Ahmad Abdul Haq


Mengapa Harus Mengajarkan Karakter?

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Rabu, 20 Juni 2012 10:50 WIBMengapa Harus Mengajarkan Karakter?

Mengapa Harus Mengajarkan Karakter? Mengapa karakter menjadi penting? Lihatlah kondisi sekeliling kita akhir-akhir ini yang dipenuhi oleh karakter jahat dan buruk seperti sifat koruptif dan manipulatif. Sekolah dan pendidikan kita seakan tak berdaya melawan semangat materialisme yang ditawarkan teknologi media. Guru seakan tak memiliki kemampuan untuk menanamkan karakter baik yang ramah dan hormat kepada sesama. Nilai-nilai kebaikan yang selama ini tertera dalam buku teks seakan hampa dan pergi entah kemana dari pusaran budaya berketuhanan Pancasila.

Tony Devine dalam Cultivating Heart and Character (2008) menyetujui bahwa hampir seluruh budaya di belahan bumi manapun mengonfirmasi tiga hal yang membuat manusia berbahagia (happiness). Pertama, seorang manusia pasti akan mengalami kematangan karakter (maturity of character) ketika mereka merasa telah menjadi manusia yang baik. Kedua, semua budaya di dunia mencintai hubungan yang baik (loving relationships) terutama dalam perkawinan dan keluarga. Ketiga, semua orang pasti berpikir bahwa hidupnya harus bermanfaat bagi orang lain, meskipun faktanya setiap orang berbeda. Karena itu memaknai perbedaan secara positif adalah syarat bagi setiap orang untuk menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat sekitarnya.

Dengan dasar ini sesungguhnya tugas seorang guru di sekolah menjadi amat penting untuk melakukan transfer ilmu dan membuat jiwa dan pikiran siswa mereka juga mengalami transformasi ke arah pertumbuhnan karakter yang baik. Guru yang baik harus memiliki kemampuan mentransformasi keyakinan bahwa tak ada yang mampu membentuk karakter seseorang untuk kita (nobody can build your character for you). Karakter adalah tanggaungjawab pribadi orang-perorang, dan karena itu karakter merupakan pembeda antara satu dengan lainnya.

Selain itu guru juga harus mampu membimbing, memberi peluang dan kesempatan kepada siswa-siswi mereka untuk meyakini bahwa karakter seseorang sangat amat tergantung dari pilihan-pilihan yang mereka pilih dalam hidupnya. Prinsip “we create our character by the choice we make” harus dijadikan semacam credo guru ketika mengajar, sambil tak lupa dan bosan memberi suri tauladan yang baik.
Memberi sebanyak mungkin “wise saying” dalam bentuk keteladan adalah pilihan paling stategis guru dalam membentuk karakter siswa-siswi mereka.

Selain keteladanan, gaya mengajar guru yang monoton juga harus dihindari. Menurut sebuah survey, telah lebih dari 15 tahun para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku siswa, tetapi minim keteladan kecuali instruksi verbal. Padahal kita menyadari bahwa secara interinsik, proses belajar-mengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang kompleks dan tak terpecahkan, di mana asumsi stimulus-respon terlalu menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesifik.

Pendekatan behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model menghapal dan meng-copy masalah menjadi ciri lainnya dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang sedemikian pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori behaviorisme harus segera diubah ke dalam pendektan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas akademis guru dan siswa secara bersamaan, karena di dalamnya satu sama lain dapat saling memberi contoh keteladanan sekaligus.

Teori fungsional (functioning theory), dalam bahasa Jerome Bruner (1978) merupakan model teori yang mengandalkan akuisisi bahasa. Artinya, teori ini melihat bahasa sebagai hasil dari interaksi seorang guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri seorang anak. Di dalam kelas, guru harus melihat penugasan dalam penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi di mana penulisan mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya tangkap seorang anak. Karena itu dalam melakukan penilaian seorang guru harus mengandalkan otoritas pikir dan rasa sekaligus.

guru dalam teori ini tak bisa sekehendak hati dan membabi buta hanya mengikuti aturan penilaian sepihak, tanpa mendiagnosa respon yang mencerminkan pengalaman siswa ketika mengerjakan suatu tugas. Tetapi selama program pengembangan staff memperlakukan guru seolah-olah mereka adalah orang sakit yang memerlukan penanganan, guru akan bertindak seperti orang sakit. Selama guru diperlakukan sebagai orang yang tidak memiliki pikir, rasa dan kepekaan sosial, mereka akan masuk ke dalam kelas dan bertindak seolah-olah mereka tidak mengetahui apapun.
Oleh karena itu, jika satu model fungsional dalam pola pembelajaran digunakan sebagai suatu pendekatan yang digunakan para guru di dalam kelas, maka guru dapat menunjukkan otoritasnya sebagai fasilitator sekaligus mediator pembelajaran yang baik dan bermutu. Ini artinya guru memiliki kesadaran tinggi untuk mengajarkan apa yang sudah mereka lakukan melaui keteladanan dan kesuksesan dalam hidupnya.

Guru adalah vital bagi masa depan anak-anak kita. Guru dan orangtua yang berkarakter kuat dan baik selalu berpikir ulang jika melakukan kesalahan, dan segera mengubahnya menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. “When things do not go my way, I stop and think of what I can do to make them better”.


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy