Ahmad Abdul Haq


Selamat Datang (KEMBALI), Kebudayaan

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Rabu, 07 Maret 2012 09:28 WIBSelamat Datang (KEMBALI), Kebudayaan

Selamat Datang (KEMBALI), Kebudayaan Melupakan sejarah adalah pekerjaan orang bodoh, dan tak mengambil pelajaran dari masa lalu sungguh lebih bodoh lagi. Karena itu jika kesadaran kita tentang hal-hal baik kembali lagi, itu pertanda kita mulai siuman dari tidur panjang dengan mimpi buruk yang tiada akhir. Kembalinya nomenklatur “kebudayaan” ke dalam kementerian pendidikan patut disambut baik, dan semoga itu pertanda baik dari strategi pendidikan dan kebudayaan kita ke depan.

Tantangan terbesar pengembangan terma kebudayaan ke dalam proses belajar mengajar tentu saja tidaklah mudah. Sangat umum diketahui bahwa para guru di ruang kelas kerap memaknai budaya sebagai sesuatu yang given dan das sein, sehingga bentuk implementasinya hanya sebatas mengenalkan keragaman budaya sebagai sesuatu yang harus dihargai dan dikonservasi,  sesuatu yang sakral dan tidak dapat diubah. Pada akhirnya tafsir soal budaya jatuh ke dalam dan hanya sebuah bentuk penghargaan seni dan budaya, apakah itu tari, lagu dan pernak-pernik peninggalan bersejarah lainnya.

Kurikulum kita perlu lebih siap secara konsepsional menerjemahkan budaya sebagai sesuatu yang progressive, di mana seluruh bangunan kebudayaan nusantara merupakan pendorong untuk meraih sekaligus mengubah masa depan Indonesia yang lebih baik (culture as achievement). Menghargai budaya sebagai sesuatu yang das sollen harus diperkenalkan dan diajarkan, sehingga pemahaman siswa tentang budaya tidak diredusir oleh semata produk dan komuditas yang harus dijual dan dipertontonkan.

Jika para siswa diajarkan tentang makna budaya dalam pendekatan yang holistik -- meminjam dan sambil mengingat Soedjatmoko -- sehingga di masa depan siswa akan memiliki karakter seorang budayawan yang peduli dengan apa yang terjadi di masyarakatnya. Seseorang yang secara personal memiliki pengalaman dan pandangan yang cermat soal budaya dipastikan akan memiliki kesadaran dan pengetahuan yang mampu mengubah dunia demi memperbaiki kehidupan manusia. Jika kebudayaan diajarkan secara progressive dalam makna yang luas, artinya kita sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi pemikir yang peduli dengan masyarakatnya.

Mungkin ada baiknya jika seluruh buku teks untuk semua mata ajar yang akan diajarkan dan digunakan sekolah memasukkan skema pengelanan budaya dalam spektrum yang lebih luas. Van Puersen dalam uraiannya tentang Strategi Kebudayaan dengan baik memberikan pentahapan budaya yang sangat baik jika dipahami dalam konteks kekinian, karena ingin membeberkan suatu gambar atau bentuk skematis sederhana mengenai perkembangan kebudayaan.

Dalam skema Van Peursen, pentahapan kebudayaan itu terdiri dari mitis, ontologis dan fungsional. Di tahap mitis, manusia dipandang masih terbenam dalam dunia sekitarnya; tahap ontologis, bilamana manusia telah mengambil jarak terhadap alam raya dan terhadap dirinya sendiri; dan tahap fungsional bila manusia mulai menyadari relasi-relasi kemudian mendekati tema-tema tradisional, yang oleh van Peursen disebutkan alam, Tuhan, sesama, identitas diri sendiri, dengan cara yang baru. Tahapan ini tidak menunjukkan kualitas tingkatan, tetapi setiap tahapan memiliki kekhasan positif dan negatifnya sendiri-sendiri. Jika kebudayaan dikenalkan kepada para siswa di sekolah dalam sebuah rangkaian yang berjalin berkelindan seperti ini, maka dapat dipastikan para siswa akan memahami dan memaknai budaya dalam spektrum yang luas dan berkesinambungan karena relevan dengan semua mata ajar yang mereka peroleh di sekolah.

Ini artinya pemahaman tentang budaya dalam wajahnya yang luas dan hampir tak terbatas akan membawa siswa ke arah pemahaman yang benar tentang wujud perbedaan dalam beragam simpul budaya dan tradisi, sehingga siswa tertuntun dan terbiasa untuk mensikapi sesuatu dengan cara yang berbeda. Pemahaman makan kebudayaan secara luas juga akan memberikan siswa dan guru serta sekolah sekaligus untuk menghargai perbedaan dan kemajemukan sebagai sebuah batu uji untuk meraih cita-cita.

Karena itu menjadi penting sosialisasi tentang kebudayaan secara benar terhadap siswa dan guru, sehingga sekolah ikut bertanggungjawab dalam memperkenalkan kemajemukan budaya. Grobler (2006) dalam Creating a School Environment for the Effective Management of Cultural Diversity, memiliki pandangan yang cerdas tentang bagaimana seharusnya sekolah memiliki pandangan yang menghargai kemajemukan. Menurutnya, salah satu aspek penting dalam mengelola kemajemukan adalah “... concerned with the creation of a school environment where diversity is both understood, and celebrated.”

Memahami dan merayakan perbedaan adalah lansekap hukum alam yang memang sebaiknya tidak bisa dilanggar oleh siapapun, apalagi di dunia pendidikan. Jika saat ini masih ada sekolah yang memiliki pemikiran untuk menghindari adanya perbedaan, jelas bertentangan dengan kehendak Yang Maha Esa. Karena itu menjadi jelas bahwa mengelola kemajemukan merupakan tugas utama sekolah dan seluruh aspek kepemimpinannya (leadership), baik level individual siswa, guru dan orangtua (interpersonal), tetapi juga harus menyatu dalam kerangka kebijakan sekolah secara keseluruhan.

Selain itu mengelola kemajemukan juga bukan semata dan seperti membuat regulasi sebagai alat untuk memberi kesempatan setiap orang merasa memperoleh kesempatan dan kesamaan, tetapi lebih dari itu manajemen sekolah harus melihat faktor management sebagai alat untuk menumbuhkan rekognisi sosial di sekolah sebagai sebuah fakta kemajemukan yang tidak boleh dihindari dan dihilangkan. Di sinilah makna penting kebudayaan yang harus difahami leh otoritas pendidikan kita. Selamat datang, kebudayaan.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy