Terjerat Hadiah Agresif
Sumber: Tempo Interaktif, 12-03-2007
URL: http://majalah.tempointeraktif.com:80/id/arsip/2007/03/12/KRI/mbm.20070312.KRI123339.id.html (sudah putus)
Akhirnya, Helen muncul juga di ruang penyidik Direktorat Pengawasan Barang Beredar, Departemen Perdagangan. Dua pekan lalu, penyelia PT Aowa Nusa Lestari itu mangkir dari panggilan tim penyidik. Padahal, kehadirannya terbilang penting: sebagai saksi dugaan praktek dagang Aowa, perusahaan yang mengiming-imingi hadiah namun konsumen harus membeli produk dengan harga tak lumrah.
Sehubungan dengan kemunculannya pada Rabu pekan lalu, penyidik pun bergegas. Tiga jam dia diperiksa. “Keterangannya belum bisa disampaikan. Penyidikan belum selesai,” ujar seorang penyidik kepada Tempo. Penyidikan terhadap PT Aowa dilakukan menindaklanjuti pengaduan masyarakat, September tahun lalu. Salah satu pengadu adalah Johannes, 54 tahun.
Pada suatu sore, awal 2005, Johannes serasa mendapat durian runtuh. Ketika dia sedang bersantai di Mal Taman Anggrek, Jakarta, seseorang menghampiri dan memberinya hadiah. Di antaranya vacuum cleaner, alat pemanggang, dan dispenser. Nilai totalnya kira-kira Rp 20 juta. “Lagi ada program promosi dari Aowa,” kata orang itu.
Johannes tentu saja bersukacita, ingin segera memboyong pulang barang-barang itu. Tapi nanti dulu. Tentu ada syaratnya: ia harus membeli satu set panci seharga Rp 4 juta. Dia terkesima. “Nggak, ah, saya nggak mau membeli,” katanya.
Tapi enam salesman yang mengerumuninya tak berniat undur. “Nggak perlu uang tunai,” kata seorang di antara mereka. “Cukup dengan kartu kredit.” Yang lain menimpali, “Bapak beruntung sekali, mendapatkan hadiah Rp 20 juta hanya dengan membeli Rp 4 juta.” Satu orang lagi menukas, “Nanti ada hadiah tambahan.”
Warga Sunter, Jakarta Utara, itu benar-benar dibuat bimbang. Tiba-tiba tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan kartu kredit dari dompet. Seorang salesman langsung menyambar kartu itu dan menggesekkannya ke mesin transaksi. Johannes mencoba bertahan, tak mau meneken kertas bukti transaksi. Para salesman itu pun meledek bersahut-sahutan: “Masak, tanda tangan gitu aja nggak berani. Mesti minta izin istri, ya? Masak, takut sama istri?”
Merasa diremehkan, tanpa berpikir panjang manajer pemasaran sebuah industri perangkat lunak di Jakarta Utara itu meraih pulpen yang disodorkan. Sret… sret…, dia menggoreskan tanda tangan, lalu bergegas pulang setelah membuat kesepakatan dengan manajemen toko untuk mengantar barang-barang ke rumah.
Setiba di rumah, ia bercerita kepada istrinya tentang kejadian barusan. Ketika itulah ia seolah-olah tersadar: mengapa harus membeli barang-barang yang sesungguhnya tak diperlukan keluarganya? Naluri marketing-nya mencium sesuatu yang tidak beres pada pola dagang PT Aowa.
Malam itu juga dia balik ke toko untuk membatalkan transaksi. “Toh, barang-barang belum diterima,” demikian ia berpikir. Petugas toko menolaknya, dengan alasan toko sudah tutup. Esoknya, Johannes datang lagi, tapi hasilnya nihil. Begitu seterusnya. Merasa dipingpong, Johannes melapor ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Maret 2005. Dari lembaga ini ia tahu banyak orang yang mengalami nasib serupa.
Menurut Sularsih, anggota staf bidang pengaduan dan hukum YLKI, pengaduan atas PT Aowa Nusa Lestari sebenarnya sudah diterima YLKI sejak 2000. Masyarakat yang mengadu “berasal” dari berbagai mal di Jakarta, seperti Blok M Plaza, Mal Ambassador, dan Mal Taman Anggrek. Mereka mengeluhkan pola penjualan yang cenderung memaksa secara psikologis, serta informasi yang tidak terbuka soal harga dan hadiah.
Upaya penyelesaian pun dilakukan melalui mediasi, yakni mempertemukan konsumen dengan manajemen PT Aowa. Hasilnya cespleng. “Ada uang konsumen yang bisa dicairkan Rp 4,9 juta pada November 2000,” kata Sularsih.
Namun, pada 2002, pengaduan membanjir dan mulai melibatkan masyarakat di luar Jakarta. Di antaranya Hidayat, warga Semarang. YLKI pun melaporkan praktek penjualan tidak fair itu ke pengelola Mal Citra, Semarang, tempat Aowa membuka gerai. “Pengelola gedung mengancam akan mengusir Aowa bila tak menyelesaikan masalah itu,” tutur Sularsih. Pengaduan Hidayat memicu YLKI melaporkan PT Aowa ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI pada Februari 2003.
Perusahaan itu, Sularsih menambahkan, diduga menabrak sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di antaranya Pasal 10, yang menyatakan pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif. Juga, Pasal 15 soal larangan memaksa atau melakukan cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik ataupun psikis pada konsumen.
