasa mengalami jalan buntu kemudian bunuh diri, apakah roh mereka juga akan gentayangan? Banyak orang ingin keluar dari persoalan tetapi tidak tahu caranya. Mereka tidak mampu. Sebagian memilih jalan keluar dengan cara melanggar hukum. Untuk keluar dari himpitan ekonomi, misalnya, mereka mencuri, merampok bahkan membunuh. Sebagian lagi yang tidak berani mencuri, merampok, dan membunuh memilih mengakhiri hidupnya. Dengan begitu dia menganggap persoalan selesai. Evie, dalam usianya yang baru beranjak remaja, tidak mampu mengatasi ejeken teman-temannya yang menderanya setiap hari. Evie sempat mengeluhkan perlakuan teman-temannya kepada sang ayah. Waktu itu Joko, sang ayah, meminta Evie bersabar beberapa bulan menunggu kenaikan kelas. Ayah Evie berjanji akan memindahkan Evie ke sekolah di kampung agar Evie terbebas oleh ejekan teman-teman sekolahnya. Tetapi semuanya terlambat. Evie sudah tidak mampu menunggu. Dia tidak lagi bisa bertahan lebih lama. Evie lalu memilih bunuh diri. Apakah roh Evie sekarang masih melayang-layang di alam sana? Saya, yang termasuk orang yang tidak terlalu percaya pada cerita-cerita semacam itu, terganggu oleh cerita Komaruddin. Saya merasa sedih membayangkan betapa mereka yang bunuh diri karena himpitan ekonomi atau karena tidak mampu melihat jalan keluar, rohnya akan gentayangan. Di dunia mereka sudah susah. Haruskah di alam lain sana mereka juga harus merana? Karena itu, saya merasa bahagia ketika ada seorang guru wanita yang menulis komentar di website kickandy.com bahwa setelah menonton salah satu episode Kick Andy, dia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Komentar tersebut membangkitkan keyakinan dalam diri saya bahwa kita sebenarnya bisa melakukan sesuatu untuk mencegah seseorang bunuh diri. Boleh jadi karena latar belakang lingkungan, pendidikan atau kejiwaan, seseorang tidak mampu memikul beban yang menderanya. Dia membutuhkan orang lain untuk menolongnya. Orang yang menuntun dia untuk menemukan jalan keluar. Pertolongan itu tidak selalu harus berupa materi. Dukungan moral, nasihat, petunjuk, doa, dan empati akan dapat mengurangi tekanan yang mereka rasakan. Dengan begitu mudah-mudahan saudara-saudara kita yang menghadapi persoalan dalam hidupnya tidak mengambil jalan pintas. Agar tidak ada lagi roh-roh yang tidak bisa menemukan jalannya.
|
Tag: Kliping Media, Kick Andy |