Akankah Gurita Melilit George Junus Aditjondro Seperti Halnya Frakenstein dengan Mahkluk Ciptaannya?
Oleh Taruno Kiswotomo
Buku Mary Shelley’s tentang Frankenstein ini berlatar belakang kehidupan di abad ke 13-14 yang ber-setting di negara Swiss, Jerman dan sebuah daerah tak dikenal di Kutub Utara. Buku ini menceritakan tentang seseorang dengan ambisi yang sangat kuat untuk mencapai suatu kemashyuran. Dengan ambisi dan pemikiran yang tidak cukup panjang, dia menciptakan suatu bentuk kehidupan yang tentunya tidak akan direstui oleh siapapun dari kita. Film yang dibintangi oleh Robert de Niro dan Kenneth Brannagh ini terutama menggambarkan tentang sisi ambisius seorang Victor Frankenstein (Kenneth Brannagh) dan tokoh mahkluk diperankan oleh (Robert deNiro). Pada saat proses penghidupan pun sang makhluk sudah mendapat siksaan-siksaan yang disebabkan oleh benturan-benturan benda keras maupun kesalahan proses penciptaan. Di titik ini sang pencipta (Victor Frankenstein) beranggapan bahwa sang makhluk yang pada awalnya diduga berhasil dihidupkan, akhirnya mati lagi. Ditambah lagi pendapat dari rekan dan sahabatnya sesama dokter, Henry Clerval, yang menyatakan bahwa tidak ada makhluk baru yang bisa bertahan hidup dengan kondisi kota penuh wabah seperti ini. Tapi seperti yang sudah diduga, sang makhluk tetap bertahan dan mulai mencari jati dirinya.
Mulailah petualangan makhluk yang baru tercipta tersebut di dunia sang pencipta yang kejam dan tak berperi kemanusiaan. Dengan bentuk fisik yang jauh berbeda dan tidak sempurna, ditambah ketidakmampuan untuk berkomunikasi, lengkaplah penderitaan makhluk tersebut menjadi buronan yang dikejar-kejar masyarakat untuk dibinasakan. Sampai akhirnya dia sampai ke suatu kandang yang menempel pada sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga kecil bahagia namun selalu kekurangan. Karena rasa tertariknya terhadap keluarga tersebut yang terdiri atas sepasang suami istri dengan dua anak manis dan ayah yang buta, makhluk tersebut bertahan tinggal di kandang tersebut, bahkan terkadang membantu keluarga tersebut di musim dingin yang sulit. Keluarga itu sendiri tidak menyadari kehadiran sang makhluk yang menyeramkan ini, mereka hanya merasakan kehadirannya yang meringankan pekerjaan mereka terutama di musim dingin, sehingga mereka memanggilnya sebagai “ruh yang baik”. Sang makhluk ini mendapat beberapa pelajaran mendasar yang seharusnya diperolehnya dari sang pencipta. Antara lain tata krama, agama, membaca dan berhitung. Kebetulan dalam jubah yang dikenakannya (dipakaikan oleh Frankenstein) terdapat buku catatan Frankenstein mengenai asal usul mengerikan makhluk tersebut. Tapi dalam kehidupan semu penuh cinta yang dialaminya, angkara dalam hati sang makhluk teredam dengan sempurna. Sampai di suatu saat, sang makhluk merasa tidak tahan untuk menyapa para pemilik rumah. Dia memulainya dengan sang ayah yang buta. Tanggapan yang didapatnya sangat baik sekali, sayangnya, sang putra (dan istrinya) tiba-tiba saja datang dan sangat terperanjat menemui ayahnya dengan makhluk yang sangat menyeramkan, sehingga mereka serta merta mengusirnya dan segera pindah dari rumah tersebut.
Sang makhluk pun kembali sebatang kara tanpa pegangan. Di saat inilah dia merasakan kemarahan yang sangat mendalam terhadap penciptanya, Victor Frankenstein, sehingga dia berniat utk mencarinya. Dia merasa bahwa sudah semestinyalah sang pencipta mengajarkan dan membimbing ciptaannya, seperti Tuhan selalu membimbing manusia. Yang paling menusuk hatinya adalah kesendiriannya sebagai sebentuk makhluk tanpa teman.