Sepekan kemudian, terbitlah surat perintah dari Direktur Ekonomi Mabes Polri (saat itu Brigadir Jenderal Suyitno Landung) kepada semua kepala polda untuk menyelidiki kasus serupa di wilayah masing-masing. Pada Februari 2004, YLKI melapor ke Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan. Tak ada jawaban.
Selang setahun, YLKI kembali mengadu, kali ini ke Direktorat Pengawasan Barang Beredar Departemen Perdagangan. Gayung bersambut: kedua institusi sepakat bekerja sama menyelesaikan masalah ini. “Kebetulan,” kata direktur direktorat itu, Erfandi Tabrani. Menurut dia, petugasnya juga sedang mengawasi perusahaan itu di tujuh kota besar: Medan, Pekanbaru, Bandung, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. “Karyawan kami juga ada yang jadi korban,” katanya.
Berkali-kali mediasi yang difasilitasi Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan YLKI digelar pada pertengahan 2005. Baru sekitar November tercapai kesepakatan. Aowa bersedia membatalkan transaksi. Konsekuensinya, masing-masing pihak mengembalikan uang dan barang. Ada enam konsumen yang duitnya kembali, dengan total transaksi sekitar Rp 40 juta.
Tapi proses pencairan tidak mulus. Ada saja alasan menunda pencairan uang. Di antaranya data online di kantor sedang ngadat. “Sampai kami ‘menahan’ perwakilan PT Aowa untuk tidak pulang dulu hingga duit cair semua,” kata Sularsih.
Karena pengaduan masyarakat terus mengalir, mediasi kembali digelar. Begitu seterusnya. Penyidik pegawai negeri sipil Direktorat Pengawasan Barang Beredar mulai menyelidikinya ke arah pidana. Diduga ada unsur pelanggaran pidana dalam kasus ini. Beberapa saksi telah dipanggil, di antaranya Helen (penyelia) dan Anita (komisaris).
Dalam pemeriksaan, mereka mengatakan apa yang dilakukan sah-sah saja sebagai kegiatan promosi. Alasannya, promosi melalui iklan di media massa mahal. Maka, mereka berpromosi lewat hadiah.
Penyidik juga menemukan perusahaan lain yang melakukan praktek serupa-setidaknya, ada 13 perusahaan. Diduga beberapa perusahaan pemiliknya sama. “Sebab, ketika dipanggil untuk pemeriksaan, yang datang itu-itu juga.”
Sularsih menambahkan, YLKI malah menemukan perusahaan yang menjalankan praktek serupa mencapai 20 buah. “Selain PT Aowa Nusa Lestari, ada PT Metrowealth S7S, Metrowealth Inter’l Group, PT TOP Asahi, PT Metro Asia, Citra Jaya, Super Jaya, Perfect Graha Utama, Health ‘N Care, dan U-rolux Berjaya,” katanya. Masih banyak yang lain: Blue Top, Big Blue Top, The Best, Surya Abadi, Daitindo Megah Lestari, Cahaya Sejati, Green Tech, Star Tech, Oto Plus, dan De Cartino Group.
Manajer Customer Service PT Aowa, Avo Hendrova, menampik tuduhan-tuduhan itu. Menurut dia, tidak ada unsur pemaksaan atau penipuan dalam proses penjualan. Apa yang dilakukan dinilai sebagai satu bentuk penawaran saja. “Kecuali kalau ada sales yang menarik tangan konsumen dan menyeretnya,” katanya. “Atau terus memaksa konsumen mengeluarkan uang untuk membeli.”
Ia mengakui pemasaran memang dilakukan oleh salesman yang cukup agresif. Tapi keputusan untuk melakukan transaksi diserahkan sepenuhnya kepada konsumen. Karena itu, ia meminta konsumen membuat keputusan yang bertanggung jawab. “Jangan selepas beli menyalahkan orang lain,” katanya. “Kalau nggak mau beli, tidak kami paksa, kok.”
Soal pengembalian barang yang sudah dibeli (refund), Avo melanjutkan, ada ketentuannya, di antaranya mesti jelas siapa konsumen, alasan, dan motivasinya. “Ada satu pertanyaan besar,” katanya. “Dia enak-enak pada saat beli, kenapa tiba-tiba mau refund? Ini kan aneh. Buat saya, ini orang mau cari sensasi.”
Berdasarkan penelusuran Tempo, Aowa adalah distributor peralatan rumah tangga dan elektronik. Lahir di sebuah toko retail kecil di Ipoh, Malaysia, dengan nama Aowa Electronic Sdn. Bhd. pada 1990, perusahaan itu kemudian melebarkan sayap ke Bangkok (1992), Manila (1998), Kota Kinabalu (1999), Jakarta (2000), Kota Ho Chi Minh (2003), dan Cina (2004). Ada juga jaringannya di Hong Kong, Jepang, dan Korea.
Di Indonesia, dalam situs resminya, Aowa pertama kali dirilis di Jakarta pada Desember 1999. Gerai perdananya dibuka di Carrefour Cempaka Mas pada 20 Maret 2000. Selang enam bulan, sembilan ruang pamer dibuka, di antaranya di Blok M Plaza. Promo counter pertama diluncurkan di Mal Taman Anggrek pada Juni 2000. Saat ini karyawannya lebih dari 250 orang. Tapi Avo membantah soal jaringan internasional. “Ini PT lokal, kok,” katanya. “Tidak ada kerja sama dengan luar negeri.”
Retno Sulistyowati
Leave a Reply