Ahmad Abdul Haq


PANCASILA, ANAK SEMUA BANGSA

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Kamis, 22 Juli 2010 11:24 WIBPANCASILA, ANAK SEMUA BANGSA

PANCASILA, ANAK SEMUA BANGSA “Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.” (Pramoedya Ananta Toer)

Kutipan dari salah satu tetralogi Pram (Anak Semua Bangsa) ini mungkin sangat relevan bagi penubuhan nilai keragaman di sekolah. Bahkan secara sadar dan bertanggungjawab, para Founding Fathers Republik ini merumuskan makna spiritual keragaman dalam Pancasila. Karena itu tak terlalu salah jika Pancasila lahir untuk menegaskan bahwa secara sosial, budaya, tradisi, adat istiadat, dan agama, Indonesia sebenarnya merupakan anak semua bangsa; di dalamnya mencerminkan sebuah mozaik yang sangat indah, penuh warna dan nuansa.

Namun demikian ada satu pertanyaan fundamental berkaitan dengan ideologi Pancasila kita, yaitu mengapa memercayai keragaman dengan segala bentuk rupa budaya dan tradisi, dalam sikap maupun kepercayaan, tidak masuk secara gamblang sebagai salah satu sila dalam pancasila? Padahal substansi bahasa Indonesia hampir dapat dipastikan merupakan bahasa serapan dari berbagai bahasa di dunia.

Meskipun sila ketiga menggambarkan tentang perlu dan pentingnya “Persatuan Indonesia,” namun beban bahasa yang disandangnya terlalu berorientasi pada heroisme. Tak secara eksplisit dikatakan bahwa Indonesia adalah ragam budaya, tradisi, bahasa, dan adat-istiadat. Lagi, meskipun ada kalimat “Bhineka Tunggal Ika” di bawah kaki garuda, tetapi dalam praktek bersekolah yang ada hanya kesemuan pemahaman tentang keragaman, karena kebijakan pendidikan tidak pro pada keragaman, melainkan pro pada keseragaman.

Lihatlah seragam sekolah, seragam kurikulum, seragam pengawasan, hingga seragam warna sekolah. Hampir tak ada lagi sekolah yang dihuni oleh ragam etnis seperi dulu; Melayu, Cina, India, Arab, hingga keturunan Portugis. Orang Tionghoa, Arab dan India sekarang ini secara eksklusif memiliki sekolah untuk lingkungannya masing-masing. Mereka seperti enggan untuk singgah di sekolah dasar milik negara yang sepenuhnya dimiliki negara, bukan milik masyarakat sekitar. Anak-anak Tioghoa, India, dan Arab lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang mereka dirikan sendiri, meski jaraknya puluhan kilometer dari tempat tinggal mereka.

Kesalahan dalam mengenalkan Pancasila sebagai ideologi bernegara yang tertutup telah dilakukan Orde Baru. Karena takut dibilang tak reformis dan cenderung menghindari kata Pancasila secara terbuka dalam muatan kurikulum, otoritas pendidikan kita menggantinya dengan PPKN atau pendidikan kewarganegaraan. Karena itu kita terus khawatir, sebagai ideologi yang seharusnya terbuka dan anak kandung semua bangsa, Pancasila akhirnya seperti musuh dalam selimut yang tak harus diajarkan secara terbuka. Pancasila hanya sekumpulan teks yang harus dihafal para siswa ketika upacara, tanpa tafsir yang jitu ke dalam tubuh semua mata ajar yang ada.

Dalam terminologi pendidikan modern, penting ditimbang untuk memasukkan nilai-nilai Pancasila sebagai substansi lintas kurikulum. Cross curricula approach, dengan demikian, harus lebih berani diskemakan dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Mengapa cross-curricular approach nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi proses pengembangan kepribadian berbangsa dan bernegara?

Pertama, hampir semua bidang studi atau mata ajar di sekolah seperti sains, ilmu sosial, seni, bahasa dan olahraga pada dasarnya memiliki karakteristik hybrid. Karena itu hampir dapat dipastikan bahwa semua mata ajar dan pokok bahasan yang ada dan diajarkan akan dapat disisipi nilai-nilai Pancasila. Dalam bahasa Kirk (1997), mata ajar dan pokok-pokok bahasan yang enggan menyusupi ide-ide baru yang ada manfaatnya bagi pengembangan budaya damai dan pengembangan kepribadian berbangsa dan bernegara pasti akan cenderung ditinggalkan dan menghilang. “Courses and subjects that fail to reinvent themselves in the face of new circumstances are liable to decline or disappear”.

Kedua, fakta bahwa keragaman (budaya, agama, perilaku, tradisi, dsb.) adalah sesuatu yang hakiki di masyarakat manapun, sehingga konflik menjadi persoalan keseharian yang dihadapi oleh masyarakat manapun di muka bumi ini. Apakah kondisi masyarakat tersebut harmonis maupun homogen, kebutuhan untuk saling memberi solusi melalui nilai-nilai yang sesuai dengan kondisi budaya, tradisi, agama dan perilaku tertentu adalah sebuah keniscayaan (Jephcote & Davies:2007). Karena itu mempelajari nilai-nilai Pancasila dalam rangka menumbuhkan semangat keragaman dalam kesatuan merupakan salah satu kebutuhan sekolah.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy