Ahmad Abdul Haq


Pencerahan di Kuala Lumpur: Sebuah Resep Perubahan

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Senin, 10 Oktober 2011 09:25 WIBPencerahan di Kuala Lumpur: Sebuah Resep Perubahan

Pencerahan di Kuala Lumpur: Sebuah Resep Perubahan Ketika pesawat lepas landas dari bandara Soekarno Hatta menuju Kuala Lumpur, hati saya galau. Melintas di kegelapan malam, rasanya pikiran sayapun masih gelap mau bicara apa di konferensi CSR Asia besok. Di konferensi seputar tanggung jawab sosial perusahaan, saya diharapkan berkontribusi pada sesi yang bertajuk"Positive Impact and Lasting Change"

Mendarat tengah malam, saya mulai panik. Lima lembar slide presentasi telah disiapkan dan dikirim ke panitia akan tetapi saya masih penasaran. Rasanya masih kurang mantap. Tampaknya akan kurang asyik jika tidak dilengkapi dengan sebuah analogi sederhana di mana pokok pikiran saya dapat disampaikan secara sederhana. Saya paling tidak suka jika harus berbicara mengenai sebuah gagasan dan terdengar terlalu teknis.

Belum juga solusi muncul, rasanya saya malah jatuh tertidur.

Kaget dibangunkan oleh alarm, saya melirik jam. Dua jam lagi presentasi dimulai. Dan parahnya saya belum menemukan ilustrasi saya. Mencoba tenang, sayapun beranjak ke kamar mandi sambil menyambar kotak vitamin dan obat saya.

Satu hal terjadi di luar dugaan. Pencerahan muncul ketika saya menengak dosis terakhir obat infeksi liver hati yang saya derita 6 minggu lalu. Dosis terakhir itu tiba-tiba mengingatkan saya bahwa dampak (impact), perubahan (change) dan kesinambungan (sustainability) dari sebuah inovasi sosial itu sama seperti mengobati sebuah penyakit.

Di sekitar kita banyak sekali penyakit sosial yang terjadi. Bagaimana menyikapi dan menyelesaikannya tanpa ada sebuah "diagnosis"? Dan biasanya diagnosis akan lebih akurat setelah lakukan tes darah atau scan tertentu.

Penyakit sosial hanya bisa dideteksi lewat Needs Assessment yang melibatkan stakeholders yang dilakukan melalui survey dan FGD (focused group discussion) dengan berbincang berkelompok dengan harapan berkomunikasi dua arah antara implementor dan penerima program dapat terjadi. Intinya kita memang perlu mendengar local wisdom dari komunitas di mana program akan dijalankan.

Resep untuk sebuah perubahan adalah hasil dari diagnosis sosial ini.

Seperti kondisi saya, dokter menyarankan saya bed-rest 2 minggu sebelum kembali beraktifitas. Sayapun tidak dapat menolak karena ketika itu tubuh saya terasa begitu lemah. Boro-boro beraktifitas, pegang hp saja tidak kuat!

Dalam istirahat dua minggu itu saya temukan kembali nikmatnya kehampaan pekerjaan. Resting is good and I forgot how to rest, jiwa sayapun berguman selama di tempat tidur. Menyenangkan sekali.

Setelah minum obat yang diresepkan selama dua minggu, saya harus lakukan tes darah dan USG kedua untuk melihat bagaimana tubuh saya berespon terhadap pengobatan pertama ini. Dan rencananya setelah tes kedua ini, dokter mengurangi dosis menjadi setengahnya selama 4 minggu kemudian.  Setelah itu, saya harus melakukan tes ketiga untuk melihat apakah dengan dikuranginya dosis, pemulihan saya bersifat permanen.

Alhasil, pada tes kedua kemajuan tampak pada fungsi liver saya. Dan setelah dosis dikurangi, tes ketiga menunjukan pemulihan yang permanen.

Total investasi pengobatan saya adalah 6 minggu tiga interval tes darah dan USG dan menghabiskan dana lebih dari tiga juta rupiah.

Resep perubahan sosial juga perlu diuji dengan waktu. Apakah dosis program yang diberikan menimbulkan sebuah perubahan? Apakah perubahan ini bersifat permanen atau sustainable?

Kuncinya adalah: sebuah resep perubahan sosial yang perlu "diinvestasikan" dengan dana tertentu dalam kurun waktu tertentu juga, untuk membawa perubahan yang berkesinambungan.

Bagi pelaku dan penyokong program sosial, satu hari kelak kita harus bertanggung jawab atas setiap Rupiah dan setiap menit yang kita habiskan untuk mencapai perubahan itu. Semua dampak dan perubahan harus terukur. Itulah tanggung jawab sosial kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

Menutup presentasi saya di hadapan hadirin yang mewakili ratusan perusahaan di Asia, saya menekankan pentingnya elemen waktu untuk mencapai dampak tertentu. Dunia korporasi perlu belajar bersabar bahwa dampak sesaat hanyalah modal sebuah perubahan. Dan perubahan tidak dapat dicapai dengan berinvestasi sosial pada hal-hal yang bersifat one-off atau seremonial. Kesabaran dibutuhkan untuk melihat hasil dari program pembangunan. Dalam bahasa kerennya: social return on investment (SRoI). Seperti layaknya RoI dalam bisnis, SRoI ini dilihat dari kurva waktu dan Rupiah yang diinvestasikan, kapan dan berapa  "return"-nya.

Sama seperti mengobati infeksi liver, mengobati masalah sosial perlu diagnosis yang tepat, resep perubahan yang tepat, pengujian oleh waktu dan pengukuran secara berkala dari pemulihan sosial yang terjadi menuju perubahan yang permanen.

Seperti bangun dari sebuah ketindihan, hati saya lega setelah presentasi usai. Setelah acara selesai, banyak yang menghampiri saya dan menyampaikan apresiasi mereka atas presentasi saya dan memberikan ucapan selamat atas pencerahan yang mereka dapatkan. Dalam hati saya berseru "Puji Tuhan untuk hikmah yang diberikan. Semua ini karena kemurahanNya....."


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy