Ahmad Abdul Haq


PARA PEREMPUAN TULANG PUNGGUNG KELUARGA

Back | Up | Next

 

Sumber: Kick Andy.com

 

 
Jumat, 15 April 2011 21:30 WIBPARA PEREMPUAN TULANG PUNGGUNG KELUARGA

PARA PEREMPUAN TULANG PUNGGUNG KELUARGA Menjadi perempuan yang bekerja, saat ini sudah menjadi hal lumrah. Tetapi apa yang akan kita komentari bila seorang perempuan bekerja dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga? Dalam film dokumenter “Working Girls”(WG) Produksi Kalyana Shira Foundation, kisah nyata perempuan-perempuan pencari nafkah yang mengabdikan diri demi keluarga digambarkan dengan begitu menyentuh. Karakter sosok perempuan Indonesia yang dalam hidupnya berusaha bangkit dan berjuang demi memiliki kehidupan yang lebih baik. Paling tidak bisa makan satu kali sehari. Meskipun penghasilan yang mereka terima kerap tidak mencukupi, namun mereka tetap semangat dalam bekerja, bahkan berusaha mencapai mimpi – mimpinya.

WG merupakan kompilasi tiga film dokumenter, yang dibuat dengan tema utama perempuan dan kemiskinan, sebab perempuan dan anak adalah pihak yang akan terkena dampak kemiskinan secara langsung. Ada 4 perempuan yang hadir menjadi tamu Kick Andy. Pada awal segmen ada Kamiati atau kerap dipanggil Mak Kamek dan Sulistiyo Rini. Keduanya adalah pekerja seni pertunjukkan di Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya di Yogyakarta yang terekam dalam film dokumenter “Asal Tak Ada Angin”. Keunikan kehidupan para pemain ketoprak tobong, khususnya para wanita inilah yang diangkat dalam film WG, arahan Yosep Anggi Noen. Para pekerja seni inipun ikut berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Di antara para pemain ketoprak tobong, ada sosok Sulistyo Rini. Mbak Rini, janda usia 34 tahun yang tinggal bersama sang anak ini, hampir selalu menggantungkan hidupnya pada ketoprak. ia pun tinggal di belakang panggung, tidak jauh dari tempat pentas. Hari-hari senggangnya ia lakukan dengan bergelut mencari tambahan nafkah untuk biaya hidup diri sendiri dan anaknya yang masih kecil.

Perempuan pekerja seni lainnya yang bertahan hidup dari kesenian ketoprak tobong adalah Kamiati atau yang biasa dipanggil Mak Kamek (baca: Kame). Pengalamannya di dunia panggung telah dimulai sejak tahun 1969. Di usianya yang 62 tahun ini, Mak Kamek memang sudah jarang pentas. Kini mak kamek melakukan pekerjaan serabutan sekaligus menjadi penjaga karcis untuk pentas ketoprak tobong. Mak Kamek dan teman-temannya adalah deretan perempuan yang loyal terhadap pilihan mereka menjadi seniman pertunjukan tradisional jawa. Bernapas dan hidup di belakang panggung, di kompleks berdindingkan gedek pada kelompok teater mereka.

Kemudian ada Ulfie, dalam film “Ulfie Pulang Kampung” arahan sutradara Nitta Nazyra C. Noer dan Daud Sumolang. Akibat sakit hati karena sering diejek teman sewaktu sekolah, Zulfikar atau kerap dipanggil Koko, pria asal Aceh ini bertekad merubah penampilannya menjadi seorang perempuan, dan memberi nama panggilan dirinya, Ulfie. Walau ia merasa sangat nyaman dengan sosok perempuan, tetapi ia sangat menghargai keluarga terutama sang ibu. Terkadang Ulfie harus sembunyi-sembunyi untuk sekedar memakai rok, hal yang menjadi favoritnya. Meskipun menjadi wanita pria, tidak menjadikan Ulfie yang kelahiran takengon ini menjadi sosok yang lemah. Kemandirian selalu ia buktikan. Tahun 2000, anak ke-dua dari enam bersaudara ini memutuskan nekat merantau di Jakarta, meski tidak memiliki ketrampilan sedikitpun. Untuk membiayai hidupnya, kini Ulfie membuka salon kecantikan, dari modal hasil kerja sebelumnya. hasil kerjanyanya itu kemudian rutin ia kirimkan untuk ibu dan keluarganya di kampung setiap bulan. Meskipun dulu ia pernah “tidak diterima” dalam keluarga dengan kondisinya tersebut. Pertanyaan paling sensitive sering dipertanyakan padanya, kemana Ulfie masuk kalo ke toilet? Atau tempat mana Ulfie akan sholat? Tergambar dengan sangat menyenntuh dalam film dokumenter ini.

Di bagian akhir, Kick Andy mengundang tokoh dalam film dokumenter “ Lima menit lagi, Ah Ah Ah” yang digawangi oleh 2 filmaker perempuan - Sally Anom Sari dan Sammaria Simanjuntak - ini memotret sosok Ayu Riana atau Ayu. Meski usianya baru 16 tahun, tetapi ia telah menjadi tulang punggung keluarganya. Nama Riana diperolehnya saat Ayu kecil memenangkan hadiah utama dalam kontes Stardut Indosiar tahun 2008, saat itu ayu masih berusia 13 tahun. Bakat menyanyi dangdut yang ia warisi dari sang ayah - Rajiman Wandy (Ayah Oces), telah Ayu tunjukkan sejak usia 4 tahun. Kesukaannya menyanyi lagu-lagu dangdut dan talentanya yang mendukung, menjadikan Ayu selalu menjuarai lomba menyanyi dangdut di daerahnya. Ajang pencarian bakat Stardut yang mengantarnya menjadi juara hampir tiga tahun lalu itu, ia akui telah merogoh keuangan keluarga hingga terpaksa menjual sepeda motor ayahnya untuk modal mengikuti kompetisi tersebut.

Kini di tengah jadwal manggung yang padat dan kebutuhan keluarga yang mendesak, siswa kelas satu SMK Negeri 2 Buelendah, Bandung ini, tetap menjalankan rutinitasnya sebagai pelajar di sekolah. Meski pernah tertipu saat pembuatan album solo Sunda, tetapi tak menjadikan Ayu Riana merasa lelah untuk terus bernyanyi. Apapun yang dilakukan dengan penuh keyakinan, menurutnya pasti akan mendatangkan kesuksesan. Predikat sebagai bintang dangdut muda, turut membawa harapan bagi Ayu Riana untuk bercita-cita memberangkatkan kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Mimpinya yang lain adalah ia berharap suatu saat dapat bertemu, berduet, dan bisa satu panggung bersama idolanya, Inul Darasista. Apakah mimpi Ayu bisa terwujud? Saksikan Kick Andy ya!


Kick Andy: Home • The Show • Special • Andy's Corner • Foundation • Recommended Book • Andy's Friend • Andy's Team • About

Tag: Kliping Media, Kick Andy