Pencarian Frankenstein tidak memakan waktu lama, karena memang makhluk ini dibentuk dengan fisik yang jauh lebih kuat dari manusia biasa. Setelah menemukan Frankenstein, mereka membuat kesepakatan-kesepakatan yaitu Frankenstein menciptakan teman hidup bagi makhluk tersebut dan makhluk itu akan meninggalkan kehidupan Frankenstein dan manusia selama-lamanya. Jika Frankenstein tidak mengabulkan keinginan makhluk tersebut, maka sang makhluk akan menghabisi orang-orang yang disayangi Frankenstein satu demi satu. Teror pun dimulai. Sang makhluk yang tidak sabar mulai menghabisi satu demi satu keluarga Frankenstein.
Adalah George Junus Aditjondro kembali menulis. Guru Besar Sosiology Korupsi New Castle University Australia yang pernah “menelanjangi” KKN antara Presiden Suharto dengan Habibie lewat buku “Dari Soeharto ke Habibie : guru kencing berdiri, murid kencing berlari : kedua puncak korupsi, kolusi, dan nepotisme rezim Orde Baru” (Pijar Indonesia, 1998), dan “Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa” (Mei, 2006) ini kembali membetot perhatian banyak orang, dari tukang becak hingga RI-1.
Bertempat di kota perjuangan Yogyakarta, George Junus Aditjondro pada Rabu (23/12) meluncurkan buku terbarunya yang berjudul “Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Kasus Bank Century”. Buku dengan cover seekor gurita dengan “Mahkota Raja Jawa” itu isinya dengan sangat berani membongkar KKN yang berada di sekeliling Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sejak dari Pemilu dan Pilpres 2009 hingga kasus Bank Century.
Sebagian masyarakat yang berhasil mendapatkan buku ini mengaku kaget dengan data-data dan paparan buku tersebut. Mantan Ketua MPR Amien Rais yang mengaku telah melahap habis buku yang tebalnya tidak sampai duaratus halaman tersebut menyatakan jika buku tersebut memang banyak memuat hal yang sensitif bagi kelompok yang tengah duduk di singgasana kursi kekuasaan saat ini. Namun dirinya menolak keras jika buku tersebut harus dilarang. Pendapat serupa juga datang dari beberapa tokoh nasional di antaranya Ketua Gerakan Indonesia Bangkit Addhie M. Massardi, ekonom Rizal Ramli, dan tokoh Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif. Berbeda dengan Mahfud MD yang ketua MK, “Saya tidak pernah tertarik untuk membaca buku-buku karangan George J Aditjondro.”
Seperti yang sudah diduga sebelumnya, sikap merespon isi buku tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat juru bicara kepresidenannya, Julian Aldrin Pasha di Cikeas, kemarin (26/12) menegaskan jika buku tersebut telah mengungkapkan data-data dan fakta yang tidak akurat. Buku itu, demikian Julian, telah dirilis dan dipublikasikan ke publik. “Maka yang akan diminta adalah pertanggungjawaban, sejauh mana keotentikan validitas data dan hingga metodologi yang digunakan,” ujarnya. Menkumham Patrialis Akbar sendiri telah menyatakan pihaknya tengah mempelajari kasus ini dan tidak tertutup kemungkinan akan membawa kasus ini ke penuntutan hukum.
Apa yang bisa kita petik dari cerita Frankenstein dan George J Aditjondro? Keduanya sama-sama ingin mencari kemahsyuran lewat ciptaan atau karya. Dari cerita Frankenstein, kita bisa berfikir, bahwa ciptaan atau sebuah karya ternyata memerlukan konsekuensi tinggi dan pertanggungjawaban yang besar. Kita tidak boleh menyiksanya,menyakitinya, atau menelantarkannya. Sebuah Ciptaan harus bisa memberikan manfaat positif dan berguna. Memang nasib George J Aditjondro tidak separah Frankenstein bila tidak bisa membuktikan keotentikan validitas atas buku karangannya. Minimal buku tersebut bisa jadi bumerang bagi dirinya mengingat isi buku membongkar gurita cikeas banyak mengambil data-data dari media, rumor, serta referensi yang belum tentu kebenarannya.
Bukan George J Aditjondro kalau tidak fenomenal. Buktinya, kibasan buku di muka Ramdhani Pohan sukses dipertontonkan saat bedah buku karangannya di DOEKOEN CAFÉ Jakarta Selatan. Menurutku perilaku tersebut bukanlah seorang INTELEKTUAL, tapi berandal kampung dengan KEKERASKEPALAAN dan AROGANSI yang pingin Mahsyur secara Instant.
Leave a Reply