Buku “Rhoma Irama: Politik Dakwah Dalam Nada”

  • Judul asli: Rhoma, Raja, dan Capres

Sumber: Jawa Pos, 20-04-2014

Seandainya demokrasi di Indonesia seperti di Amerika, Rhoma Irama sudah menjadi presiden, karena Rhoma pengumpul massa terbesar (KH. Idham Chalid)

Judul:
Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada
Penulis:
Moh. Shofan
Penerbit:
Imania
Terbitan:
Pertama, Januari 2014
Tebal:
293 halaman
ISBN:
978-602-7926-12-7

Tak ada yang meragukan kelihaian Rhoma Irama dalam bermusik. Kiprahnya dalam musik dangdut telah menuai banyak penghargaan. Namun, sebagian kalangan masih menyangsikan kemampuannya dalam berpolitik. Musik dan politik dua hal yang berbeda, untuk tidak mengatakan bertolak belakang. Oleh karenanya, pencapresan Rhoma Irama menuai pro dan kontra.

Pihak yang kontra menilai pengalaman politiknya terlalu dini untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon presiden, dan dimungkinkan tak ada partai politik yang tertarik untuk mengusungnya. Apalagi latarnya artis, yang dianggap minim wawasan akademik dan secara finansial juga tak terlalu menonjol. Namun, Partai Kebangkitan Bangsa terlanjur telah memberikan kendaraan politik.

PKB menempatkan Rhoma Irama sebagai salah satu bakal capres (setelah pemilu 9 April 2014 menjadi cawapres), tentu bukan tanpa perhitungan politik dan tak mendengar ledekan beberapa kalangan. Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali mengatakan, Rhoma Irama sebagai “Raja Dangdut” membawa keuntungan bagi partai pengusungnya (hlm. 252). Entah karena efek Rhoma Irama atau tidak, PKB pada Pemilu Legislatif 2014 –versi hitung cepat– bisa mengembalikan perolehan suara Pemilu 2004.

Raja Dangdut

Nama Raden Haji Oma Irama memang cukup populer dan menjadi ikon dangdut, musik asli Indonesia. Dangdut bisa tetap eksis hingga saat ini di tengah gempuran genre musik Barat tak lepas dari peran Rhoma Irama. Musik dangdut dimungkinkan akan mengalami nasib seperti keroncong andai Rhoma Irama tak melakukan revolusi. Berdirinya Soneta Group yang beranggotakan delapan personel pada 11 Desember 1970 menjadi awal perjuangannya.

Namun, perubahan bukan tanpa aral dan rintangan. Keberanian Rhoma Irama merombak secara besar-besaran dalam instrumen, irama, syair, lirik, performance, dan kostum orkes Melayu (awal orkes dangdut) mendapat kecamatan dari penggemar dan penyanyi Melayu dan rock (hlm. 70). Bahkan tak jarang syairnya berhadapan dengan ulama (hlm. 108) dan negara (hlm. 125).

Ciri perubahan yang dilakukan Rhoma Irama adalah instrumen tradisional orkes Melayu diganti instrumen elektronik dengan memasukkan alat musik saksofon dan gitar listrik. Dan memasukkan napas hard rock ke dalam komposisi, sehingga irama yang mendayu berubah menjadi ketukan cepat. Dari segi performance, kalau dulu orkes Melayu tampil dengan duduk, Rhoma bersama Sonetanya melakukan dengan berdiri dan atraktif (hlm. 59).

Shofan menyebutkan, lirik-lirik lagunya mencerminkan ciri-ciri karya sastra Angkatan Pujangga Baru, yaitu: dinamis, agresif, progresif, dan selalu bergerak ke arah yang lebih maju; bercorak aktif-romantik. Rhoma Irama meninggalkan gaya bermusik orkes Melayu yang mengalun statis, melankolis, dan penuh dengan ratapan (hlm. 168).

Sikap akomodatif Rhoma Irama terhadap perubahan membuat orkes dangdut yang pada awalnya hanya milik orang-orang miskin dan marginal yang hidup di pelosok kampung kini digemari lintas kelas sosial. Bahkan orkes dangdut mengalun hingga luar negeri. Tak heran jika bakal calon wakil presiden PKB itu dielu-elukan fans fanatiknya dan bisa memengaruhi serta mendongkrak suara masyarakat pemilih.

Capres

Sudah lebih setengah abad bangsa ini merdeka dan telah tujuh kali berganti presiden, namun persoalan yang melilit Indonesia tak kunjungan berkesudahan. Melihat kondisi masyarakat yang semakin jauh dari cita-cita pendiriannya motivasi Rhoma Irama, setelah mengatakan didesak sejumlah ulama yang tergabung dalam Wasilah Silaturahmi Asatidz, Tokoh dan Ulama (Wasiat Ulama), tergerak terjun langsung mengelola, bukan hanya bersuara melalui musik.

Jika ditelusuri, memang banyak lagu-lagu Rhoma Irama yang bertemakan kebangsaan, seperti multikulturalisme, pluralisme, HAM, empat pilar kebangsaan, dan korupsi –jauh hari sebelum banyak orang membicarakannya-. Komitmennya kepada bangsa ini tercermin dari lagu-lagu yang telah lama digubahnya. Dan seandainya sudah diimplementasikan dengan benar, Indonesia akan lebih baik.

Kini Rhoma, tampaknya, ingin menerjemah lagu-lagunya dalam aksi nyata, tak hanya sekadar aksi di atas panggung. Rhoma mengaku sudah menyebabkan visi misi untuk Indonesia selama puluhan tahun lewat lirik lagu-lagunya. Karenanya, Rhoma mengatakan visi misinya sebagai capres tak jauh beda dari lirik-lirik lagu dangdut yang dibawakan (hlm. 243).

Pria kelahiran Tasikmalaya itu optimis akan menjadi Ronald Wilson Reagan (artis yang menjadi Presiden Amerika Serikat ke-40) dan Joseph Ejercito Estrada (artis yang menjadi Presiden Filipina) berikutnya di Indonesia. Rhoma mengaku sudah punya bekal politik untuk memimpin negeri ini dengan pernah menjadi anggota DPR RI dari Golkar pada tahun 1997 dan mengantarkan kemenangan PPP pada Pemilu 1977 dan 1982.

Buku Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada penting dibaca untuk melengkapi profil cawapres Rhoma Irama. Buku-buku biografi capres-cawapres yang menghiasi rak toko buku perlu dibaca untuk menimbang kualitas seorang calon pemimpin sebelum menjatuhkan pilihan kepada capres-cawapres tertentu pada 9 Juli nanti.

Yang tak kalah penting, dengan gaya jurnalistik, Moh. Shofan menapaktilasi perkembangan musik di Indonesia mulai  zaman penjajahan hingga saat ini. Khususnya musik dangdut yang kini telah dinyatakan sebagai musik khas negara-negara ASEAN. Buku setebal 293 halaman ini memang mengapresiasi musik dangdut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *