Ahmad Abdul Haq


Gifted

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 11 Februari 2011 13:38 WIBGifted

Gifted Bakat dalam dunia pendidikan selalu memiliki dua pengertian, yaitu sebagai anugerah dan kecerdasan. Penelitian tentang bakat yang selama ini selalu didominasi oleh aspek psikologis dan kognitif, dalam sepuluh tahun terakhir berubah seiring dengan munculnya bentuk kecerdasan selain intelektual. Bentuk kecerdasan emosi dan spiritual juga memiliki peran yang tidak kecil dalam membentuk bakat dan kreativitas seseorang, bahkan dalam beberapa penelitian ternyata kecerdasan emosi dan spiritual lebih berperan dalam menunjang kesuksesan seseorang.

Artinya saat ini kita tak mungkin mengukur keberbakatan dan kecerdasan seseorang hanya dengan ukuran intelektual semata. Kombinasi dan perluasan aspek-aspek biologis, sosiologis dan lingkungan merupakan penentu tumbuhnya bakat seorang anak. Menurut teori ini kecerdasan seorang anak sangat tergantung dengan situasi lingkungan yang sangat dinamis dan dapat berubah ketika lingkungan berubah. Komponen dan sturktur kecerdasan seorang anak sangat amat beragam (Gardner: 1998).

Tetapi bagaimana cara sekolah dan guru kita melihat dan menemukan kecerdasan seorang anak? Dengan cara belajar dan sistem pendidikan yang digunakan seperti saat ini, bakat anak sering ditemukan melalui penilaian tunggal, yaitu rata-rata kemampuan anak dalam mengikuti dan memahami sebuah mata pelajaran. Artinya, intelegensia yang sangat mengandalkan penilaian aspek kognitif masih menjadi satu-satunya cara untuk melihat apakah seorang anak cerdas dan berbakat.

Padahal dalam teori belajar berbasis pendekatan keragaman kecerdasan, proses pendidikan yang benar seharusnya mampu melihat bakat dan kecerdasan siswa dari aspek yang tidak tunggal, sejauh hal tersebut merupakan kombinasi antara proses penilaian (assessing process) dan proses pembelajaran (learning process). Dengan kombinasi antara proses assessment dan pembelajran yang benar, sesungguhnya sekolah dan para guru sedang mencoba untuk tidak memisahkan apa yang sebenarnya terjadi pada diri siswa di luar ruang kelas. Ujian atau tes juga tidak bisa dipisahkan dari jam belajar yang secara keseluruhan sangat tersedia di luar sekolah. Artinya untuk melihat apakah seorang anak berbakat dan cerdas, kemampuan pedagogis guru dan budaya sekolah yang menghargai keragaman sangat dibutuhkan seorang anak untuk berkembang.

Assessment adalah bagian integral yang tidak bisa dpisahkan dari proses belajar-mengajar. Ada dua alasan mengapa cakupan assessment menjadi lebih luas dan lebih longgar dalam melihat potensi, bakat dan kecerdasan seorang anak. Pertama, assessment menggunakan banyak media dan pendekatan dalam proses belajar-megajar. Contohnya pendekatan authentic assessment yang sangat popular dan bertujuan memberikan penilaian dengan cara meminta para siswa untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan dunia nyata sebagai aplikasi dari pengetahuan dan kecakapan yang mereka kuasai (Jon Mueller: 2003). Hal ini dilakukan agar pendidikan tidak anti-realitas, dan kesadaran anak bahwa mereka berbeda dan memiliki ragam bakat dan kecerdasan menjadi lebih terbuka.

Kedua, assessment memungkinkan seorang guru menggunakan lebih banyak model of instructional strategies dalam kegiatan pembelajaran mereka. Selain itu patut juga dipertimbangkan strategi lain seperti portfolio, curriculum revision checklist, rubric, jurnal, field visit, dan exhabition, mengingat bahwa setiap siswa pasti memiliki banyak minat dan keinginan yang berbeda.Dengan dasar dua kelebihan di atas, maka assessment merupakan bagian yang sangat strategis dalam siklus manajemen kurikulum, untuk dan dalam rangka melihat potensi, bakat dan kecerdasan anak. Menurut beberapa survey, assessment berpengaruh hingga 74% terhadap capaian pendekatan dalam belajar-mengajar, termasuk dalam mengidentifikasi bakat dan minat siswa.

Tapi apa yang terjadi hari ini dengan pendidikan kita? Linda Darling-Hammond dalam “Powerful Learning: What We Know About Teaching for Understanding (2008) dengan jelas mengkritik guru dan sekolah yang memiliki orientasi pembelajaran berbasis tes/ujian (learning for exams). Proses belajar semacam ini tentu saja akan menjadikan anak didik cenderung menjadi obyek belajar yang pasif dan belajar secara tidak mendalam, sehingga bakat dan kecerdasan anak tidak tergali secara baik. Pendekatan ini juga cenderung menjadikan siswa sebagai alat penghapal rumus dan teori (rote memorization) dan mengenyampingkan proses atau latihan analisis dan penalaran yang lebih alamiah dan bersandar pada kebutuhan seorang anak.

Jika sistem pendidikan kita ingn menemukan sebanyak mungkin anak berbakat dan berkemampuan lebih dan beragam, sudah saatnya orientasi pembelajaran harus diubah menjadi learning for understanding. Proses belajar semacam ini menurut Linda Darling-Hammond dapat mengidentifikasi keinginan siswa secara lebih luas dan mendalam terhadap suatu hal atau gagasan. Dengan demikian seorang siswa akan terus termotivasi berdasarkan potensi bawaan yang dimilikinya, karena substansi pembelajaran biasanya disusun dengan menimbang pengetahuan dan pengalaman pra-belajar (prior knowledge and experiences) yang dimiliki siswa. Di samping itu, pembelajaran dilakukan terintegrasi secara konseptual serta dilakukan pengembangan kemampuan meta-kognitif, thinking about one's own thinking.

 



Kommentar Tidak Ada

Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy