Apa dan Siapa Suciwati?
Berjuang Mencari Keadilan
Sumber: Tempo, 10-10-2005
URL: http://www.pdat.co.id/hg/apasiapa/html/S/ads,20051010-01,S.html
Suciwati, pada awalnya, adalah nama yang tidak begitu terdengar. Namun, sejak kematian suaminya, Munir, nama Suciwati menjadi terkenal. Ia begitu gigih memperjuangkan keadilan agar misteri kematian pejuang hak asasi manusia itu terkuak. Kegigihan dan jerih payahnya membuahkan simpati, termasuk dari majalah Time, yang menobatkannya sebagai salah satu pahlawan Asia 2005.
Perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, ini seorang aktivis. Sempat menjadi guru di SMA Cokroaminoto, Malang, kemudian ia terjun sebagai aktivis perburuhan di kota kelahirannya. Ia juga pernah bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum Malang sebagai tenaga lapangan divisi buruh. Ia pun sempat menjadi tenaga peneliti upah buruh di Malang.
Suatu ketika, pada 1991, ia memimpin aksi pemogokan buruh pabrik. Suci ditangkap aparat keamanan. Munir—yang saat itu pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum Surabaya—menangani kasus penangkapan Suci. Lalu keduanya mendapatkan hal yang sama: menaruh simpati pada nasib buruh. Hubungan keduanya berlanjut sebagai rekan dalam penelitian tentang perburuhan, 1992. Pucuk dicinta ulam tiba. “Pada tahun 1995 kami memutuskan kawin,” kata Munir, suatu ketika, kepada Tempo. Dari perkawinan itu, pasangan ini dikaruniai dua anak: Alief Sultan Allende, yang artinya pemimpin nomor satu, dan Diva Suukyi Larasati.
Sebagai istri seorang aktivis, Suci terus mendampingi sang suami, termasuk ikut hijrah ke Jakarta, ketika Munir berkiprah di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. Ketika Munir meninggal, Suci merasa sangat kehilangan figur suami, sahabat, teman diskusi, orangtua, atau bahkan kadang anak-anak. Ia menganggap Munir adalah sosok pendamping hidup yang sempurna. Kedukaannya pun bertambah karena Munir tidak hanya meninggalkan dirinya, tetapi juga dua anaknya yang masih kecil.
Ia harus menghadapi kenyataan dan perjuangan hidup membesarkan anak-anaknya di tengah perasaan kehilangan yang masih ada hingga saat ini.
Suci tidak ingin larut dalam kedukaan yang panjang dan mengabaikan apa yang terjadi sesungguhnya pada diri suaminya. Ia menghadapi kenyataan bahwa suaminya tewas dibunuh oleh orang-orang yang menginginkannya berhenti menyuarakan kebenaran. Ia sadar bahwa yang kehilangan Munir bukan hanya dirinya dan keluarganya, namun juga bangsa Indonesia, yang masih membutuhkan sosok pemberani dan lantang seperti Munir. Maka ia pun bangkit untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran. Ia menginginkan penyelidikan yang tuntas atas kematian suaminya.
Ia pun giat mencari berbagai dukungan, baik dalam maupun luar negeri, bahkan hingga ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa. Di depan anggota Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Maret 2005, ia berkesempatan menyampaikan testimoni selama beberapa menit. “Saya berharap kasus ini menjadi agenda penting PBB yang dibahas setiap tahun,” kata Suci. Ia menyadari perjuangannya sangat panjang dan ia akan tetap berjuang mengungkap dalang di balik pembunuhan sang suami.
Di tengah kesibukannya, ia tetap memiliki prioritas hidup, yaitu anak-anaknya yang membutuhkannya lebih daripada sebelumnya. Sebab, kini ia adalah ibu sekaligus ayah bagi mereka.
Sisilia Pujiastuti
(Berbagai Sumber)
Leave a Reply