Bendaharawan: Perkembangan, Peran, dan Kedudukannya

Sumber: http://www.mail-archive.com/forumprima@yahoogroups.com/msg01061.html

Abstraksi

(Pada masa kolonial, sistem administrasi keuangan mengenal 2 kelompok pejabat, yaitu kelompok beschickers atau kelompok penguasa dan kelompok bewaarders atau kelompok penerima kuasa atau yang lebih popular disebut bendaharawan. Kelompok pertama terdiri dari para pejabat yang memegang fungsi otorisasi dan fungsi ordonansi, sedangkan kelompok kedua merupakan pejabat yang memegang fungsi komtabel. Kedua kelompok tersebut terdapat di setiap kementrian (departemen).

Sejak kemerdekaan, fungsi ordonansi dan fungsi komtabel beralih ke tangan Menteri Keuangan. Dengan pergeseran tersebut, di setiap departemen tidak lagi terdapat fungsi ordonansi dan fungsi komtabel, sehingga di setiap departemen tidak lagi terdapat bendaharawan).


ICW, yang hingga kini masih merupakan acuan dalam pengurusan kebendaharaan (comptabel beheer), dalam pasal 77 ayat 1 menyatakan bahwa,

Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal 67, maka orang-orang dan badan-badan yang oleh karena Negara diserahi tugas penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat berharga dan barang-barang termaksud pada pasal 55, adalah Bendaharawan, dan dengan demikian, berkewajiban mengirimkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan perhitungan mengenai pengurusan yang dilakukan mereka.

Namun demikian, kata ‘comptabele’ (komtabel) dalam rumusan pasal di atas oleh A.P. van Gogh diartikan sebagai tanggungjawab (yaitu bertanggungjawab atas keuangan dan sebagainya yang ada dalam simpanan, yang harus dikeluarkan) dan wajib hitung (atas pengurusan yang dilaksanakan yang mengharuskan adanya pertanggungjawaban) . Oleh karena itu kata ’comptabele’ diposisikan dalam fungsi sebagai sifat. Bukan sebagai subyek (kata benda ). Sehingga, pasal dimaksud kemudian diartikan sebagai berikut:

……………………., maka orang orang dan badan- badan yang oleh karena Negara diserahi tugas penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat berharga dan barang-barang termaksud pada pasal 55, (adalah) wajib mengadakan perhitungan dan tanggungjawab atas keuangan, dan sebagainya yang ada dalam simpanan yang harus dikeluarkan, dan dengan demikian, berkewajiban mengirimkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Perhitungan mengenai pengurusan yang dilakukan mereka.

Dengan memperhatikan makna yang terkandung dalam pasal 77 ayat ( 1) ICW tersebut, kemudian disusunlah definisi tentang bendaharawan. Sehingga, menurut rumusan pasal di atas, tugas bendaharawan adalah : menerima, menyimpan dan melakukan pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat berharga dan barang. Tugas tersebut, sesuai dengan usulan Dewan Pengawas Keuangan, bukan hanya terbatas pada uang dan barang milik negara, tetapi juga meliputi uang dan barang milik pihak ke tiga yang oleh negara ditetapkan dibawah pengurusannya.

Dari penelitian terhadap literatur yang berkaitan dengan administrasi keuangan negara di Hindia Belanda, dapat dilihat bahwa tugas yang dibebankan pada bendaharawan, pada hakekatnya, lebih dititikberatkan pada tugas-tugas administratif (clerical work ), yaitu yang berkaitan dengan penatausahaan — ( dalam arti pembukuan dan penyimpanan bukti) — penerimaan atau pengeluaran negara, penyimpanan uang atau barang yang diserahkan kepadanya dan pelaksanaan perintah pemegang kekuasaan ordonansering untuk melakukan pembayaran ataupun penerimaan. Rincian tugas dimaksud membawa implikasi bahwa bendaharawan hanya memiliki kebijakan yang sifatnya pelaksanaan (operasional) . Bukan seperti halnya pemegang kekuasaan otorisasi ataupun ordonansering yang memiliki kebijakan yang bersifat diskresional.

