Ahmad Abdul Haq


Pembuktian Terbalik

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Kamis, 14 Oktober 2010 13:19 WIBPembuktian Terbalik

Pembuktian Terbalik Di rimba kehidupan demokrasi Indonesia yang tak jelas ukuran dan ujung pangkalnya, kita menemukan begitu banyak kejanggalan dan keganjilan. Hampir tak ada ahli manajemen strategi perencanaan, ahli politik, para psikolog dan ahli pendidikan yang tidak bingung melihat begitu banyak peristiwa konyol, amburadul dan tak terjelaskan, terjadi sepanjang waktu di Indonesia. Setelah hiruk pikuk kriminalisasi KPK dan century gate tak berujung pangkal, terakhir kita mendapati sosok Gayus Tambunan, pegawai pajak dengan pangkat III a, memiliki dana miliaran rupiah di rekening tabungannya terbongkar karena inisiatif dan keberanian yang (meski terlambat) datangnya dari seorang Susno Duaji.

Sejak lama parodi hukum kita mewacanakan jargon “pembuktian terbalik” sebagai salah satu cara untuk memberantas habis praktek korupsi di negeri ini. Tetapi hingga terbentuknya lembaga-lembaga baru seperti KPK dan MK, wacana tersebut seperti tetap merupakan sebuah mimpi besar rakyat jelata. Ini pertanda buruk, bahwa pembuktian terbalik merupakan gambaran konkrit dan citra diri birokrat kita yang amburadul dan tak memiliki wibawa. Pasti ada ribuan bahkan mungkin jutaan Gayus Tambunan di negeri ini yang sedang tersenyum, khawatir, sekaligus sedang menikmati hasil korupsinya dengan tenang dan mati rasa.

Dari perpektif pendidikan, gambaran perih peristiwa Gayus dan sederetan praktek korupsi lainnya yang terungkap juga merupakan pembuktian terbalik dari hasil proses pendidikan kita selama40 tahun terakhir. Pendidikan kita seakan enggan untuk bertanggungjawab dan mengakui bahwa pola pikir dan perilaku para birokrat kita yang saat ini sedang bekuasa merupakan kegagalan proses pendidikan yang mereka terima selama bertahun-tahun di sekolah dan perguruan tinggi. Meski dalam semua lembar dokumen negara dirumuskan tentang tujuan pendidikan yang sangat ideal, tetapi pemerintah lalai dalam mengawal prosesnya secara baik sehingga ciri dan karakter manusia Indonesia menjadi sumir.

Walhasil, jangan-jangan produk pendidikan kita semakin meneguhkan keyakinan bahwa ciri dan karakter manusia Indonesia masih saja seperti pernah dibilang Muchtar Lubis 33 tahun silam, yaitu selalu menggemari jalan pintas dan kurang gigih dalam berusaha. Selain itu masih ada sepuluh ciri lain yang melekat dari manusia Indonesia menurut versi Muchtar Lubis, yaitu (1) munafik (hipokrit); (2) suka lempar batu sembunyi tangan; (3) suka hantu, paranormal dan firasat; (4) punya jiwa seni; (5) boros, senang berhutang dan senang pesta pora; (6) suka iri, dengki, dan menggerutu; (7) “me too”; (8) jumawa, sombong atau belagu; (9) feodal dan patriarkal; serta (10) baik hati, ramah, suka gotong royong dan bisa tertawa dalam penderitaan.

Meski ciri dan karakter manusia Indonesia versi Muchtar Lubis terkesan berlebihan, namun fakta yang muncul di masyarakat seakan membenarkan bahwa itulah yang terjadi. Dunia politik kita dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki jiwa feodal dan patriarkal. Para pendidik banyak yang munafik (hipokrit) karena antara apa yang diajarkan tak sesuai dengan apa yang dipraktekkan. Di sekolah, pendekatan pembelajaran lebih banyak berorientasi pada aspek competitive; sebuah budaya untuk mengalahkan dan menyisihkan orang lain, sehingga menimbulkan banyak sekali labeling seperti murid pandai dan murid bodoh, kelas biasa dan kelas khusus, sekolah nasional dan sekolah internasional, serta atribut lain yang sungguh menyiksa perasaan siswa dan orangtua karena tingginya diskriminasi. Karena itu wajar jika orang seperti Ivan Illich dan Paulo Freire mengganggap bahwa proses pendidikan di sekolah tak ubahnya seperti ladang tempat di mana para guru membunuh dan menindas potensi kemanusiaan siswa-siswi mereka. Dalam konteks ini, maka wajar jika sekarang kita disibukkan dengan rencana dan wacana untuk membuat model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti, agar orang-orang seperti Gayus Tambunan kembali memiliki hati dan tak memiliki kesempatan untuk kembali korupsi.

Sudah saatnya orientasi dan tujuan pembelajaran dalam dunia pendidikan kita diubah revolusioner. Kesadaran mendidik harus lebih banyak memperhatikan suasana hati anak didik. Fakta tentang Gayus sesungguhnya juga ingin menunjukkan bahwa keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya merupakan persoalan mendasar dunia pendidikan kita. Guru kita lebih banyak memberi pekerjaan rumah (PR) daripada memeluk, menciumi dan memuji siswanya di kelas. Jangan sampai dugaan Paulo Freire benar, bahwa guru mengganggap murid mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar, tetapi kita lalai mendidik perasaannya.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy