Sumber: Kick Andy.com
|
Rabu, 13 April 2011 09:30 WIB Globalisasi dengan segala implikasinya seperti kemajuan di bidang komunikasi dan teknologi telah menipiskan ruang dan jarak antar manusia. Di ujung dunia manapun dan kejadian jenis apapun dalam sekejap akan diketahui oleh setiap orang. Ini artinya ada jutaan persepsi yang mengganggu pemahaman orang dan berimplikasi pada bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain. Globalisasi juga menegaskan hukum alam yang tak bisa dihindari, bahwa manusia selalu berpikir dan bertindak dalam lingkup tradisi dan budayanya masing-masing. Pengaruh globalisasi dalam dunia pendidikan, dengan demikian, tak mungkin terhindar dari perlunya pendidikan yang berorientasi pada pemahaman lintas budaya (cross-cultural education). Meskipun belum ada definisi pasti tentang pendidikan lintas budaya (cross-cultural education), tetapi pembahasan tentang lintas budaya dalam lingkup pendidikan biasanya berkaitan erat dengan bidang perbandingan pendidikan (comparative education), pendidikan internasional (international education) dan pendidikan ragam budaya (multicultural education). Meskipun demikian untuk kebutuhan operasional di sekolah, para peneliti dan praktisi pendidikan bersepakat bahwa terma cross-cultural education sesungguhnya sebuah kondisi di mana para siswa dan manajemen sekolah menyadari jika mereka datang dari tingkat pendidikan dan budaya yang berbeda-beda (Fenwick W. English: 2006). Cross-cultural education umumnya didapati pada mata ajar bahasa, baik bahasa asing maupun bahasa daerah. Bahasa berpengaruh sangat kuat terhadap kemungkinan terjadinya persilangan budaya di antara peserta didik.
Agar ada jaminan bahwa praktek belajar-mengajar berbasis lintas budaya dapat berlangsung secara efeketif dan berkesinambungan di sekolah (dwibahasa), Graham Butt dan Ann Lance (2005) menyarankan: (1) perlunya sekolah tersebut menyediakan dukungan konsultasi dari para ahli bahasa; (2) melatih manajemen sekolah ke arah perbaikan manajemen perubahan; (3) menambah alokasi dana untuk melatih sensitivitas budaya para guru; (4) membuat program pertukaran budaya dengan menggunakan media bahasa; serta (5) menyediakan software dan hardwere yang berkaitan dengan pengajaran bahasa, sejarah dan geografi. Sekolah dengan model dwibahasa juga harus mampu merancang program secara cerdas, agar proses transisi berbahasa para siswa menjadikan mereka lebih peduli dengan kearifan tradisi dan budaya orang lain. Penting juga untuk diketahui bahwa menurut beberapa Pusat Penelitian Bahasa dan Kebudayaan di beberapa Universitas, bahasa pengantar di sekolah punya dampak serius terhadap keberhasilan prestasi siswa ke depan. Murid-murid SD di perkotaan umumnya Dalam Whole Language for Second Language Learners (1992), Freeman, Yvonne S Freeman dan David E menyebutkan bahwa signifikansi penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar di sekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anak akan mampu menghasilkan prestasi yang lebih baik bagi anak-anak di masa mendatang. Harus ditemukan cara yang secara pedagogis mampu membuat anak nyaman ketika mengalami peralihan dari bahasa ibu mereka ke bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah. Jika masalah ini dijalankan dengan baik, maka kekhawatiran tentang dampak buruk pengenalan berbahasa asing yang terlalu dini di sekolah tak akan terjadi. Kita patut menjaga sense bahasa ibu anak-anak kita serta menyiapkan proses transisi berbahasa mereka agar penguasaan Bahasa Indonesia dan bahasa lainnya menjadi kuat. Para pengambil kebijakan tentang sekolah dwibahasa harus mempertimbangkan pengajaran bahasa sebagai sebuah proses timbal balik antara siswa, guru, dan keragaman masyarakat . Selain itu sekolah dwibahasa jelas harus memiliki agenda yang kuat untuk menurunkan problem kekerasan di tingkat siswa melalui pengenalan budaya lain melalui pengajaran bahasa, sejarah dan geografi. |
Tag: Kliping Media, Kick Andy |