Bila dicermati, tugas yang demikian merupakan cerminan peran bendaharawan dalam sistem pengurusan keuangan negara di Hindia Belanda. Bendaharawan, yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan kewenangan kepala departemen, dimaksudkan sebagai pihak yang menerima perintah dalam sistem pengurusan keuangan negara.

Konsep pembagian kekuasaan seperti itu di negara jajahan Belanda (Indonesia), mengandung beberapa perbedaan dibandingkan dengan konsep pembagian kekuasaan di Prancis yang, ketika itu, merupakan referensi bagi sistem yang berlaku di Nederland.

Di Prancis kewenangan pelaksanaan anggaran terbagi diantara 2 pejabat yang berbeda, yaitu ordonnator (ordonnateur) dan bendaharawan (comptable). Namun, berbeda dengan Hindia Belanda, bendaharawan di Prancis merupakan suatu
koprs khusus yang diangkat dan diberhentikan oleh menteri keuangan. Sementara itu, para ordonnator, seperti halnya di Hindia Belanda, adalah para kepala departemen.

Bila diamati, sistim yang dikembangkan di Prancis tersebut menyiratkan hal-hal sebagai berikut:

  • Adanya pembagian kewenangan yang tegas antara pejabat pelaksanaan anggaran negara ;
  • Terjaminnya kemandirian bendaharawan dalam pengambilan keputusan.

Kemandirian bendaharawan dimaksud diwujudkan dalam fungsi bendaharawan yang tidak hanya merupakan kasir (caissier), yang bertugas mengurus harta yang dipercayakan kepadanya, akan tetapi juga merupakan pengawas (controleur), yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kebenaran (regularitas) keputusan ordonator dalam pengeluaran negara, baik dari aspek formal, maupun dari aspek material. Berkaitan dengan itu, bendaharawan dapat menolak perintah ordonator untuk melakukan pembayaran, bilamana menurut pertimbangannya perintah tersebut tidak memenuhi kebenaran yang passer-outre (semacam penyimpangan) dengan menyampaikan surat permintaan kepada bendaharawan.

Kendati bendaharawan dalam keadaan diatas terpaksa harus melakukan pembayaran yang diperintahkan oleh ordonnator, prosedur yang ditempuh tersebut telah membebaskannya dari beban tanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, peran lembaga pemeriksa keuangan menjadi sangat penting, karena prosedur ’pemaksaan‘ tersebut kemudian memerlukan keterlibatan lembaga pemeriksa keuangan setelah menerima tembusan yang disampaikan oleh menteri keuangan.

Di Hindia Belanda, kemandirian posisi bendaharawan juga tersirat dari pola pemisahan pejabat perbendaharaan sebagaimana telah dikemukakan. Namun, dari penelitian kepustakaan yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa kemandirian tersebut bersifat semu. Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa, bendaharawan merupakan pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala departemen, yang pada hakekatnya, merupakan pejabat pemegang kekuasaan otorisasi dan juga ordonansi. Kenyataan tersebut memberi indikasi bahwa bendaharawan bukanlah merupakan personal yang mandiri, yang memiliki kedudukan kuat dalam hal pelaksanaan anggaran negara.

Sistim pembagian kewenangan di atas, menghendaki agar proses pembayaran tagihan dilakukan melalui proses pengujian oleh ordonator baru kemudian dilaksanakan pembayarannya oleh bendaharawan, bila ternyata semua persyaratan terpenuhi. Namun demikian, prosedur sebagaimana diatas seringkali dipandang sangat lamban. Oleh sebab itu, untuk pengeluaran tertentu yang jumlahnya tidak terlalu besar dan memerlukan kecepatan pelaksanaan pembayaran, ditempuh prosedur khusus yang menyimpang dari prosedur baku. Pola tersebut dikenal dengan nama prosedur ’uang untuk dipertanggungjawabkan’ atau prosedur ’u.u.d.p‘. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa, kendati pengeluaran uang tersebut dilakukan oleh kepala departemen melalui ordonansi, pengeluaran tersebut merupakan beban sementara anggaran negara. Artinya, uang yang dikeluarkan melalui prosedur u.u.d.p masih tetap merupakan uang negara, dan hanya karena alasan praktis uang dimaksud ditarik dari kas umum untuk ditempatkan dalam kas khusus. Dari situlah kemudian dikenal istilah pemegang kas umum (bendahara umum) dan pemegang kas khusus (bendahara khusus).

Penyimpangan prosedur ‘u.u.d.p‘ terhadap prinsip yang berlaku umum terletak pada tercampurnya kekuasan ordonansering dan bendaharawan dalam satu tangan. Artinya, bahwa seseorang yang diserahi tugas mengurus u.u.d.p memiliki kekuasaan ordonansering sekaligus kekuasaan bendaharawan. Dari berbagai sudut pandang, pemegang kas khusus tidak dapat dikategorikan sepenuhnya sebagai bendaharawan, melainkan sebagai pegawai pemerintah pada umumnya. Oleh karena itu, kesalahan yang mungkin dilakukan akan dianalisis sesuai dengan kapasitasnya pada saat keputusan yang dinyatakan salah tersebut dilaksanakan. Atas dasar itu, pemegang u.u.d.p dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai pegawai nonbendaharawan ataupun sebagai bendaharawan, tergantung pada kesalahan yang dilakukannnya.

Satu hal yang menarik untuk diperhatikan dalam sistem administrasi keuangan negara Hindia Belanda adalah, bahwa sistim tersebut menganut desentralisasi kekuasaan. Menurut pasal 5 Regelen voor het Administrative Beheer (RAB) kekuasaan ordonansi para kepala kementrian diserahkan kepada kepala pemerintahan daerah, sepanjang berkaitan dengan pengeluaran kementrian yang bersangkutan di daerah. Kendati para kepala daerah, pada saat itu, disebut sebagai hulp ordonnateur, pada hakekatnya, mereka adalah ordonator tunggal bagi pengeluaran berbagai kementerian di daerah masing-masing.

Selanjutnya, untuk dapat melaksanakan pembayaran terhadap mandat-mandat yang diterbitkan oleh kepala pemerintahan daerah dibentuklah suatu instansi yang bertindak sebagai bendaharawan untuk seluruh kementrian di daerah yang diberi nama CKC (Centraal Kantoor voor de Comptabiliteit), yang seluruh pegawainya berasal dari kementrian keuangan. Dan seperti halnya bendaharawan pada umumnya, CKC, sebagai suatu instansi, tunduk pada pasal 77 ayat (1) ICW. Sementara itu, sebagai kasir negara dibentuklah ‘s Lands kas.

Kemerdekan Indonesia membawa pengaruh sangat fundamental dalam sistem administrasi keuangan negara. Sistem desentralisasi yang selama ini dilaksanakan dirubah menjadi sistem sentralisasi. Menteri keuangan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, merupakan penguasa tunggal di bidang keuangan yang bertindak sebagai ordonator bagi seluruh departemen dan sekaligus merupakan pemegang kas umum negara. Hal ini membawa implikasi terhadap
penyatuan kas umum yang dulunya berada di setiap kementrian dan dikelola oleh bendaharawan.

Hal prinsip yang dapat ditarik dari perubahan tersebut antara lain adalah, terjadinya pergeseran fungsi pemegang kas umum yang dulu berada di tangan bendaharawan masing-masing departemen ke tangan menteri keuangan yang, kini, dilaksanakan oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Dengan beralihnya fungsi tersebut ke tangan menteri keuangan, di setiap departemen tidak lagi terdapat fungsi bendahara yang menangani kas umum. Yang tinggal, di masing-masing departemen, adalah para pegawai yang bertugas mengelola ‘uang untuk dipertanggungjawabkan’ atau u.u.d.p. (kini dikenal dengan nama UYHD), yang menurut kenyataan tidak memiliki kualifikasi sebagai bendaharawan.

Berdasarkan analisis di atas, dan dalam kaitannya dengan pasal 77 ayat (1) ICW, sejak kemerdekaan, yang dimaksud dengan bendaharawan (publik) adalah KPKN. Berkaitan dengan itu, hanya KPKN-lah yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengurusan keuangan negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan para pemegang UYHD di berbagai departemen yang jumlahnya lebih dari 33.000, pada hakekatnya, bukan merupakan bendaharawan yang dimaksud oleh pasal 77 ayat (1) ICW. Dan oleh karena itu, para pemegang UYHD tersebut tidak berkewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *